Ini tentang pintu rumah yang terbuka di pagi hari. Pintu pertama yang menurutku adalah pintu paling banyak menyimpan pelajaran yang tidak bisa semua orang pikirkan. Karena lagi-lagi, ini hanyalah sebuah pintu. Benda mati yang menurut sebagian orang, atau mungkin kebanyakan orang tidak bisa memberikan petunjuk atau isyarat apapun.
Saat situasi sedang baik-baik saja, aku memaknai terbuknya pintu rumah di pagi hari sebagai awal dari keberangkatan Ibu. Keberangkatan yang bisa berubah arah dan tujuan setiap hari. Missal pergi ke pasar untuk membeli bahan-bahan masak untuk nanti siang. Pergi ke kuburan Nenek untuk ziarah. Pergi halaman depan untuk menyapu daun-daun yang sering gugur dari pohon kelor. Dan pergi-pergi lainnya yang masih mengenal kata kembali.
"Tolong ambilkan handuk Ibu, Nak," ucap Ibuku sambil menunjuk tempat jemuran yang posisinya agak tinggi.
Ya, itu adalah kalimat yang sering kudengar saat Ibu hendak mandi setelah menyelesaikan beragam kesibukan di pagi hari. Memang, Ibu yang memiliki postur tubuh pendek tak mampu mengambil dengan sempurna handuk yang ia hampar di tempat jemuran. Tapi, aku selalu dengan senang hati mengambilkan handuk Ibu kapan pun itu, tidak hanya di pagi hari. Karena dengan begini, aku merasa berguna menjadi seorang anak. Meski dalam hal kecil sekali pun.
Setelah itu, saat Ibu bersiap-siap hendak pergi ke pasar dan tidak ada lagi yang perlu diselesaikan, aku memilih duduk di kursi tamu yang berada tepat setelah pintu masuk rumah. Sambil membaca atau menulis, sesekali aku menatap pintu itu. Lalu aku akan menangkap banyak hal dari luar sana. Mulai dari wira-wiri tetangga, kucing yang berkejaran, daun-daun yang jatuh, dan sinar matahari yang semakin terik.
Kemudian, aku akan sibuk sendiri menulis apa saja yang muncul dalam kepalaku. Tanpa memperhatikan bagaimana proses kreatif menulis yang efektif, menyiapkan bahan-bahan tulisan, dan banyak hal lainnya yang sering diajarkan oleh penulis-penulis hebat melalui media sosial mereka. Intinya, aku menulis hanya untuk menumpahkan sedu-sedan dan apapun yang hinggap dalam perasaan.
"Bapak berangkat dulu, Nak," ucap Bapak begitu keluar dari kamarnya.
"Iya, Pak. Hati-hati di jalan," jawabku lalu tersenyum.
Waktu itu, tidak ada yang mencurigakan antara kami sekeluarga. Semuanya tampak baik-baik saja. Tidak ada yang perlu dikhawatirkan. Pun tidak ada yang perlu ditakutkan.
***
Malam harinya, selepas salat isya, dari dalam kamar, aku mendengar sendiri bagaimana pertengkaran Ibu dan Bapak berlangsung. Suara keduanya meninggi. Tidak ada yang mau mengalah.