Semakin banyak anggota masyarakat yang menjadi agensi dari struktur sosial yang bersangkutan dan menjadikannya norma serta aturan sebagai bagian dari praktek normal keseharian mereka, maka semakin sulit bagi yang tereksklusi untuk masuk sekedar menjadi salah satu elemen, apalagi mengubah konstruksi sosial yang ada.
Hal ini menjelaskan bahwa bagaimana ide tentang emansipasi atau kesetaraan bagi perempuan di Indonesia menjadi sebuah wacana. Perempuan di Indonesia dikonstruksikan dengan cara tertentu dan ditempatkan dalam posisi tertentu dalam konstruksi sosial tersebut. Ide-ide emansipasi bagi perempuan di Indonesia, dengan berbagai cara mengartikulasikan konstruksi dan posisi sosial perempuan yang termarjinalkan. Sebagai konsekuensinya, ide-ide tersebut menawarkan perubahan tatanan atau rekonstruksi dan reposisi sosial perempuan agar mereka tidak lagi termarjinalkan.
Terlepas dari dinamika serta perubahan artikulasi perempuan dan kesetaraan dalam masing-masing periode, istilah peran atau emansipasi perempuan selalu menjadi salah satu ideal yang dinyatakan oleh wacana hegemonik di masing-masing periode. Hal yang sama juga terjadi dalam periode reformasi yang dimulai di tahun 1998.6Â
Dalam periode reformasi yang masih berjalan hingga saat ini, perempuan mulai mendapatkan pengakuan akan kekhasannya sebagai sebuah entitas, terutama secara legal formal. Ini tercermin dari dikeluarkannya berbagai aturan yang menempatkan perempuan dalam posisi sebagai entitas yang khas seperti aturan tentang 30% kuota politisi perempuan, UU Kekerasan dalam Rumah Tangga, dan pendirian Komisi Nasional Perempuan.
Menjadi perempuan: Menentukan pilihan di tengah ambivalensi
Wacana kesetaraan gender di Indonesia masuk sebagai sebuah wacana baru dalam sebuah masyarakat yang telah memiliki tatanannya sendiri, di mana perempuan dikonsepsikan dan diposisikan secara spesifik. Berbagai rezim yang berkuasa di Indonesia pasca kemerdekaan, selalu mengartikulasikan wacana kesetaraan gender atau emansipasi perempuan sebagai bagian dari tatanan yang hendak diproyeksikan bagi Indonesia sebagai sebuah bangsa dan negara Ketika rezim-rezim tersebut mencapai posisinya yang paling dominan dan hegemonik, berbagai elemen yang saling berkontradiksi satu sama lain, termasuk wacana kesetaraan gender, seakan-akan telah bisa didamaikan dan suatu titik keseimbangan telah tercapai.Â
Namun demikian ketika rezim tersebut mengalami krisis tatanan yang dikontstruksikannya, termasuk titik ekuilibrium yang dihasilkan, juga terancam untuk runtuh. Situasi seperti ini juga terjadi ketika rezim Orde Baru, yang menempatkan kesetaraan gender sebagai bagian dari wacana besar state-led economic development-nya.
Menjelang dan tepat sesudah keruntuhan Orde Baru, kesetaraan gender seakan-akan mengemuka sebagai sebuah wacana yang kuat, bahkan masuk menjadi bagian dari agenda reformasi. Dalam tatanan yang dikonstrusikan rezim sebelumnya, perempuan secara kuat dikonstruksikan sebagai ibu dari sebuah keluarga yang diproyeksikan menjadi elemen pendukung proyek pembangunan ekonomi. Peran ini diharapkan tetap dijalankan sebagai peran utama, disamping peran-peran baru yang dipegang oleh perempuan seiring dengan modernisasi dan industrialisasi yang terjadi di Indonesia.
Dalam konteks diskursif pasca-Orde Baru, konstruksi semacam itu dikritik sebagai upaya mereproduksi domestifikasi perempuan dan membatasi perannya di wilayah publik. Dalam konteks itu pula isu kesetaraan gender dan pembukaan kesempatan yang lebih luas bagi perempuan untuk berperan di wilayah publik, serta pengakuan kesetaraan hak-hak perempuan menjadi sebuah wacana yang sangat kuat. Namun sekali lagi, ekuilibrium antara wacana yang menempatkan perempuan sebagai bagian dari sebuah unit sosial yang bernama keluarga dalam posisi sebagai ibu, dan wacana yang menempatkan perempuan sebagai agen sosial yang setara dengan counterpart laki-lakinya harus dibangun kembali dalam konteks diskursif yang baru ini.
Isu esensialisme, dalam hal ini posisi perempuan sebagai ibu, versus konstruktivisme, perempuan sebagai agen sosial yang setara dalam proses konstruksi sosial, menjadi isu krusial dalam pergerakan perempuan, termasuk dalam konteks Indonesia.Â
Masyarakat Indonesia sebagai sebuah lembaga dikarakterisasikan salah satunya oleh signifikansi yang kuat tentang perempuan sebagai agensi yang memegang peran utama di wilayah domestik.Â