Mohon tunggu...
KHOLILUR RAHMAN
KHOLILUR RAHMAN Mohon Tunggu... Penulis - Pemerhati Hukum

Aktif menulis Opini (khusus dibidang keilmuan hukum), berbagai tulisannya juga sering kali terbit di beberapa Surat Kabar: Jawa Pos Radar Madura, Radar Jember, Banjarmasin Post, Harian Bhirawa, New Malang Pos, Malang Post, Harian Momentum, Harian Analisa, dll.

Selanjutnya

Tutup

Hukum

Zorgen van Heden: Ancaman Konflik di Laut China Selatan

31 Mei 2024   22:12 Diperbarui: 31 Mei 2024   23:47 334
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Laut china selatan (sumber : setnasasean.id)

Laut China Selatan menjadi sumber ketegangan geopolitik yang begitu signifikan dan terus berlanjut dari waktu ke waktu, tidak hanya bagi negara-negara di kawasan Asia Tenggara, tetapi juga bagi dunia internasional. Ketegangan ini berakar dari klaim tumpang tindih atas wilayah maritim yang kaya akan sumber daya alam, termasuk ikan dan cadangan minyak serta gas bumi yang melimpah.

Menilik laporan dari Lembaga Energy Information Administration (EIA), RRC (Republik Rakyat China) memperkirakan bahwa cadangan minyak disana sebesar 213 miliar barel, yang jumlahnya sekitar sepuluh kali lipat dari cadangan minyak nasional Amerika Serikat. Sementara itu, para ilmuwan Amerika Serikat memperkirakan bahwa terdapat sekitar 28 miliar barel minyak di kawasan Laut Cina Selatan. 

Selain itu, EIA juga menyatakan bahwa sumber daya alam terbesar di wilayah tersebut kemungkinan besar adalah gas alam, yang diperkirakan mencapai 900 triliun kaki kubik, setara dengan cadangan gas alam Qatar. Perairan Laut China Selatan juga merupakan jalur utama bagi pengiriman kapal dan sumber mata pencaharian bagi banyak orang di negara-negara sekitar kawasan tersebut (R. Roza, et al., 2013).

RRC, dengan klaim historisnya sering disebut sebagai “sembilan garis putus-putus” menjadi aktor utama terjadinya konflik di Laut Cina Selatan.  Yoshifumi Tanaka (2019) dalam buku “The South China Sea Arbitration (Toward an International Legal Order in the Oceans)”, menyatakan bahwa klim tersebut pertama kali muncul di peta resmi China pada Tahun 1948 yang dikenal dengan sebutan “nene-dash line” atau juga disebut “U-shaped line” atau “nine-dotted line”. Sejak itulah kemudian kembali muncul perdebatan dan upaya konfrontatif saling klaim atas sebagian ataupun seluruh wilayah perairan tersebut, beberapa negara yang terlibat yaitu seperti seperti Republik Rakyat Cina (RRC), Taiwan, Vietnam, Filipina, dan Brunei Darussalam.  

Apabila melihat Peta Standar China 2023 (The 2023 edition of the standard map of China) yang baru di rilis pada Senin 28 Agustus 2023 (Ma Zhenhuan, 2023). Sejumlah surat kabar melaporkan bahwa “Peta Standar China 2023” ini mancakup wilayah-wilayah yang disengketakan termasuk klaim atas Laut China Selatan. Di kawasan Laut China Selatan, batas negara China nampaknya juga mencaplok wilayah sengketa maritim di dalam zona ekonomi eksklusif Malaysia dekat Sabah dan Sarawak, Brunei, Filipina, Indonesia dan Vietnam (BBC News Indonesia, 2023).

Indonesia meskipun bukan negara pengklaim, malah menjadi terlibat dan terkena dampak dari konflik karena wilayah ZEE (Zona Ekonomi Eksklusif) Indonesia di wilayah Perairan Natuna masuk dalam peta klaim sepihak China atau Peta Standar China 2023 (The 2023 edition of the standard map of China). Indonesia mengakui bahwa wilayah tersebut merupakan Zona Ekonomi Eksklusif-nya berdasarkan UNCLOS 1982 dan berhak untuk melakukan kegiatan ekonomi pada wilayah perairan tersebut (Baylon, et al., 2021).  

Ketegangan dan upaya konfrontatif saling klaim yang tidak kunjung selesai ini memicu munculnya kekhawatiran bagi kedaulatan negara Indonesia. Dalam kaitan ini penulis menggunakan istilah belanda “zorgen van heden” yang berarti “kehawatiran masa kini”. Istilah ini digunakan sebagai penegasan dan menunjukkan adanya kehawatiran masa kini atas ancaman konflik yang terjadi di laut cina selatan, yang dikhawatirkan berimplikasi juga terhadap kedaulatan negara Indonesia.      

Ancaman terhadap Kedaulatan Negara

Polemik di laut china selatan menjadi tren dari masa-kemasa. Adanya Nine Dash Line yang diterbitkan oleh RRC, ternyata didukung dengan upaya-upaya kekuatan militernya, salah satunya membuat pangkalan militer untuk memperkuat klaimnya (Baylon, et al., 2021). Bahkan akhir-akhir ini terdapat kebijakan-kebijakan baru yang dilakukan oleh negara-negara yang bersengketa. 

Seperti halnya Filipina pada Sabtu (18/5/2024) mengumumkan pergantian komandan yang mengawasi pasukan di Laut China Selatan (Kompas.com, 2024), selaian itu juga Militer AS ikut memperingatkan bahwa China akan melanjutkan pengembangan reaktor nuklir terapung di Laut China Selatan, untuk memperkuat klaimnya atas wilayah maritim yang disengketakan (Kompas.com, 2024a).

Selain upaya militer, pemerintah RRC juga melakukan upaya non militer untuk memperkuat klaim mereka akan Laut China Selatan. Anthe Roberts dalam bukunya, Is International Law International? mengatakan bahwa pemerintah China mendanai riset-riset yang berkaitan dengan hukum laut, terutama yang menyinggung permasalahan Laut China Selatan. Bahkan tak disangka RRC juga memasukan Nine Dash Line pada bagian belakang paspor China (Baylon, et al., 2021).

Klaim mutlak atas seluruh wilayah perairan Laut China Selatan, memicu adanya zorgen van heden atau kehawatiran masa kini bagi negara-negara pengklaim dan non-pengklaim (claimant dan non-claimant states). Zorgen van heden yang meningkat akibat manuver militer dan upaya saling unjuk kekuatan di Laut China Selatan telah memicu terjadinya eskalasi ketegangan. Perilaku agresif dan provokatif angkatan laut RRC semakin sering terjadi. 

Aksi saling cegah dan usir di wilayah sengketa tersebut terus meningkat, hal ini berpotensi mengarah pada konflik berskala rendah (low intensity conflict). Namun, tetap ada kemungkinan terjadinya konflik bersenjata terbuka (high intensity conflict) dengan intensitas tinggi jika resolusi permanen tidak tercapai, mengingat kepentingan besar dari negara-negara yang terlibat klaim maupun pihak luar kawasan (R. Roza, et al., 2013).

Ancaman konflik di Laut China Selatan akan menimbulkan ancaman signifikan, tremasuk bagi kedaulatan Indonesia. Seperti: (1) keamanan nasional Indonesia (2) ancaman kedaulatan maritim Indonesia; (3) Gangguan pada Jalur Perdagangan; (4) peningkatan anggaran pertahanan dan militer Indonesia; serta (5) mempengaruhi juga pada posisi Diplomasi dan Hubungan Internasional.

Zorgen van heden (kehawatiran masa kini) terhadap ancaman konflik di Laut China Selatan bagi kedaulatan Indonesia adalah nyata dan kompleks. Upaya RRC, baik secara militer maupun non-militer, untuk memperkuat klaimnya menimbulkan tantangan besar bagi negara-negara di kawasan, termasuk Indonesia. Dalam menghadapi situasi ini, Indonesia dituntut perlu untuk memperkuat pertahanannya, memperdalam diplomasi internasional, serta menjaga stabilitas di kawasan untuk melindungi kepentingan nasional dan kedaulatannya di Laut China Selatan.

Perdamaian

Berbicara perdamaian penulis teringat dengan pidato yang disampaikan Presiden RI pada acara  peringatan hari perdamaian dunia tahun 2009 lalu, di Ambon tanggal 25 november 2009 menyatakan bahwa “Ciri - ciri bangsa yang beradab, dunia yang beradab, civilized world, adalah mereka yang tidak menyukai kekerasan, mereka yang mencintai perdamaian dan menyelesaikan konflik dengan cara-cara yang damai dan bermartabat”.

Ketentuan UNCLOS 1982 dalam PART XV SETTLEMENT OF DISPUTES, telah mewajibkan negara-negara untuk menyelesaikan setiap perselisihan dengan cara damai, hal ini diatur dalam Article 279 dan Article 280 UNCLOS 1982. Hal ini tentunya berlaku juga bagi konflik laut china selatan agar dapat diselesaikan secara damai sesuai dengan ketentuan UNCLOS 1982.

Pada prinsipnya, Ketentuan-ketentuan dalam PART XV  ini bertujuan untuk memastikan bahwa perselisihan di laut dapat diselesaikan dengan cara yang adil dan efisien, menjaga stabilitas dan kepastian hukum di lautan internasional. Oleh karena itu, untuk menjamin kepastian hukum, ketentuan UNCLOS 1982 juga telah memberikan pilihan prosedur penyelesiaian, yaitu :  (a) International Tribunal for the Law of the Sea (ITLOS); (b) International Court of Justice (ICJ); (c) Arbitral Tribunal; dan (d) Special Arbitral Tribunal.

Mengedepankan penerapan aturan-aturan dalam UNCLOS 82 dan hukum Internasional lainnya yang berlaku dalam sengketa di laut china selatan menjadi perlu untuk dilakukan, hal ini agar terhindar dari terjadinya konflik bersenjata terbuka (high intensity conflict) dengan intensitas tinggi. Sehingga apabila terjadi eskalasi konflik, penyelesaian masalahnya tetap dalam kerangka sengketa hukum Internasional.*

*Penulis juga sebagai Anggota Divisi Penelitian & Pendidikan Young Lawyers Committee (YLC) Sidoarjo

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun