Mohon tunggu...
M. Kholilur Rohman
M. Kholilur Rohman Mohon Tunggu... Penulis - Penulis

Pegiat literasi yang berasal dari Kota Sumenep sekaligus Murabbi Ma'had Sunan Ampel Al-Aly (MSAA) UIN Malang.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Puisi yang Tertinggal di Secangkir Kopi

17 Juli 2024   09:00 Diperbarui: 17 Juli 2024   09:03 68
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber Gambar: Wartadinus

Aku masih ingat betul bagaimana peristiwa dua minggu yang lalu. Saat aku duduk sendirian di sebuah cafe yang kulupa namanya. Cafe dengan view alam berpadu dengan rak-rak minimalis yang terisi beragam jenis buku; puisi, cerpen, novel, bahkan buku-buku ilmiah yang tak bisa kuingat satu-persatu.

Waktu itu, sambil menunggu kedatanganmu, kucoba mengambil satu novel berjudul "Cantik Itu Luka" karya Eka Kurniawan. Ya, meski aku bukan tipikal pengrajin buku, tapi bukan berarti anti buku, sebagai perempuan, judul novel itu amat menarik bagiku. Entah, mungkin karena aku merasa cantik sampai membuat seorang laki-laki asing rutin men-DM ku dengan pembahasan yang sangat aneh. Menurutku waktu itu.

***
Sekilas akan kuceritakan pada pembaca bagaimana mulanya perkenalan kita dimulai hingga pertemuan ini digelar. Awalnya, di sore hari, saat senja sudah mulai menampakkan wajahnya, sebuah DM masuk ke akunku dari orang tak kukenal yang kemudian nantinya menjadi kau. Waktu itu, kau men-DM akun instagramku dengan perkenalan yang cukup formal. Kau menyebutkan nama, asal, dan maksud dari perkenalanmu; ingin menjadi teman. Ah! Aku yang sangat anti dengan orang asing tentu memilih mengabaikan pesanmu. Lalu aku kembali sibuk bersama teman-teman. Membahas tentang banyak hal; apa saja yang penting membuat kita senang.

"Hey kamu kenapa? Kok senyam-senyum sendiri? Tanya Dita. Teman SMP yang peetama kali menangkap perubahan ekspresi wajahku.
"Eh, nggak ada apa-apa kok," jawabku sedikit terbata-bata.
"Hayoo..udah nemu pasangan baru nih," ucap Dina dengan nada menggojlok.
"Hush, udah nggak usah dipikirin, nggak penting," balasku lalu berusaha mengalihkan pembahasan.
"Hati-hati loh, sekarang banyak modus penipuan berkedok asmara," saran Lukman. Teman yang paling religius diantara kami berempat.

Tak cukup sampai di situ, kukira kau sudah menyerah di seberang sana setelah dua pesan basa-basimu kuabaikan. Tapi ternyata aku salah. Kau malah mengirimkan sebuah paragraf yang kusebut sebagai puisi. Kenapa kusebut puisi? Karena diksi-diksi yang kau gunakan, menurutku anti mainstream. Susunan kalimat yang cukup; tak kurang atau berlebih. Dan yang paling penting, kau menyelipkan imajinasi yang membuatku harus berpikir untuk menangkap makna satu paragrafmu itu. "Mungkin begini, mungkin begitu". Itulah kalimat yang cocok untuk menggambarkan bagaimana otakku kau suruh bekerja.

Akibat terpesona dengan kalimat itu, spontan kubalas DM mu dengan kata "Bagus" diikuti emot jempol setelahnya. Mungkin, prediksiku kau sedang senyam-senyum di sana. Persis seperti aku yang masih senyam-senyum saat kubaca ulang satu paragrafmu itu. Ah, rasa-rasanya lebih baik kusimpan sendiri saja satu paragrafmu itu. Tanpa perlu diumbar pada orang lain, termasuk teman akrabku yang sedang berkumpul saat ini.

Dari dua cowok yang berusaha mendekatiku beberapa hari yang lalu, kau tergolong lelaki yang tidak membosankan. Padahal jika dilihat dari segi finansial, jelas mereka yang lebih banyak menghabiskan uang karena sering mengirimiku bunga, cokelat, dan hadiah-hadiah lainnya yang mereka prediksi bakal disukai perempuan. Nyatanya aku memang suka. Tapi kau, hanya bermodalkan pengetahuan dan keterampilan menulis dengan diksi-diksimu yang menggoda pembaca. Dan hebatnya, kau cukup berhasil membuatku betah membaca semua tulisanmu setelah banyak percakapan yang kita lalui.

Setelah cukup lama berpikir, akhirnya kuputuskan untuk tidak lagi menerima hadiah dari dua orang lelaki yang baru-baru ini kuketahui bernama Usman dan Anwar. Entah itu nama asli atau samaran, yang jelas keduanya sama-sama berusaha mendekatiku dengan jurus yang terbilang sama; memberiku hadiah.

Aku khawatir, semakin lama kuterima hadiah dari mereka, semakin tinggi pula ekspektasi mereka bahwa aku akan menerima cintanya. Padahal keduanya tidak pernah tahu kalau aku hanya sebatas merespon sebaik mungkin setiap chat yang mereka kirim. Tak lebih dari itu. Dan tentu tidak memakai perasaan. Ah tidak, jahatkah aku sebagai perempuan? Tapi, bukankah ditinggalkan seseorang yang istimewa adalah resiko yang harus diterima oleh setiap pecinta, termasuk mereka? Aku rasa begitu.

Memang, dua lelaki itu sama-sama orang baik. Aku mengenal Usman dari acara bedah buku yang digelar beberapa hari lalu. Sementara Anwar, aku mengenalnya sebagai teman kuliah yang rajin membantu setiap tugasku. Tanpa kuminta. Tapi untuk masalah perasaan, keduanya terlampau jauh dari apa yang kuinginkan. Ya, semoga saja mereka mengikhlaskan apa-apa yang telah diberikan padaku tanpa harus meminta balasan. Dalam bentuk apapun.

Setelah mengganti nomor baru, tidak ada lagi chat dari Anwar dan Usman. Kuharap keduanya mengerti maksud dari sikap yang kuambil ini. Toh keduanya sudah sama-sama dewasa.

Sementara itu, aku masih melanjutkan percakapan denganmu. Banyak hal yang mulai kuketahui tentang dunia kepenulisan. Mulai dari bagaimana ide-ide tumbuh dalam kepala, menyusun kerangka tulisan, sampai pada proses eksekusi dan editing. Semua kau jelaskan dengan begitu fasih via online. Sampai aku harus bertanya-tanya, siapakah kau sebenarnya? Apa benar tempat tinggalmu tak jauh dari keberadaanku sekarang? Dan yang paling penting, apa benar kau mendekatiku atas dasar rasa cinta?

Kita semakin dekat melalui instagram. Memang, menurutku lebih baik di situ ketimbang WA yang tingkat kebocorannya lebih tinggi. Dan aku tidak mau itu terjadi. Karena diantara kita masih belum ada apa-apa. Setidaknya itu yang kurasakan sampai saat ini.

Tak kurang dari tujuh puisi yang sudah kutampung dari chatmu. Puisi yang ditulis berdasarkan percakapan yang terjalin dan requesh di berbagai keadaan. Menurutku, semua tulisanmu bagus. Mungkin jangan-jangan, kau dilahirkan memang untuk menulis.

Berkat tulisanmu, aku jadi termotivasi untuk menulis. Menulis apa saja. Sebab itu yang kau ajarkan padaku sebagai penulis pemula. Mulai saja dulu, tidak perlu memikirkan teori, perbanyak membaca, dan bandingkan dengan karya-karya penulis besar. Juga kau menyampaikan bahwa karya yang jelek, dihujat banyak orang, dan tidak dihargai adalah bagian dari perjalanan seorang penulis yang harus dilalui. Kira-kira begitulah pelajaran yang dapat kusimpulkan dari banyak hal yang kau sampaikan via DM.

***
Setelah satu bulan kita berkomunikasi via IG, aku semakin pemasaran seperti apakah wujud dirimu. Timbul hasrat untuk bertemu. Tapi pantang bagiku, sebagai seorang perempuan, mengajak ketemuan terlebih dahulu. Terpaksa, hasrat itu harus kutahan sampai kau yanf akhirnya mengajak ketemuan. Di sebuah Cafe yang bernama Liffatte.

Aku yang minim pengetahuan tentang cafe langsung ngikut saja. Sebab bukan itu intinya. Perkara kopi dan wifi sudah ada di rumah. Tak keluar lagi. Masalahnya, rasa penasaranku tentang dirimu sudah berada di puncak tertinggi. Apalagi kau tidak mencantumkan foto di profil instagrammu, membuatku semakin berharap bahwa kau adalah seorang lelaki yang tampan, berpendidikan, dan tentunya mapan. Kalau sudah begitu, mungkinkah kita langsung jadian? Oh tidak, jadinya kenapa aku yang terlalu ambisius? Tapi memang bukankah kamu yang mendekatiku terlebih dahulu? Sampai kita berada di titik ini. Titik yang entah harus kunamai apa.

Hari dan tempat telah ditentukan. Sebelum bertemu denganmu, aku menulis satu puisi sebagai perwakilan perasaanku mengenalmu, sekaligus rasa senang, penasaran, dan sedikit harapan yang tak bisa kusampaikan secara gamblang. Tentu, gaya penulisan yang kupakai tak jauh dari gaya tulisanmu; memakai diksi alam, metafor sederhana, dan ending yang agak meloncat dari kebiasaan. Entah, loncatan ini apa masih dalam batas atau sudah terlalu jauh. Aku tak memikirkan itu.

Pukul empat sore aku tiba di lokasi yang kita sepakati. Sesuai dengan rencana. Aku memilih duduk di lantai dua yang bersifat outdoor dengab panorma alam yang mempesona. Di DM terakhir kau bilang akan sedikit terlambat karema suatu urusan mendadak. Tapi tak apa, bukankan hal-hal mendadak menjadi hal lumrah yang harus dimaklumi? Apalagi bagi kita yang baru kenal dan berusaha mendalami satu sama lain.

Menunggu adalah pekerjaan yang membosankan. Itulah yang kurasakan setelah menit kelima belas kau tak ada kabar. Scroll tiktok dan reels instagram sudah menjadi aktivitas yang membosankan. Akhirnya, kuambil buku dari Eka Kurniawan berjudul "Cantik Itu Luka". Kubaca sejenak di halaman-halaman pertama. Lalu kututup buku, dan kubuka kembali puisi yang kemarin kutulis. Kuedit beberapa kata. Sambil berpikir, beberapa kesalahan dalam tulisanku mulai terlihat.

Aku semakin bosan. Kau tak datang sampai menit ketiga puluh. Terhitung sepuluh chat yang sudah kutumpahkan padamu sebagai bentuk sebuah kekecewaan. Entah, waktu itu aku sudah tidak memikirkan etika bagi orang yang baru kenal. Sebab aku benar-benar kesal. Chatku centang satu dan kau tak meninggalkan kabar.


***
Hari-hari terus berlalu. Pelan-pelan aku melupakanmu dengan beragam kesibukan yang datang silih berganti. Sudah tidak ada DM lagi sejak aku meninggalkan cafe itu dan secarik puisi yang baru kusadari, tertinggal di dekat secangkir kopi yang kupesan. Puisi yang kutulis spontan tentang aku, kamu, dan kopi. Entah sudah benar atau tidak secar kaidah, aku sudah tidak memikirkannya lagi.

Satu hal yang mengagetkan hari ini. Saat aku melihatmu muncul di salah satu stasiun televisi sebagai tersangka dari kasus penipuan, perampokan, sekaligus pemerkosaan. Jujur, aku benar-benar kaget sekaligus bersyukur karena tidak jadi bertemu denganmu waktu itu. Lantas aku bertanya-tanya, apakah aku juga termasuk bagian dari list korban yang hendak kau eksekusi? Entahlah.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun