Kekerasan adalah sesuatu yang tidak diinginkan oleh siapa pun karena sifatnya yang merugikan dan menyakitkan. Baik berupa kekerasan langsung maupun tidak langsung, verbal ataupun nonverbal, tindakan ini dapat dilakukan oleh individu maupun kelompok. Dampaknya tentu saja sangat buruk bagi korban. Saat ini, kekerasan dapat terjadi kapan saja dan di mana saja, termasuk di lingkungan sekolah. Padahal, sekolah seharusnya menjadi tempat yang nyaman bagi siswa untuk belajar. Namun, kurangnya pengawasan dan aturan membuat lingkungan tersebut berpotensi menjadi negatif. Salah satu bentuk kekerasan yang paling umum terjadi di sekolah adalah bullying. Berdasarkan survei UNICEF, satu dari tiga anak muda di 30 negara melaporkan pernah menjadi korban bullying daring, sementara satu dari lima menyatakan pernah membolos sekolah akibat bullying dan kekerasan (Wylie, 2019).
Menurut data PISA 2018, perundungan verbal dan relasional lebih sering terjadi dibandingkan perundungan fisik di banyak negara. Rata-rata di negara-negara OECD, 14% siswa melaporkan sering diolok-olok oleh teman sebaya setidaknya beberapa kali dalam sebulan, 10% menjadi sasaran rumor jahat, dan 9% sengaja dikecualikan dari kegiatan tertentu. Di 67 dari 75 negara yang dianalisis, lebih dari 10% siswa melaporkan mengalami ejekan, sementara 55 negara mencatat rumor jahat sebagai bentuk perundungan yang sering terjadi, dan 40 negara melaporkan bahwa siswa kerap tidak dilibatkan dalam aktivitas bersama.
Sebaliknya, perundungan fisik cenderung lebih jarang, dengan rata-rata 7% siswa melaporkan dipukul, didorong, diancam, atau kehilangan barang karena teman sebaya. Namun, terdapat perbedaan signifikan antarnegara yang dipengaruhi oleh norma budaya dan sosial. Misalnya, lebih dari 20% siswa di Azerbaijan, Republik Dominika, Indonesia, Yordania, Maroko, dan Filipina melaporkan bahwa barang mereka dirusak, sementara di Jepang, Korea, dan Belanda, persentasenya kurang dari 3%. Data ini menunjukkan bahwa kekerasan atau bullying di sekolah adalah masalah global yang dihadapi banyak negara di seluruh dunia.
Kasus perundungan di sekolah menjadi isu yang semakin serius di Indonesia, berdasarkan data dari Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) dan Federasi Serikat Guru Indonesia (FSGI). Pada 2023, tercatat ada 1.478 kasus perundungan, menunjukkan peningkatan signifikan dibandingkan tahun-tahun sebelumnya, yaitu 266 kasus pada 2022, 53 kasus pada 2021, dan 119 kasus pada 2020. Data terbaru FSGI juga menunjukkan bahwa dari 30 kasus yang dilaporkan pada 2023, 80% terjadi di sekolah yang berada di bawah naungan Kemendikbud Ristek, sementara 20% sisanya di sekolah di bawah Kementerian Agama.
Jenis perundungan yang terjadi di sekolah beragam, dengan perundungan fisik mendominasi 55,5%, diikuti perundungan verbal sebesar 29,3%, dan perundungan psikologis 15,2%. Tingkat kasus tertinggi terjadi pada jenjang SD (26%), diikuti SMP (25%), dan SMA (18,75%). Berdasarkan data dari Badan Pusat Statistik (BPS), korban perundungan paling banyak adalah siswa laki-laki, dengan jenjang SMP mencatat insiden tertinggi, diikuti SD, dan SMA di urutan terakhir.
Salah satu contoh kasus terbaru terjadi di Gresik, Jawa Timur, di mana seorang siswi SMP menjadi korban perundungan oleh teman sekelasnya. Dalam video yang viral, korban terlihat diancam dan ditendang oleh pelaku hingga menangis tak berdaya. Korban hanya bisa mengusap air matanya dengan kedua tangan, sementara pelaku tertawa puas dan bercanda dengan teman-temannya yang merekam kejadian tersebut. Peristiwa ini, dikutip dari Detik Jatim (Purwodianto), mencerminkan perlunya tindakan nyata dari guru, sekolah, dan masyarakat untuk menciptakan lingkungan belajar yang aman dan nyaman bagi semua siswa.
Bullying antar siswa yang semakin marak terjadi di sekolah telah menunjukkan tingkat yang memprihatinkan. Tingkat emosional siswa yang masih labil, memungkinkan perilaku bullying ini sering terjadi di kalangan para siswa (Hidayanti, 2019).salah satu emosi yang sering digunakan dalam bullying ini adalah amarah, siswa yang tidak bisa mengontrol dirinya dikendalikan sering kali membuatnya melakukan tindakan-tindakan yang tidak terpuji. Tindakan-tindakan itu berupa, membenci orang lain, bermusuhan dengan orang lain, menyakiti diri sendiri bahkan menghilangkan nyawa orang lain. Amarah muncul bisa disebabkan karena berbagai hal seperti iri hati dan tidak puas terhadap orang lain.
METODE
Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif dengan objek penelitian berupa kajian kepustakaan (literature review). Literature review adalah serangkaian penelitian yang melibatkan pengumpulan data dari berbagai sumber literatur atau informasi pustaka. Dalam pengumpulan data, penelitian ini menerapkan metode dokumentasi, yaitu dengan mencari dan menelusuri data yang relevan dengan rumusan masalah yang telah disampaikan di bagian pendahuluan. Pada penelitian ini, lima artikel dipilih sebagai bahan tinjauan, dengan sumber yang telah dipilih dan diseleksi secara cermat berdasarkan kesesuaiannya dengan topik penelitian.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Artikel pertama menyimpulkan bahwa bullying di sekolah disebabkan oleh kurangnya perhatian dari pihak sekolah terhadap kasus bullying, tradisi senioritas yang tidak terselesaikan, serta lingkungan sekolah yang kurang mendukung perilaku positif. Faktor-faktor ini memungkinkan bullying terus terjadi tanpa upaya pencegahan yang efektif.