Selain upaya militer, pemerintah RRC juga melakukan upaya non militer untuk memperkuat klaim mereka akan Laut China Selatan. Anthe Roberts dalam bukunya, Is International Law International? mengatakan bahwa pemerintah China mendanai riset-riset yang berkaitan dengan hukum laut, terutama yang menyinggung permasalahan Laut China Selatan. Bahkan tak disangka RRC juga memasukan Nine Dash Line pada bagian belakang paspor China (Baylon, et al., 2021).
Klaim mutlak atas seluruh wilayah perairan Laut China Selatan, memicu adanya zorgen van heden atau kehawatiran masa kini bagi negara-negara pengklaim dan non-pengklaim (claimant dan non-claimant states). Zorgen van heden yang meningkat akibat manuver militer dan upaya saling unjuk kekuatan di Laut China Selatan telah memicu terjadinya eskalasi ketegangan. Perilaku agresif dan provokatif angkatan laut RRC semakin sering terjadi.
Aksi saling cegah dan usir di wilayah sengketa tersebut terus meningkat, hal ini berpotensi mengarah pada konflik berskala rendah (low intensity conflict). Namun, tetap ada kemungkinan terjadinya konflik bersenjata terbuka (high intensity conflict) dengan intensitas tinggi jika resolusi permanen tidak tercapai, mengingat kepentingan besar dari negara-negara yang terlibat klaim maupun pihak luar kawasan (R. Roza, et al., 2013).
Ancaman konflik di Laut China Selatan akan menimbulkan ancaman signifikan, tremasuk bagi kedaulatan Indonesia. Seperti: (1) keamanan nasional Indonesia (2) ancaman kedaulatan maritim Indonesia; (3) Gangguan pada Jalur Perdagangan; (4) peningkatan anggaran pertahanan dan militer Indonesia; serta (5) mempengaruhi juga pada posisi Diplomasi dan Hubungan Internasional.
Zorgen van heden (kehawatiran masa kini) terhadap ancaman konflik di Laut China Selatan bagi kedaulatan Indonesia adalah nyata dan kompleks. Upaya RRC, baik secara militer maupun non-militer, untuk memperkuat klaimnya menimbulkan tantangan besar bagi negara-negara di kawasan, termasuk Indonesia. Dalam menghadapi situasi ini, Indonesia dituntut perlu untuk memperkuat pertahanannya, memperdalam diplomasi internasional, serta menjaga stabilitas di kawasan untuk melindungi kepentingan nasional dan kedaulatannya di Laut China Selatan.
Perdamaian
Berbicara perdamaian penulis teringat dengan pidato yang disampaikan Presiden RI pada acara peringatan hari perdamaian dunia tahun 2009 lalu, di Ambon tanggal 25 november 2009 menyatakan bahwa “Ciri - ciri bangsa yang beradab, dunia yang beradab, civilized world, adalah mereka yang tidak menyukai kekerasan, mereka yang mencintai perdamaian dan menyelesaikan konflik dengan cara-cara yang damai dan bermartabat”.
Ketentuan UNCLOS 1982 dalam PART XV SETTLEMENT OF DISPUTES, telah mewajibkan negara-negara untuk menyelesaikan setiap perselisihan dengan cara damai, hal ini diatur dalam Article 279 dan Article 280 UNCLOS 1982. Hal ini tentunya berlaku juga bagi konflik laut china selatan agar dapat diselesaikan secara damai sesuai dengan ketentuan UNCLOS 1982.
Pada prinsipnya, Ketentuan-ketentuan dalam PART XV ini bertujuan untuk memastikan bahwa perselisihan di laut dapat diselesaikan dengan cara yang adil dan efisien, menjaga stabilitas dan kepastian hukum di lautan internasional. Oleh karena itu, untuk menjamin kepastian hukum, ketentuan UNCLOS 1982 juga telah memberikan pilihan prosedur penyelesiaian, yaitu : (a) International Tribunal for the Law of the Sea (ITLOS); (b) International Court of Justice (ICJ); (c) Arbitral Tribunal; dan (d) Special Arbitral Tribunal.
Mengedepankan penerapan aturan-aturan dalam UNCLOS 82 dan hukum Internasional lainnya yang berlaku dalam sengketa di laut china selatan menjadi perlu untuk dilakukan, hal ini agar terhindar dari terjadinya konflik bersenjata terbuka (high intensity conflict) dengan intensitas tinggi. Sehingga apabila terjadi eskalasi konflik, penyelesaian masalahnya tetap dalam kerangka sengketa hukum Internasional.*
*Penulis juga sebagai Anggota Divisi Penelitian & Pendidikan Young Lawyers Committee (YLC) Sidoarjo