Mohon tunggu...
Siti Khotimah
Siti Khotimah Mohon Tunggu... Lainnya - Penulis Lepas

Menulis adalah kegiatan budaya manusia untuk mengungkapkan kebenaran yang tersembunyi, diri sejati yang tersembunyi dan bahasa yang tersembunyi.

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Di Bawah Cengkeraman Relasi Kuasa: Penyintas Kekerasan Seksual Tak Berkutik

7 Januari 2022   18:50 Diperbarui: 10 Januari 2022   09:17 619
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Tulisan ini berangkat dari keresahan saya pribadi sebagai penulis, atas pemberitaan-pemberitaan media yang tidak sehat. Hampir diberbagai platform media selalu menyakiti perasaan saya sebagai audiens, walaupun hal itu tidak terjadi pada diri saya sendiri. Selain memberitakan tentang aib-aib selebritis yang tak kunjung habisnya, pemberitaan tentang kekerasan seksual pencabulan, pemerkosaan bahkan perselingkuhan yang berujung KDRT turut mewarnai.  Benar kata orang tua “jangan keseringan main handphone”, selain menghabiskan waktu dan uang sia-sia, bermain media sosial terlalu sering juga berdampak pada kesehatan psikologis.

Menanggapi isu-isu kekerasan seksual, beberapa pihak menggaungkan pengesahan perlindungan hukum bagi korban melalui undang-undang. Seperti desakan pengesahan RUU PKS, kemudian disusul Permendikbud no. 30 tahun 2021, yang mana berfungsi untuk melindungi, menangani dan mencegah kasus kekerasan seksual yang marak terjadi di berbagai ruang lingkup, di tempat kerja, tempat umum, rumah, bahkan tempat pendidikan seperti sekolah, kampus dan pesantren.

Walaupun banyak media yang memberitakan mengenai kasus kekerasan seksual, saya yakin masih banyak kasus-kasus serupa yang belum terungkap dan terangkat dipermukaan. Hal tersebut bisa jadi dipengaruhi oleh payung hukum yang belum kuat di indonesia sehingga beberapa korban masih ragu untuk mengungkap, dari beberapa keluhan mereka mengatakan ada ketakutan ketika dia ingin berbicara mengenai kasusnya. Beberapa kali terjadi, bukan malah korban terlindungi justru ia malah dikucilkan di masyarakat, apalagi ada semacam pemutar balikan fakta atau playing victim dari pelaku, salah satu faktornya adalah relasi kuasa.

Menyoal Relasi Kuasa Dalam Kekerasan Seksual

Menurut Michael Foucault seorang filsuf pelopor strukturalisme, kekuasaan merupakan satu dimensi dari relasi. Di mana ada relasi, di sana ada kekuasaan dan kekuasaan selalu teraktualisasi lewat pengetahuan, karena pengetahuan selalu punya efek kuasa. Hal ini berarti, di dalam suatu relasi antar individu maka pengetahuan akan dirinya dan orang lain di saat bersamaan dapat menciptakan kekuasaan.

Dari beberapa kasus seringkali kasus kekerasan seksual terjadi karena ada faktor relasi kuasa, bahkan ini bisa dijadikan salah satu faktor atau peluang dari adanya kasus kekerasan seksual. Relasi kuasa sebagaimana tertuang dalam Peraturan Mahkamah Agung Nomor 3 tahun 2017 tentang Pedoman Mengadili Perkara Perempuan yang Berhadapan dengan Hukum, adalah relasi yang bersifat hierarkis, ketidaksetaraan dan/atau ketergantungan status sosial, budaya, pengetahuan/pendidikan, dan/atau ekonomi. Para korban tidak memiliki kuasa untuk melawan karena di dalam sebuah institusi mereka berada pada hierarki yang lebih rendah. Selain itu, mereka sering kali diminta tutup mulut mengenai kasus yang menimpanya tersebut atas dasar melindungi nama baik institusi.

Misalnya dari kasus penyekapan dan pemerkosaan menimpa siswi SMP di Pekanbaru, AS (15). Ia mengaku diperkosa anak anggota DPRD Pekanbaru, ES, berinisial AR (21).
Setelah menerima laporan, polisi akhirnya menetapkan AR sebagai tersangka dan ditahan pada 3 Desember 2021. Setelah pelaporan dan penetapan tersangka, pihak keluarga pelaku terus menemui keluarga korban.

Singkat cerita, 16 hari setelah pelaku AR ditahan, kedua orang tua sepakat berdamai pada 19 Desember di salah satu kafe di Pekanbaru. Dalam perdamaian itu, pihak pelaku minta keluarga korban mencabut laporan polisi. Laporan polisi yang dilayangkan keluarga korban pada Jumat (19/11/2021) akhirnya dicabut. Laporan itu dicabut di Polresta Pekanbaru dengan dihadiri para pihak dan Kasat Reskrim saat itu, Kompol Juper Lumban Toruan, karena orang tua pelaku, ES, yang juga anggota DPRD Pekanbaru, menemui orang tua korban. Mereka bertemu di salah satu kafe di Jalan Thamrin dan telah membawa uang Rp 80 juta.

Jika ditilik dari sisi persetujuan, memang orang tua korban sepakat menerima uang tersebut sebagai ganti rugi kemudian ia gunakan untuk membiayai sekolah anaknya. Tapi,  jika kita fokus pada keluarga pelaku, kita tahu bahwa keluarga pelaku yang memiliki power/kekuasaan bisa melakukan apapun untuk menutupi kejahatannya. Jikalau pun uang 80 Juta ditolak, ia bisa mencari cara apapun untuk menekan keluarga korban, misalnya dengan ancaman keamanan, pekerjaan dll.

Kasus lain yang sempat menjadi perbincangan hangat, ialah kasus pemerkosaan yang dilakukan Herry Wiriawan selaku pengasuh Yayasan pesantren di Bandung yang telah memperkosa 12 santriwati hingga hami smapi melahirkan 8 orang bayi, merupakan aksi bejat yang dilakukan pelaku yang mana memiliki kekuasaan. Bukan hanya santriwatinya yang dibekam bahkan orang tua korban juga menutup fakta, hal ini terjadi karena hubungan korban sangat bergantung kepada pelaku. Kabarnya yayasan pesantren ini telah memberikan beasiswa juga mengajarkan ilmu agama (tahfidz), sehingga membuat pihak korban dan keluarga korban merasa terbantu dengan hal itu. Dari kasus ini, jangankan melawan pada saat kejadian, bahkan untuk bersuara pun mereka tidak berani, faktor relasi kuasa inilah yang membuat yang kuat dapat melakukan apa saja untuk menindas Si lemah.

Kasus Kekerasan Seksual di Kampus Tak Kunjung Terungkap

Beberapa kawanku sempat merasa bimbang ketika mendengar berita tentang kasus salah satu mahasiswi Univeristas Riau yang menjadi korban dari kekerasan seksual yang dilakukan oleh dosen pembimbingnya, namun hal itu kemudian dilaporkan kembali oleh Si pelaku dengan tuduhan pencemaran nama baik. Seperti yang awal saya bilang, dibalik gencarnya media memberitakan kasus kekerasan seksual, tapi lebih banyak kasus yang belum terungkap. Hal ini dilatarbelakangi oleh satu faktor, ketakutan.

Kekuatan relasi kuasa begitu kental di lingkungan kampus, dari beberapa aduan temanku yang mana ia adalah korban, begitu membingungkan ketika berbicara norma kesantunan. Sebagai mahasiswa ia tentu harus menghormati dosennya, ketika menolak atau memberontak, ia begitu khawatir dibilang tidak menghormati. Seperti kasus mahasiswa dan dosen Unri diatas, orang awam melihat begitu tidak etisnya seorang mahasiswa mencemarkan nama baik dosennya sendiri, yang mana telah berjasa memberikan ilmunya. Lain dari soal norma kesantunan, yang lebih menakutkan adalah ancaman dari pelaku yang tidak memberikan nilai bahkan mengecam tidak lulus jika ia menolak atau mencoba membuka suara. Hal itu tentu bukan sekedar asumsiku pribadi, dari beberapa kasus kekerasan seksual di kampusku tidak pernah terungkap, karena korban takut untuk membuka suaranya, ia lebih memikirkan jangka panjangnya tentang kelulusan akademis, ketimbang berbicara soal balasan setimpal yang harus diterima oleh tindak kejahatan Si pelaku. Relasi kuasa dalam kasus kekerasan seksual sering kali membuat korban tidak berani melaporkan kasusnya kepada pihak yang berwenang.

Memecahkan Relasi Kuasa Dalam Kasus Kekerasan Seksual

Kekerasan seksual selalu mengarah pada penyalahgunaan kuasa dimana seseorang yang memiliki posisi/kuasa yang lebih tinggi memaksakan kehendaknya pada orang lain yang posisi/kuasanya lebih rendah. Faktor relasi kuasa ini sangat jelas berkontribusi dalam terjadinya kekerasan seksual, namun tidak banyak orang menyadari tentang hal ini. Adanya relasi kuasa yang timpang sangat rentan menjadi peluang terjadinya kekerasan seksual dimana setelah kejadian penyintas cenderung tidak melaporkan atau memproses lebih lanjut kejadian yang dialaminya.

Terlebih untuk meminta pertolongan saja penyintas enggan karena mempertimbangkan bagaimana anggapan publik terhadapnya, bagaimana nasib dia sebagai mahasiswa atau pun menganggap bahwa melapor sama halnya dengan membuka aib diri sendiri. Belum lagi jika dalam kasus tertentu muncul intimidasi dan ancaman dari pelaku, sehingga korban terpaksa menutup diri dan takut untuk memproses lebih lanjut. Keengganan penyintas untuk memproses lebih lanjut juga disebabkan karena sistem pelaporan dan perujukan yang menjamin keamanan dan kerahasiaan belum tersedia. Jika yang melakukan orang yang memiliki posisi/kuasa lebih tinggi, penyintas akan memilih untuk pasif, bingung, dan banyak kendala psikis maupun sosial dalam merespon kejadian tersebut.

Terkadang kita tidak menyadari bagaimana relasi kuasa ini bekerja. Selain perlindungan hukum, penting memberikan pemahaman dan keyakinan bahwa dalam kejahatan perlu memecah relasi kuasa. Misalnya dengan cara sesederhana mungkin, turut hadir memberikan dukungan, bersama-sama melindungi korban, sehingga korban tidak merasa lemah dan sama-sama meluruskan persepsi masyarakat tentang siapa yang perlu dilindungi dan siapa yang perlu diadili.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun