Mohon tunggu...
Foodie Pilihan

#studidampak / Dampak Nafsu Makan Wisatawan terhadap Makanan Khas dari Daerah Wisata Menciptakan Makanan "Fusion"

27 Juni 2018   02:36 Diperbarui: 28 Juni 2018   17:57 1053
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Pada era ini juga generasi milenials lebih akrab terhadap jajanan sebagai cemilan yang dimakan hingga kenyang dibandingkan dengan makanan pokok, tentunya sangat tidak sehat. Salah satu perubahan yang terlihat adalah selera makanan masyarakat berubah dari tradisional ke makanan asing yang akhirnya menjadi trend dan di-'naturalisasi' dengan cara memfusion makanan tradisional ini, jarang memakan makanan pokok dan terbawa era modern lebih sering membeli makanan diluar yang menyebabkan menjamurnya makanan fusion modern dan menyingkirkan rasa khas makanan tradisional.

Lalu apa dampak sosialnya?

Terdapat dampak sosial negatif dan positif yang dapat disimpulkan, mari mulai dengan dampak negatifnya terlebih dahulu, dimulai dari trend wisatawan sekarang yang berburu suatu hidangan sampai mencarinya kemana-mana dan tidak segan sekalipun untuk membayar mahal hidangannya. Tipe wisatawan lainnya adalah mereka yang makan bukan hanya untuk mengenyangkan perut tetapi juga untuk menikmati penyajian atau suasana yang berbeda sebagai bagian dari pengalaman. 

Banyak tempat makan yang dibuat dengan konsep berbeda dengan sengaja mempunyai ciri khas dan kualifikasi masin-masing sang owner demi mendapatkan perhatian masyarakat, kedai, warung, caf, restaurant, dessert house, laboratory, dll dengan inti yang sama yaitu: tempat makan. Namun tidak seluruh usaha makanan seperti ini sukses, lebih banyak yang gagal karena terkadang wisatawan yang sudah sengaja menyempatkan waktu untuk datang demi makanan ini berekspektasi tinggi terhadap hidangan di daerah tertentu justru merasa rasanya tidak enak dan tidak menggugah selera makan,

 presentasi makanan yang baik belum tentu akan menghasilkan rasa makanan yang enak juga.

Dari sinilah bermunculan wisatawan yang lebih memilih untuk memakan makanan yang khas dari suatu daerah, namun sudah sulit ditemukan karena termakan oleh perkembangan jaman, biasanya yang menjual makanan khas ini kebanyakan adalah orang tua. Penggemar makanan tradisional juga didominasi oleh orang dewasa dan orang tua, anak-anak mudanya tidak berselera mencoba karena perlahan tergerus dan tersisihkan seiring dengan perkembangan waralaba kuliner fusion, karena menurunnya minat pembeli makanan tradisional, sehingga produksinya berkurang, dan keberadaannya pun perlahan menghilang.

Sedangkan dampak positifnya adalah banyaknya usaha-usaha kecil masyarakat yang menjamur dengan berjualan makanan fusion karena sangat laku, beberapa dari masyarakat yang sukses mengembangkan makanan fusion ini bahkan bisa sampai membuka cabang-cabang/franchise di kota lainnya, salah satu yang paling terkenal di Bandung adalah Soerabi Enhaii yang kini telah membuka cabang diluar kota. 

Peluang ini juga banyak dimanfaatkan oleh kalangan artis, blogger, atau orang terkenal lainnya menjadi bisnis-bisnis yang menjajikan dan di re-branding menjadi makanan khas disuatu diaerah yang tidak segan-segan sampai membawa nama kotanya meskipun terbilang makanan fusion diantaranya ada Bandung Makuta, Jogja Scrummy, Medan Napoleon, Malang Strudel, Bogor Raincake, dan lain-lain. Padahal aslinya? Apakah makanan ini masih bisa disebut makanan tradisional khas disuatu daerah? Tidak. Ini adalah makanan fusion, bukan makanan asli khas  buatan Indonesia.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Foodie Selengkapnya
Lihat Foodie Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun