Mohon tunggu...
KHOTIBUL UMAM
KHOTIBUL UMAM Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa Universitas Ahmad Dahlan

Mahasiswa Universitas Ahmad Dahlan

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Guru di Jakarta Selatan Dilaporkan atas Dugaan Pelecehan Siswi 13 Tahun

17 Juli 2024   19:51 Diperbarui: 17 Juli 2024   20:14 49
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

Jakarta - Dunia pendidikan Indonesia kembali tercoreng dengan munculnya kasus dugaan pelecehan seksual yang melibatkan seorang guru terhadap siswi di bawah umur. Kali ini, seorang oknum guru di Jakarta Selatan dilaporkan ke polisi atas dugaan pencabulan terhadap siswi berusia 13 tahun. Kasus ini menambah daftar panjang peristiwa serupa yang telah terjadi sebelumnya, memunculkan keprihatinan mendalam tentang keamanan anak-anak di lingkungan sekolah.

Berdasarkan informasi yang dihimpun, peristiwa ini telah dilaporkan ke Polres Metro Jakarta Selatan pada 7 Februari 2024. Laporan tersebut terdaftar dengan nomor LP/B/394/11/2024/SPKT/POLRES METRO JAKSEL/POLDA METRO JAYA. Dugaan tindak pencabulan ini diketahui terjadi pada Selasa, 30 Januari 2024, di lingkungan sekolah tempat korban dan pelaku beraktivitas.

Wakasat Reskrim Polres Metro Jakarta Selatan, Kompol Henrikus Yossi, mengonfirmasi adanya laporan tersebut kepada wartawan pada Rabu (21/2/2024). "Iya (pelaku) oknum guru di sekolah tersebut. Korban 13 tahun," ujar Yossi, meskipun belum bersedia memberikan rincian lebih lanjut mengenai kronologi kejadian.

Saat ini, kasus tersebut sedang dalam tahap penyelidikan oleh unit Perlindungan Perempuan dan Anak (PPA) Polres Metro Jakarta Selatan. "Iya laporan sudah diterima dan ditangani oleh Unit PPA," tambah Yossi, menegaskan bahwa pihak kepolisian telah mengambil langkah serius dalam menangani kasus ini.

Dalam laporannya, pihak pelapor menggunakan dasar hukum yang cukup komprehensif. Oknum guru tersebut dilaporkan terkait pelanggaran Pasal 76 E juncto Pasal 82 Undang-Undang RI Nomor 17 Tahun 2016 tentang Perubahan UU RI Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak. Selain itu, laporan juga mencantumkan Pasal 6 juncto 15 b Undang-Undang RI No. 12 Tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (TPKS).

Pasal 76 E UU Perlindungan Anak menyatakan bahwa "Setiap orang dilarang melakukan kekerasan atau ancaman kekerasan, memaksa, melakukan tipu muslihat, melakukan serangkaian kebohongan, atau membujuk anak untuk melakukan atau membiarkan dilakukan perbuatan cabul." Sementara itu, Pasal 82 mengatur tentang sanksi pidana bagi pelanggar ketentuan tersebut, yang dapat berupa hukuman penjara minimal 5 tahun dan maksimal 15 tahun, serta denda hingga Rp 5 miliar.

UU TPKS yang juga dicantumkan dalam laporan memberikan perlindungan hukum yang lebih komprehensif bagi korban kekerasan seksual. Undang-undang ini mengatur berbagai bentuk kekerasan seksual dan menyediakan mekanisme penanganan yang lebih baik bagi korban.

Kasus pelecehan seksual terhadap anak, terutama yang dilakukan oleh figur otoritas seperti guru, dapat menimbulkan trauma mendalam yang berkepanjangan. Korban yang masih berusia 13 tahun berada pada tahap perkembangan yang kritis, di mana pengalaman traumatis seperti ini dapat mempengaruhi kesehatan mental, perkembangan emosional, dan kemampuan sosialnya di masa depan. Ironisnya sekian banyak anak Indonesia yang seharusnya diperhatikan dan dibina dengan baik justru banyak yang mengalami kekerasan seksual.

Pelecehan seksual terhadap anak di bawah umur dapat menimbulkan dampak serius dan jangka panjang pada korban, Efek negatif yang paling umum dirasakan oleh korban kekerasan seksual adalah kerusakan psikologis. Faktor kedua adalah jenis kekerasan seksual yang dialami korban. Individu yang mengalami kekerasan seksual pada masa anak-anak cenderung beresiko tinggi mengalami gangguan psikologis di masa dewasa. 

Semakin parah kekerasan seksual yang dialami korban, semakin besar pula resiko korban mengalami masalah psikologis. Hasil penelitian membuktikan bahwa perempuan yang mengalami kekerasan seksual intercourse memiliki resiko hampir 2 kali lebih besar mengalami depresi hebat, gangguan kecemasan, gangguan makan, kecanduan alkohol dan kecanduan obat terlarang dibanding dengan kekerasan seksual lainnya yang lebih ringan (Kendler et al., 2000). 

Sedangkan fek psikologis jangka pendek dapat segera terlihat setelah korban mengalami kekerasan seksual misalnya depresi, kemurungan, gangguan emosional, menyendiri, dan kegelisahan (Arnow, 2004). Trauma kekerasan seksual pada masa kanak-kanak telah terbukti memiliki konsekuensi psikologis negatif jangka panjang bagi laki-laki dan perempuan korban kekerasan seksual (Putnam, 2003). Trauma yang dialami sering kali mengakibatkan stres pasca-trauma (PTSD), yang dapat berlanjut hingga dewasa. Hal ini seringkali disertai dengan gejala depresi dan kecemasan yang mendalam.

Pengalaman traumatis tersebut juga dapat menyebabkan kesulitan dalam membentuk hubungan dan kepercayaan dengan orang lain, karena rasa aman dan kepercayaan anak telah terganggu. Akibatnya, korban mungkin mengalami kesulitan dalam menjalin hubungan yang sehat di masa depan.

Dampak negatif juga dapat terlihat dalam prestasi akademik anak. Trauma dan masalah emosional yang dialami dapat mengganggu konsentrasi dan motivasi belajar, yang mengakibatkan penurunan prestasi di sekolah.

Selain itu, pelecehan seksual sering kali menyebabkan gangguan perilaku dan emosional pada anak. Mereka mungkin menunjukkan perubahan perilaku yang signifikan, seperti menjadi lebih agresif atau menarik diri dari lingkungan sosial.

Yang lebih mengkhawatirkan, pengalaman traumatis ini dapat meningkatkan risiko perilaku merusak diri sendiri pada korban. Hal ini bisa termasuk penyalahgunaan zat, perilaku seksual berisiko, atau bahkan kecenderungan untuk melukai diri sendiri sebagai cara untuk mengatasi rasa sakit emosional yang dialami.

Semua dampak ini saling terkait dan dapat mempengaruhi kualitas hidup korban secara keseluruhan,

Mengingat besarnya dampak yang mungkin timbul, penting bagi korban untuk segera mendapatkan dukungan psikologis dan konseling profesional. Pihak sekolah, keluarga, dan penegak hukum perlu berkolaborasi untuk memastikan korban mendapatkan penanganan yang tepat dan komprehensif.

Terungkapnya kasus ini kembali menggugah kesadaran akan pentingnya sistem keamanan yang ketat di lingkungan pendidikan. Beberapa aspek yang perlu dievaluasi dan ditingkatkan antara lain:

Perlu ada peningkatan dalam proses seleksi dan pemeriksaan latar belakang calon guru, termasuk pemeriksaan catatan kriminal dan evaluasi psikologis.

Guru, staf sekolah, dan siswa perlu mendapatkan pelatihan rutin tentang pencegahan pelecehan seksual, termasuk cara mengenali tanda-tanda perilaku mencurigakan dan mekanisme pelaporan yang aman.

Implementasi sistem pengawasan yang lebih ketat, seperti CCTV di area-area umum sekolah dan kebijakan "pintu terbuka" untuk interaksi guru-murid.

Sekolah perlu memiliki kebijakan perlindungan anak yang jelas dan tegas, termasuk prosedur penanganan laporan pelecehan dan dukungan bagi korban.

Meningkatkan komunikasi dan keterlibatan orang tua dalam pengawasan keamanan sekolah, serta mendorong peran aktif masyarakat dalam melindungi anak-anak.

Kasus ini menjadi ujian bagi aparat penegak hukum untuk menunjukkan komitmen mereka dalam melindungi anak-anak dan memberantas kejahatan seksual. Proses penyelidikan dan penuntutan harus dilakukan secara transparan dan profesional, dengan tetap menjaga privasi dan keamanan korban.

Masyarakat juga memiliki peran penting dalam mencegah dan mengatasi kasus-kasus serupa. Beberapa langkah yang dapat diambil antara lain:

  • Meningkatkan kesadaran tentang perlindungan anak dan pencegahan kekerasan seksual melalui kampanye dan edukasi publik.
  • Mendorong budaya keterbukaan di mana anak-anak merasa aman untuk melaporkan perilaku mencurigakan atau tidak pantas.
  • Mendukung implementasi dan penegakan undang-undang perlindungan anak yang lebih kuat.
  • Berpartisipasi aktif dalam program-program perlindungan anak di tingkat komunitas.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun