Mohon tunggu...
Kholil Hidayat
Kholil Hidayat Mohon Tunggu... -

Akulah pangeran tanpa kuda yang bercita-cita menjadi pilot tapi takut ketinggian. \r\n\r\nAku akan membawamu terbang menaiki pesawat, telefon.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Menolehlah Sekali Saja

24 Desember 2013   16:26 Diperbarui: 24 Juni 2015   03:32 187
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pendidikan. Sumber ilustrasi: PEXELS/McElspeth

Kita tidak lagi berbicara soal senja, ini lebih dari itu.

Kemarin, aku menemukanmu dalam sosok seorang gadis belia saat tengah termenung menunggu senja. Aku fikir itu jelmaanmu. Aku mengikutinya sampai tikungan ketiga. Tidak ada ragu, aku yakin itu jelmaanmu, wajah kalian sama. Sampai akhirnya aku tersadar setelah tikungan ketiga hanya ada sebuah lapangan bola kosong. Aku kira gadis itu menyamar menjadi tiang bola, aku tetap menunggunya. Aku berharap dia segera keluar dari penyamarannya.

Lebih dari tiga jam aku duduk seorang diri di sudut paling timur lapangan itu, menanti sosoknya menjelma kembali menjadi kamu. Sampai akhirnya malam tiba, hanya kudapati kunang-kunang yang menyapa lamunanku tanpa suara. Aku fikir itu kamu. Aku mengikuti mereka hingga ke tengah hutan.

Sesampainya di hutan, aku kembali melihat ssosok gadis belia yang aku ikuti sore tadi.

Beruntunglah malam itu tengah bulan purnama, aku dapat melihat gadis itu berjalan pelan melewati semak belukar. Dia akhirnya berhenti dan duduk di depan pohon jati besar. Kali ini aku tak ingin kehilangan jejaknya. Tubuhnya tampak bercahaya mengenakan jubah putih. Rambut panjangnya melayang terkena terpaan angin, sama seperti saat aku melihatmu di alam mimpi. Tubuhku menggigil terkena embusan angin kencang menembus kain titis yang aku kenakan. Aku terus berjalan mendekatinya.

Aku berhenti sejenak, menyapanya dari jarak sekitar tiga meter tapi dia tak kunjung menoleh.

Aku yakin itu jelmaanmu, suara tangisan kalian sama. Perlahan aku mulai mendekat, dengan pelan aku memegang punduknya. Aku menyapa dengan nada lirih.

Aku hanya bisa tertegun ketika dia menoleh. Kakiku gemetar melihat sosoknya, satu bola matanya jatuh menggelinding mengenai kakiku, sementara yang satunya mengucurkan darah segar.

"Oh Tuhan, ini buruk!"

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun