Sementara itu, aku masih melanjutkan percakapan denganmu. Banyak hal yang mulai kuketahui tentang dunia kepenulisan. Mulai dari bagaimana ide-ide tumbuh dalam kepala, menyusun kerangka tulisan, sampai pada proses eksekusi dan editing. Semua kau jelaskan dengan begitu fasih via online. Sampai aku harus bertanya-tanya, siapakah kau sebenarnya? Apa benar tempat tinggalmu tak jauh dari keberadaanku sekarang? Dan yang paling penting, apa benar kau mendekatiku atas dasar rasa cinta?
Kita semakin dekat melalui instagram. Memang, menurutku lebih baik di situ ketimbang WA yang tingkat kebocorannya lebih tinggi. Dan aku tidak mau itu terjadi. Karena diantara kita masih belum ada apa-apa. Setidaknya itu yang kurasakan sampai saat ini.
Tak kurang dari tujuh puisi yang sudah kutampung dari chatmu. Puisi yang ditulis berdasarkan percakapan yang terjalin dan requesh di berbagai keadaan. Menurutku, semua tulisanmu bagus. Mungkin jangan-jangan, kau dilahirkan memang untuk menulis.
Berkat tulisanmu, aku jadi termotivasi untuk menulis. Menulis apa saja. Sebab itu yang kau ajarkan padaku sebagai penulis pemula. Mulai saja dulu, tidak perlu memikirkan teori, perbanyak membaca, dan bandingkan dengan karya-karya penulis besar. Juga kau menyampaikan bahwa karya yang jelek, dihujat banyak orang, dan tidak dihargai adalah bagian dari perjalanan seorang penulis yang harus dilalui. Kira-kira begitulah pelajaran yang dapat kusimpulkan dari banyak hal yang kau sampaikan via DM.
***
Setelah satu bulan kita berkomunikasi via IG, aku semakin pemasaran seperti apakah wujud dirimu. Timbul hasrat untuk bertemu. Tapi pantang bagiku, sebagai seorang perempuan, mengajak ketemuan terlebih dahulu. Terpaksa, hasrat itu harus kutahan sampai kau yanf akhirnya mengajak ketemuan. Di sebuah Cafe yang bernama Liffatte.
Aku yang minim pengetahuan tentang cafe langsung ngikut saja. Sebab bukan itu intinya. Perkara kopi dan wifi sudah ada di rumah. Tak keluar lagi. Masalahnya, rasa penasaranku tentang dirimu sudah berada di puncak tertinggi. Apalagi kau tidak mencantumkan foto di profil instagrammu, membuatku semakin berharap bahwa kau adalah seorang lelaki yang tampan, berpendidikan, dan tentunya mapan. Kalau sudah begitu, mungkinkah kita langsung jadian? Oh tidak, jadinya kenapa aku yang terlalu ambisius? Tapi memang bukankah kamu yang mendekatiku terlebih dahulu? Sampai kita berada di titik ini. Titik yang entah harus kunamai apa.
Hari dan tempat telah ditentukan. Sebelum bertemu denganmu, aku menulis satu puisi sebagai perwakilan perasaanku mengenalmu, sekaligus rasa senang, penasaran, dan sedikit harapan yang tak bisa kusampaikan secara gamblang. Tentu, gaya penulisan yang kupakai tak jauh dari gaya tulisanmu; memakai diksi alam, metafor sederhana, dan ending yang agak meloncat dari kebiasaan. Entah, loncatan ini apa masih dalam batas atau sudah terlalu jauh. Aku tak memikirkan itu.
Pukul empat sore aku tiba di lokasi yang kita sepakati. Sesuai dengan rencana. Aku memilih duduk di lantai dua yang bersifat outdoor dengab panorma alam yang mempesona. Di DM terakhir kau bilang akan sedikit terlambat karema suatu urusan mendadak. Tapi tak apa, bukankan hal-hal mendadak menjadi hal lumrah yang harus dimaklumi? Apalagi bagi kita yang baru kenal dan berusaha mendalami satu sama lain.
Menunggu adalah pekerjaan yang membosankan. Itulah yang kurasakan setelah menit kelima belas kau tak ada kabar. Scroll tiktok dan reels instagram sudah menjadi aktivitas yang membosankan. Akhirnya, kuambil buku dari Eka Kurniawan berjudul "Cantik Itu Luka". Kubaca sejenak di halaman-halaman pertama. Lalu kututup buku, dan kubuka kembali puisi yang kemarin kutulis. Kuedit beberapa kata. Sambil berpikir, beberapa kesalahan dalam tulisanku mulai terlihat.
Aku semakin bosan. Kau tak datang sampai menit ketiga puluh. Terhitung sepuluh chat yang sudah kutumpahkan padamu sebagai bentuk sebuah kekecewaan. Entah, waktu itu aku sudah tidak memikirkan etika bagi orang yang baru kenal. Sebab aku benar-benar kesal. Chatku centang satu dan kau tak meninggalkan kabar.
***
Hari-hari terus berlalu. Pelan-pelan aku melupakanmu dengan beragam kesibukan yang datang silih berganti. Sudah tidak ada DM lagi sejak aku meninggalkan cafe itu dan secarik puisi yang baru kusadari, tertinggal di dekat secangkir kopi yang kupesan. Puisi yang kutulis spontan tentang aku, kamu, dan kopi. Entah sudah benar atau tidak secar kaidah, aku sudah tidak memikirkannya lagi.
Satu hal yang mengagetkan hari ini. Saat aku melihatmu muncul di salah satu stasiun televisi sebagai tersangka dari kasus penipuan, perampokan, sekaligus pemerkosaan. Jujur, aku benar-benar kaget sekaligus bersyukur karena tidak jadi bertemu denganmu waktu itu. Lantas aku bertanya-tanya, apakah aku juga termasuk bagian dari list korban yang hendak kau eksekusi? Entahlah.