Mohon tunggu...
Ahmad Kholiyi
Ahmad Kholiyi Mohon Tunggu... Guru - Seorang Pembelajar

Namaku Ahmad Kholiyi. Aku dilahirkan di Lebak tanggal 22 Oktober 1995. Aku lahir dan besar dilingkungan keluarga yang penuh paradigma. Ayah adalah seorang kepala keluarga yang demokratis, sehingga tak mengekang anaknya dalam memperdalam jati diri masing-masing sesuai pencarian hidup kami. Ibu adalah seoranh ibu yang visioner dan punya cita-cita besar agar semua anaknya dapat mengenyam pendidikan setinggi-tingginya. Kami sekeluarga dididik mandiri sejak kecil, agar terbiasa menjalani hidup apa adanya. Aku bercita-cita menjadi seorang cendikiawan. Idolaku, selain Rasulullah, ialah seorang cendikiawan humanis, yaitu KH. Abdurrahman Wahid (Gus Dur)

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Gus Dur dan Sebuah Kehilangan

7 Desember 2018   15:18 Diperbarui: 7 Desember 2018   15:35 248
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Menurut Gus Dur manusia (baca: semuanya) adalah makhluk Tuhan yang patut dilindungi dan dijaga hak-haknya. Prinsip-prinsip seperti persamaan derajat di muka hukum, perlindungan warga masyarakat dari kedlaliman dan kesewenang-wenangan, penjagaan hak-hak mereka yang lemah dan menderita kekurangan dan pembatasan atas wewenang para pemegang kekuasaan, semuanya harus bisa diwujudkan.

Gus Dur menambahkan bahwa sebenarnya universalisme yang tercermin dalam ajaran-ajaran yang memiliki kepedulian kepada unsur-unsur utama kemanusiaan itu diimbangi pula oleh  kearifan yang muncul dari keterbukaan peradaban Islam sendiri. (Modul KPG, hlm. 122)

Argumen selalu Gus Dur 'setir' dalam konteks pembelaannya terhadap HAM ini adalah sebuagaimana yang ia ambil dari literatur hukum agama al-kutub al-fiqhiyyah lama terkait lima buah jaminan dasar yang diberikan agama Islam kepada warga masyarakat baik secara perorangan maupun sebagai kelompok.

Kelima jaminan dasar itu adalah jaminan dasar akan (1) keselamatan fisik warga masyarakat dari tindakan badani diluar ketentuan hukum (hifdzu an-nafs), (2) keselamatan keyakinan agama masing-masing, tanpa ada paksaan untuk berpindah agama (hifdzu al-din), (3) keselamiatan keluarga dan keturunan (hifdzu al-nasl), (4) keselamatan harta benda dan milik pribadi di luar prosedur hukum (hifdzu al-mal), dan (5) keselamatan berfikir atau  kebebasan berfikir kaitannya dengan profesionalitas(hifdzu al-aql).

Gus Dur juga meyakini bahwa pemahaman tentang konsep universalisme dan kosmopolitanisme ajaran Islam membukan paradigma pemikiran kaum Muslim yang sempit dan sangat ekslusif, agar nantinya bisa mengambil bagian dalam kebangunan peradaban manusia.

Loncatan-loncatan jauh daripada gagasan-gagasan Gus Dur tentang Islam dan kemanusiaan tersebutlah yang kini masih ada. Pemikirannya yang jauh ke depan dan matang tersebut mestilah kita pelihara dan lanjutkan. Kita tahu, bahwa dewasa ini  (selelah Gus Dur tiada) permasalahan-permasalahan kemanusiaan yang menjadi bahan pokok pemikiran Gus Dur nyatanya makin kentara kita rasakan.

Lima jaminan dasar manusia (dalam Islam) yang menjadi rujukan terhadap perlindungan hak-hak asasi manusia (sebagaimana yang sudah diterangkan) ternyata makin sulit diterapkan. Yang ada malahan pelanggaran-pelanggaran akan kelima jaminam tersebut. Indonesia sendiri, sebagai negara yang mayoritas rakyatnya memelum agama Islam, masih jauh sekali dari kepantasan telah menerapkan lima jaminan dasar tersebut.

Buktinya adalah masih larisnya isu SARA (Suku, Ras, & Agama) sebagai bahan gorengan pemecah belah persatuan bangsa yang memiliki keberagaman yang sangat tinggi ini. Diskriminasi terhadap hak-hak kaum minoritas (dalam kehidupan politik dan sosial) masih saja sering terjadi.

Dalam tahun politik sekarang, para 'demagog politik' malah sepertinya sengaja menggunakan isu SARA sebagai komoditas utama demi mencapai hasrat kekuasaan. Imbas daripada politisasi isu SARA ini lah yang menyebabkan pelanggaran HAM itu makin masif dirasakan. Politik identitas yang kemudian muncul sebab politisasi isu SARA mengakibatkan hak-hak demokrasi sebagian masyarakat terhambat.

Klaim kebenaran soal pandangan politik yang tengah marak sekarang menyebabkan penyempitan makna demokrasi yang tengah dirawat di Indonesia. Demokrasi akhirnya dibatasi oleh klaim bahwa 'yang benar' (versi yang mengklaim) yang harus diikuti, yang tak sesuai (apalagi salah) dan berbeda haluan dengan pandangan 'mereka' maka tidak boleh diikuti bahkan dikatakan menyimpang. Kebebasan memilih dan berpendapat akhirnya dibatasi oleh hal-hal demikian. Padahal sungguh sempit sekali pandangan politik identitas semacam itu.

Naifnya, isu politik (yang sarat dengan unsur-usur politik identitas dan politisasi SARA) semacam itu sekarang malah lebih senang dibahas dalam berbagai macam obrolan, diskusi, dan debat. Kita malah mengesampingkan isu yang menurut penulis lebih utama. Seperti apa kata Gus Dur "yang lebih penting dari politik adalah kemanusiaan". Kita lalai dalam pembahan soal manusia, soal hak-haknya, soal penyelesaian ketimpangan ekonomi, soal pemecahan masalah sosial masyarakat, soal cara memanusiakan manusia sebagaimana yang selalu diperjuangkan Gus Dur.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun