Deadline demi deadline menumpuk seperti gunung, membuat pikirannya terus berputar. Di satu sisi, ia ingin memberikan yang terbaik untuk perusahaan. Di sisi lain, ia merasa terbebani dengan tuntutan yang semakin tinggi.Hari ini, Anya harus menyelesaikan presentasi untuk rapat penting besok. Ia sudah berjam-jam bergelut dengan data dan slide, namun hasilnya masih belum memuaskan. Frustasi mulai menghampirinya.
Hari-hari di kantor terasa semakin berat bagi Anya."Aduh, kenapa sih semuanya jadi begini ribet?" gumamnya sambil mengusap wajah.
Tiba-tiba, pintu ruangannya terbuka. Kepala divisi, Pak Hendra, masuk dengan wajah cemberut.
"Anya, bagaimana progres presentasinya? Besok harus sudah final, ya," tegas Pak Hendra.
Anya hanya bisa mengangguk lesu. Ia berusaha sekuat tenaga untuk tetap tenang, namun rasa takut dan cemas mulai menguasainya.
"Pak, saya sudah berusaha semaksimal mungkin. Tapi, saya rasa masih ada beberapa bagian yang perlu diperbaiki," jawab Anya dengan suara pelan.
"Saya tahu kamu sudah berusaha, Anya. Tapi, ini sangat penting. Jangan sampai kita gagal dalam rapat besok," ucap Pak Hendra.
Setelah Pak Hendra pergi, Anya kembali fokus pada pekerjaannya. Namun, pikirannya terus melayang ke berbagai hal. Ia memikirkan hubungannya dengan rekan kerja yang semakin renggang, masalah pribadi yang belum terselesaikan, dan masa depannya di perusahaan.
"Apa aku harus mencari pekerjaan baru?" gumamnya dalam hati.
Tiba-tiba, ponselnya berdering. Ternyata, itu adalah panggilan dari ibunya.
"Anya, kamu sudah makan siang?" tanya ibunya dengan nada khawatir.