Mohon tunggu...
M. Kholilur Rohman
M. Kholilur Rohman Mohon Tunggu... Penulis - Penulis

Pegiat literasi yang berasal dari Kota Sumenep sekaligus Murabbi Ma'had Sunan Ampel Al-Aly (MSAA) UIN Malang.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Di Waktu Pagi

17 Juni 2019   10:30 Diperbarui: 17 Juni 2019   10:42 145
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Pagi itu rumah nampak sunyi dari suara-suara yang biasa dilepaskan untuk berkomunikasi. Tidak ada kata saapan, pengumuman, perintah, atau bahkan larangan. 

Semuanya sibuk dengan kegiatannya masing-masing. Ibu sebagai koki rumah tangga sibuk bermain dengan air, beras, telur, dan daun kelor yang dipetik dari pohonnya langsung di depan rumah. Pohon yang menjadi peninggalan mbah buyut itu sampai saat ini masih nampak segar. Maklum, dulu beliau menanam disaat masih kecil dan sekarang sudah besar hingga bisa dinikmati oleh anak cucunya.

"Terima kasih mbah," batinku saat menatap pohon itu.

Ayah yang menjadi tulang punggung keluarga juga tak mau kalah dengan yang lain. Tempatnya di waktu pagi adalah di garasi yang ia desain dengan tangannya sendiri. 

Garasi yang hanya muat dua mobil dan tiga sepeda motor itu seolah menjadi kamar kedua bagi Ayah. Mengapa tidak? setiap kali ayah menghilang dari mata, maka tempat yang pertama wajib dikunjungi ialah garasi. Di saat Ayah sudah tidak ada di sana, maka Ayah telah benar-benar hilang.

Aku juga mempunyai satu saudara kandung perempuan yang sudah menikah. Biasanya dia dan anaknya yang membuat gaduh di pagi hari. Anaknya yang seperti ratu selalu meminta ini dan itu sesuai dengan keinginannya. Jika ia tidak mendapatkan, maka bersiap-siaplah, serangan dari mulutnya akan mengganggu pendengaran orang sehat bahkan mampu membuat tuli jika itu dibiarkan begitu saja.

Sedang aku sendiri, duduk sambil memperhatikan keramaian halaman rumah akan daun kelor yang berceceran tak karuan. Ditambah desir angin yang memainkan lagu Tuhan yang tidak bisa dipaham. Aku menikmatinya, begitu pula dengan daun-daun yang gugur itu. Mereka bergoyang-goyang kesana- kemari dengan gaya yang khasmembentuk pestanya sendiri sambil sesekali tersenyum kepadaku. Sedangkan aku hanya melihatnya dari kejauhan agar tidak mengganggu pergerakan mereka.

Semakin lama pesta semakin menarik. Angin memainkan lagu lain dan membuat peserta pesta semakin banyak. Sebut saja: tidak hanya berbagai macam daun, ranting dan beberapa helai kain jemuran yang tidak tepat posisinya pun ikut bermain di sana. Menambah keramaian halaman rumahku saja. Dan aku mulai tergoda untuk bergabung dengan pesta, tapi dengan cara yang berbeda.

Aku masuk ke rumah dan melihat kesunyian di dalamnya. Beberapa alat berfungsi dan beberapa yang lain mati di tempatnya. Entah, hal itu karena apa atau sebab siapa hingga bisa seperti itu. Aku tidak peduli dan terus melewati ibu yang masih asik bermain dengan benda matinya.

"Di mana ya?" pikirku dalam hati.

Rupanya dia sedang berada di tempat biasa. Tongkat ajaib itu sedang berduaan dengan pasangannya, dialah cikrak. Meskipun usianya telah menginjak 5 tahun, muda dalam ukuran manusia dan tua dalam ukuran benda, dia tetap gagah dalam menjalankan semua tugasnya. Ia tak pernah mengeluh seberat apapun tugas yang harus diselesaikan. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun