Mohon tunggu...
Kholis Ardiansyah
Kholis Ardiansyah Mohon Tunggu... pelajar/mahasiswa -

Study at Psychology | UIN Maliki Malang | Never Stop to #Process |

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Keberagaman (Umat) Beragama

7 Desember 2014   00:58 Diperbarui: 17 Juni 2015   15:53 64
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

22 November, Surau Agama Jelau

Secangkir kopi menyambut pagi Mariadi Jelau. Kali ini dia minum sedikit saja. Abdi-nya, Fajar Maulana menyampaikan kabar geming. Desa Mlinjo akan terancam pemerataan tanah. Alasannya, mayoritas dari mereka memeluk agama Jelau. Mendengar kabar tersebut Mariadi terkesan tak percaya.

“Mas, itu hanya isu. Kan kita tidak tahu kabar itu benar adanya.” Mariadi berujar.

“Maaf sang guru, saya mengetahui kabar ini dari kepala desa.” jelas Fajar.

“Hmm, kalau itu saya tidak mengetahui yang pasti. Kemungkinan minggu depan saya koordinasikan lagi kepada kepala desa. Oh ya, sudah ada persiapan untuk tradisi agama kita, berdoa bersama bersama besok?”Mariadi mengalihkan pmbicaraan.

“Oh, iya sang guru. Sudah saya siapkan mulai konsumsi dan konsep acaranya. Maaf, sang guru bagaimana dengan pemerataan tersebut?” tanya Fajar .

“Sudahlah, kita tunggu saja koordinasi saya dengan kepala desa. Solusinya bagaimana, sikap kitasebagai minoritas bagimana. Nah, pasti nanti saya usahakan. Penting, persiapkan acara untuk besok saja” tegas Mariadi.

“Baiklah sang guru, saya mohon undur diri dulu.” pamit Fajar.

Dulu: Tahun 1800-an, Desa Mlinjo

Tepat kala itu, hamparan indaha terlihat luas di desa Mlinjo. Pegunungan, air sumber melimpah, dan tak ketinggalan kesejahteraan masyarakatnya. Banyak warga pendatang yang kemudian meneruskan hidupnya di desa ini. Desa yang hijau. Sore itu, di salah satu sabana mereka merayakan tradisi “Barter Warga”. Dimana mereka menukar barang yang mereka miliki sesuai hasil pekerjaan mereka dengan hasil pekerjaan orang lain. Walaupun di desa mereka koin menjadi alat ayar yang sah. Aktivitas ini sebagai bentuk syukur atas pekerjaan mereka dan sebagai sarana komunikasi erat antar warga.

Nasruddin Jelau, adalah salah satunya. Sebagai seorang pengusaha daging yang sukses dia mensyukuri pekerjaannya. Maka dia berniat mem-barter daging yang dia miliki dengan gandum milik temannya.

“Mas Nasrul, saya punya daging 5 kg, boleh saya tukar gandumnya 10 kg saja?” tawar Jelau.

“Sebentar mas, kita memang bersahabat baik. Tambah 2 kg lah.” jawab Nasrul.

“Baiklah, nanti malam biar anak saya yang menagantar ke rumahnya mas.” Jawab Jelau.

“Ya, kalau saya ke rumah mas Jelau saja bagaimana? Ya, sekalian saya bawa keluarga saja” jawab Nasrul.

“Wah, ya mas silahkan.. Saya sekeluaraga pasti senang” tambah Jelau.

Aktivitas inilah yang menjadi perekat antar warga. Mereka saling bercanda, bertamu, bahkan bersyukur karena acara ini terus ada. Mereka hidup rukun, aman, dan saling membutuhkan. Waalupun desa ini letaknya terpencil, ketenangan hidup dapat diperoleh. Alam dan masyarakatnya menjadi satu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan

Dulu: Tahun 1805-an, Desa Mlinjo

Seperti biasa, desa ini merupakan desa paling tentram dari desa lainnya. Tetapi masalah mulai muncul ketika kepala desa meberikan pajak tinggi kepada warganya. Keputusan ini dinilai kesewang-weanangan karena menguntungkan pribadi. Ada kepentingan dibalik kebijakan baru tersebut. Singkat waktu, selama 2 tahun sejak kebiajakan ini diambil, mengakibatkan banyak warga yang tertimpa kemiskinan. Dan tak lama diketahui kepala desa menimbun harta dari pajak tersebut.

Sebagai seorang pedagang daging, lambat-laun kondisi ini menimpa Jelau. Beberapa hari ini Jelau dpusingkan dengan hal tersebut. Bahkan beberapa hari kemudian kondisnya fisiknya menurun. Stress yang dialami menganggu fisik maupun psikologisnya. Terus menerus dia tertekan, hingga dia dalam keadaan kemurungan dalam beberapa bulan kemudian. Kondisi ini menakibatkan alur penjulannya turun drastis. Taktis dia merasakan pesimisme terkait masa depannya. Anak-anak, keluarga, urusan dapar, terlebih: pajak.

Hingga tak lama dia berfikir untuk menemukan solusi: mengumpulkan orang – orang. Hingga pada hari yang disepakati untuk berkumpul di rumahnya. Terkumpul sekitar dua puluh lima orang.

“Baiklah bapak – bapak terima kasih untuk kedatangannya. Saya buka diskusi kita kali ini. Menurut bapak – bapak bagaimana cara mengendalikan kebijakan pemerintah?” Jelau membuka forum.

“Maaf pak, kalau menurut saya tidak ada solusi yang kita ambil” pungkas salah satu warga.

“Ya, saya setuju. Desa kita di tengah laut luas, di pulau kecil. Bagaimana cara kita mengatasi hal ini. Apalagi banyak warga yang pusat usahanya disini” warga lain menambahi.

Diskusi mulai berjalan, banyak warga pesimis mengenai masa depan mereka. Terlihat satu-persatu dari mereka undur diri untuk pulang: meneruskan pekerjaan mereka. Tidak disadari, hanya ada empat orang tersisa dari forum tersebut. Mereka sepakat untuk melanjutkan diskusi untuk menemukan solusi.

“Maaf [ak Jelau, kita hanya tinggal lima orang. Apakah keputusan lima orang dapat menjadi dasar?” tanya Benazir.

“Saya rasa bisa. Kalaupun dikumpulkan lagi tak ada gunanya, warga sudah merasa bosan dengan keadaan ini, mereka putus asa.” ujar Jelau.

“Baik kalau begitu. Saya mempunyai solusi, kita ambil paksa harta kepala desa. Kemudian kita bagikan ke warga” usul Arif.

“Bukannya tidak berbahaya? Kalaupun nanti kita setuju, kita harus berani menaanggung resiko” usul Yahya.

Kemudian, setelah diskusi selesai dapat diputuskan mereka akan mengambil paksa harta kepala desa pada malam hari. Mereka juga berencana menutupi kedok mereka dengan mengadakan pendidikan berbasis agama gratis untuk warga sekitar. Selain itu, dipilhlah Jelau sebgai ketua. Pertimbangan terkuat, Jelau memiliki ilmu yang luas yang diperolehnya dari negeri Timur.

29 November, desa Mlinjo

Kabar tersebut memang benar adanya. Setelah berkoordinasi dengan kepala desa, Mariadi merasa terpukul. Sebagai pempinan ke-4 agama Jelau dia terlihat gelisah. Difikirkannya kembali perjuangan kakek-cicitnya sebagai pendiri agama. Kenyataannya bukan pendiri agama, tetapi ketika beliau meninggal tidak ada pengganti kakek-cicitnya. Hingga membuat warga sekitar menganggap Nasruddin Jelau sebagai pemimpin abadi mereka, hingga disepakati agama Jelau. Dan membuat anak turun Nasruddin Jelau sebgaai pengemban amanat agama Jelau.

“Maaf sang guru, apa yang anda fikirkan?” sapa Fajar membuyarkan lamunannya.

“Ya mas, saya teringat kejadian dulu di desa ini. Dari dulu Bapak, Kakek menjadi posisi penasihat bagi kepala desa. Dan saya merasa bertanggung jawab terkait pemasalahan ini” keluh Mariadi.

“Maaf sang guru, jika saya mengganggu.” Ujar Fajar.

“Tidak apa – apa mas, memang globalisasi mengakibatkan kepercayaan kita pasang-surut. Tetapi kita juga mempunyai hak untuk memeluk agama yang kita percayai bukan?” keluh Mariadi lagi.

Arrrggghh... Pemerintah membuat kebiajakan baru. Agama lokal bukan kepercayaan yang diakui. Hanya agama mainstream: Islam, Kristen, Budha, Hindu, dan Konghucu. Alasannya agama lokal merupakan cabang dari agama – agama tersebut. Katanya mereka tidak mempunyai idealis yang jelas. Integrasi agama dan budaya sudah dianggap bukan lokal wisdom lagi. Sikap ekslusif dikedepankan, posisi pluralis makin tersudut.

1 Januari, Tahun Baru

Dor... Dor..

Tepat hari ini, kami tidak akan bisa menyalakan kembang api. Tidak ada cerita bahagia yang akan kami bagikan kepada kalian. Tepat hari ini, pemerintah pusat memerintahkanmembumi-hanguskan desa kami. Informasi kepada kalian, sengaja ditutup – tutupi untuk menjaga citra mereka. Rumah kami sudah rata dengan tanah. Keluarga kami hilang satu-satu. Dan ketakutan kami makin menjadi. Tak ada harapan, seakan agama kita yang menjadi permasalahan. Semuanya habis.

Beruntung aku selamat dari tragedi itu. Aku dengan beberapa orang berhasil melarikan diri. Kini kami berada di atas air, menyaksikan semuanya dari sini. Sampai akhirnya kami tidak bisa melihat saudara kami, desa kami, kepercayaan kami. Sudahlah, kita memang bukan keberagamaan beragama. Tetapi bukankah kita bisa membangkitkan semanagat keberagama umat beragama? Karena kita tahu. Kita memiliki prinsip masing – masing: keberagamaan beragama , tetapi tak adakah semanagat untuk bersosialisasi: keberagaman umat beragama? Biarkanlah kami hidup dengan apa yang kita yakini, karena itu yang membuat kita atau kalian tetap hidup bukan?

Salam Keberagamaan Umat Beragama,

Mariadi Jelau

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun