"Kenapa orang itu mau dibunuh, Pak?" Tanyaku pada salah satu warga yang begitu semangat melontarkan umpatan.
"Orang itu telah menyengsarakan rakyat. Dia telah mengkorupsi uang negara yang jumlahnya bisa mensehahterakan seratus keluarga miskin. Bayangkan coba, jika satu koruptor bisa dibasmi demi menyelamatkan seratus keluarga, lantas berapa keluarga yang bisa kita selamatkan dari sekian koruptor yang masih berkeliaran? Jelas, tidak ada hukuman yang tepat bagi koruptor selain eksekusi mati!" Tegas bapak itu berapi-api.
Mendengar penjelasan Bapak itu, batinku membenarkan. Itulah salah satu sebabnya mengapa negara Indonesia tidak kunjung maju. Anggaran yang seharusnya dimaksimalkan untuk kesejahteraan bersama, dipindah-alihkan pada kesejahteraan pribadi atau golongan. Padahal secara ekonomi, para koruptor yang berasal dari kalangan wakil rakyat sudah mendapatkan fasilitas dan gaji yang layak. Lantas apa lagi yang mereka cari aktivitas korupsi?
Setelah itu, aku lanjut bergeser. Waktu menuju eksekusi mati tinggal lima belas menit lagi. Dan aku, yang kebetulan tadi pagi belum sarapan di rumah mulai merasakan nyeri di perut. Apalagi ditambah cuaca yang panas, situasi yang berdesakan, dan dilengapi ujaran kebencian yang membuat emosi naik dua kali lipat.
"Memang, awalnya ngasih janji manis. Tapi setelah diberikan kepercayaan oleh rakyat, malah menyengsarakan rakyat. Kan bangsat!" Ucap salah satu pemuda yang memakai almamater kampus.
Aku yang bercita-cita suatu saat nanti bisa menjadi pejabat seperti Ayah merasa tidak enak hati. Tapi kurasa, tidak semua pejabat melakukan korupsi. Pasti ada sebagian kecil yang bersih dari aksi suap-menyuap. Seperti Ayah misalnya. Selama ini, Ayah tak pernah menunjukkan gelagat koruptor layaknya pejabat lain yang bisa jadi konglomerat super cepat. Tentu sangat sedikit pejabat yang bisa bertahan seperti itu, Dan aku, bertekad untuk menjadi bagian dari sebagian kecil itu. Apapun resikonya.
Waktu tinggal tiga menit lagi. Keramaian warga semakin membludak. Dan aku semakin dekat dengan posisi yang bisa melihat wajah orang yang sedang diikat di tiang untuk dieksekusi mati. Spontan rasa penasaranku meningkat drastis. Siapakah sosok gerangan yang begitu malang itu? Harus mati sekaligus menanggung malu di hadapan banyak orang. Dimaki, dihina, dan diperlakukan tidak sebagaimana manusia.
Sampai pada satu menit terakhir, aku berhasil menangkap wajah orang itu. Wajah dengan jenggot dan kumis tipis, bermata lebar, alis tebal, dan senyum yang tak asing bagiku.
"Ayaaaaahhh!" Jeritku penuh histeris.
Ayah yang sudah berlumuran darah akibat menanggung sakit dari benda-benda yang dilempar warga ke wajahnya, sejenak melirikku. Ia tampak tak sanggup berkata-kata lagi. Hanya senyum tipis yang sempat terukir di bibirnya. Dan permohonan maaf yang kutangkap dari sembab matanya setelah mengeluarkan tangis. Hingga akhirnya suara "DOOR" dari pistol sang eksekutor menyelesaikan kisah hidup ayah dan memulai kesedihanku atas kehilangan seorang Ayah***
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H