Mohon tunggu...
kholis harahap
kholis harahap Mohon Tunggu... Mahasiswa - Peneliti

Pemerhati Hukum Tata Negara

Selanjutnya

Tutup

Hukum

Hukum Tak Indentik dengan Pasal

11 Mei 2023   18:25 Diperbarui: 11 Mei 2023   18:33 154
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Hukum. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Beberapa waktu yang lalu ramai perbincangan yang dilakukan oleh masyarakat tentang kewenangan sebuah lembaga negara dalam menjalankan tugas dan fungsinya. 

Mulanya perdebatan muncul setelah Menkopolhukam Mahfud MD menginformasikan adanya dugaan tindak pidana pencucian uang (TPPU) dilingkungan kementerian keuangan sebesar 300 triliun kepada publik. 

Para anggota DPR mendalilkan bahwa tidak ada suatu kewenangan Kepala PPATK maupun Ketua Komite TPPU untuk mengungkapkan hasil temuannya kepada publik karena tidak ada pasal yang mengaturnya, namun dalil tersebut dipatahkan oleh Menkopolhukam dengan mengatakan bahwa bukan berarti tidak adanya suatu pasal didalam UU yang mengatur itu dilarang, selagi UU atau pasal tidak melarangnya maka itu boleh dilakukan sepanjang dalam pengungkapan tersebut tidak menyebut subjek hukum secara eksplisit.

Dalam hukum pidana tentu kita sangat mengetahui bahwa jika suatu perbuatan yang merupakan tidak termasuk dalam ranah pidana maka pelaku atau tersangka tidak dapat dipidana karena tidak ada pasal yang mengaturnya. 

Dari perpektif ketatanegaraan suatu UU bertujuan untuk menentukan apa yang wajib dilakukan oleh subjek hukum selaku pejabat yang mempunyai kewenangan disuatu lembaga. 

Esensinya semua tugas pokok dan fungsi kelembagaan negara wajib dimuat didalam suatu peraturan (regeling) dengan maksud mempertegas mana-mana saja yang termasuk kewenangan pejabat tersebut. 

Jika suatu perbuatan pejabat publik yang dilakukannya secara konkret namun tidak ada pasal demikian yang mengaturnya atau bahkan melarangnya itu tidak bisa dikategorikan sebagaimana bukan kewenangannya apabila yang dilakukan oleh pejabat a quo masih dalam orientasi yang rasional.

Seperti contoh misalnya seorang Hakim yang sedang dalam perjalanan menuju kantornya ia terjebak kemacetan dipersimpangan lalu ia melakukan pengaturan lalu lintas dipersimpangan jalan raya tersebut. 

Jika kita nilai berdasarkan mazhab positivisme maka tidak akan ditemukan didalam UU Kekuasaan Kehakiman untuk diperbolehkan mengatur lalu lintas jalanan yang macet karena tidak ada Pasal yang mengaturnya. Tetapi karena ia melihat tidak ada Polantas yang bertugas pada waktu itu makai ia berinisiatif untuk melakukannya. 

Pertanyaannya apakah itu dilarang? Tentu tidak. Lalu apa yang dilarang? Misal seorang hakim memerintahkan kepada semua pengguna jalan untuk menepi dan memberikan jalan kepada hakim tersebut. Padahal tidak ada suatu kewenangan yang diberikan oleh UU untuk memberikan jalan terlebih dahulu terhadap seorang hakim. 

Apakah ada satu pasal dari UU Kehakiman yang memerintahkan jika seorang hakim sedang dalam perjalanan menuju kantor untuk lebih diutamakan diberikan jalan? Tentu tidak dan secara legal reasoning pendapat itu bisa langsung dibantah karena sangat tidak logis dari kewenangan seorang Hakim.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun