Mohon tunggu...
Ahmad Kholiyi
Ahmad Kholiyi Mohon Tunggu... Guru - Seorang Pembelajar

Namaku Ahmad Kholiyi. Aku dilahirkan di Lebak tanggal 22 Oktober 1995. Aku lahir dan besar dilingkungan keluarga yang penuh paradigma. Ayah adalah seorang kepala keluarga yang demokratis, sehingga tak mengekang anaknya dalam memperdalam jati diri masing-masing sesuai pencarian hidup kami. Ibu adalah seoranh ibu yang visioner dan punya cita-cita besar agar semua anaknya dapat mengenyam pendidikan setinggi-tingginya. Kami sekeluarga dididik mandiri sejak kecil, agar terbiasa menjalani hidup apa adanya. Aku bercita-cita menjadi seorang cendikiawan. Idolaku, selain Rasulullah, ialah seorang cendikiawan humanis, yaitu KH. Abdurrahman Wahid (Gus Dur)

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Kopi Ibu

5 Desember 2018   10:29 Diperbarui: 5 Desember 2018   20:09 242
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.


KOPI IBU
Karya: Ahmad Kholiyi

Seperti biasa, Desember adalah bulan hujan. Bulan yang cocok bagi para pujangga profesional hingga pujangga amatiran merangkai kata-kata tentang cinta, rindu, sakit, bahagia, dan segala macam bentuk perasaan. Terkecuali aku, yang sepagi ini masih enak meringkuk di balik selimut. Bahkan mungkin akan tetap seperti ini hingga siang menjelang. Aku bukan seorang pujangga profesional ataupun amatiran. Aku hanyalah seorang pemuda 'pengangguran' haha.

Di balik jendela kamar, hujan masih riang bergemericik. Rasayan dari semalam, bahkan dari sore kemarin langit di kotaku tiada henti menumpahkan hujan. Aduhai awetnya, aduhai dingin pula. Aku, makin menyempurnakan selimut menutupi seluruh tubuhku. Rasanya memang hanya tidur yang merupakan pilihan terbaik. Yaa maklum, aku tak mengejar apa-apa pagi ini, karena aku 'pengangguran'.

"Jaya...!!"

Suara keras lagi nyaring mengetuk-ngetuk pintu kamar yang terkunci. Suara yang setiap pagi selalu kudengar. Ibu, ia tak pernah bosan menyuruhku agar bangun pagi-pagi. Katanya bangun pagi itu pembuka pintu rezeki. Katanya dalam suatu waktu, ketika kami terlibat pembicaraan kecil di pekarangan

"Cobalah, sekali-kali kamu bangun pagi sendiri, solat subuhmu jangan kebanyakan kesiangannya. Biar jangan berlama-lama menjadi pengangguran pula". Katanya sambil memakan biskuit kelapa ditemani secangkir kopi. Ibu dan aku sama-sama suka kopi.

"Lho!, apa kaitannya bu? Bangun pagi dengan aku yang pengangguran?"
"Kamu itu!, pintu rezeki itu dibuka pagi-pagi, apalagi kalo ditambah subuhmu yang tepat waktu plus solat dluha' pula. Mungkin anak ibu sekarang sudah punya rumah sendiri. Bukan malah baru bangun setelah matahari mengeringkan pakaian yang ibu jemur dari pagi". Sambil senyum dia menjelaskan.
"Wadaaw, hha, siap bu! Doakan saja semoga anak ibu bisa rajin bangun pagi". Aku nyengir, sambil menyelupkan biskuit ke dalam kopi.
"Setiap hari nak, doa ibu selalu buatmu. Tapi, kalau usaha darimu tak ada, sama saja kamu ndak mendukung doa ibu." Ibu, masih selalu lembut menimpali obrolan kami. Walaupun pada kenyataan mungkin dia mungkin amat kesal kepadaku.

Aku diam, tak manimpali kembali. Ada perasaan malu teramat bercampur haru. Aku cuma tersenyum. Kuminum lagi secangkir kopi untuk diminum oleh kami berdua. Walau ibu suka kopi, paling hanua setengah cangkir, maka biasanya ia mengajakku minum kopi bersama.

***

"Iyaa buu.."
"Bangun! Buka pintunya!"

Akhirnya aku bangkit, kusingkab selimut yang menutupi tubuhku tadi. Kuhampiri pintu, kubuka. Di depan pintu ibu berdiri menunggui.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun