Perempuan sebagai sebuah subyek yang diposisikan pada posisi tertentu dapat muncul sebagai sebuah proses yang bersifat politis. Dalam konstruksi posisi perempuan inilah ada karakter khas tertentu yang dilekatkan pada perempuan untuk menjadikan perempuan ini bisa terbedakan dengan "yang bukan perempuan".Â
Selama ini perbedaan antara laki-laki dan perempuan acapkali dilihat dari perbedaan fisik dan anatomis yang bersifat tangible, padahal artikulasi dari perbedaan ini niscaya berlangsung melalui proses tafsir dan narasi. Dalam proses penafsiran dan penarasian itulah konstruksi posisi tertentu perempuan muncul.2 Konstruksi posisi perempuan ini terjadi dalam konteks sosial yang lebih besar, yaitu masyarakat, bangsa dan Negara.
Secara resiprokal, kontruksi ini menjelaskan, mengapa dalam berbagai masyarakat yang pernah kita jumpai, ada beragam bentuk sistem masyarakat, di mana bisa jadi perempuan diposisikan secara berbeda antara masyarakat yang satu dengan yang lain. Contoh sederhana, antara masyarakat Minangkabau dengan masyarakat Toba Samosir, masing-masing memiliki sistem sosial yang berbeda dalam mengkonstruksi posisi perempuan.
Dalam masing-masing pelabelan posisi perempuan tersebut, dikonstruksikan pula relasi antara perempuan dengan yang bukan perempuan. Relasi inilah yang kemudian secara simultan membentuk kerangka dari struktur sosial di mana perempuan tersebut dikonstruksikan. Posisi dan pola relasi ini diaktualisasikan dan dilembagakan dalam rutinitas praktek kehidupan sehari-hari.Â
Posisi dan pola relasi ini ditopang oleh separangkat aturan dan norma tertentu, yang menjadikannya sebagai benang-benang sosial yang kelak membentuk kumpulan orang di mana perempuan tersebut berada menjadi sebuah entitas sosial.
Kita tidak pernah tahu sejak kapan perempuan dikonstruksikan sebagai sosok yang terbedakan dengan yang "bukan perempuan" dan pembedaan seperti apa yang pertama kali muncul.Â
Yang ingin dibahas di sini adalah bagaimana konstruksi posisi perempuan di Indonesia yang faktual saat ini dianggap; "tidak setara", sebagai subordinat dari posisi yang lain yaitu laki-laki, sehingga membutuhkan upaya untuk menciptakan emansipasi.
Konstruksi perempuan dalam kerangka kesetaraan gender tersebut juga dipahami sebagai sebuah proses yang panjang, mengingat konstruksi tersebut harus dilakukan secara terus menerus. Ini terkait dengan sifat lembaga yang hanya bisa bertahan ketika lembaga tersebut direproduksi secara sistemik oleh agensi-agensinya melalui reproduksi norma, nilai, dan tata perilaku yang menandai lembaga tersebut dalam interaksi rutin keseharian mereka.
Konstruksi perempuan secara sosial ini bersifat politis karena prosesnya melibatkan proses pertarungan pemaknaan dan secara simultan melibatkan proses inklusi dan eksklusi. Kalau perempuan dalam masyarakat Indonesia pada masa Orde Baru didudukkan sebagai "ibu" dari sebuah "keluarga pembangunan".
konstruksi semacam ini tak pelak melibatkan eksklusi sejumlah pemaknaan dimana perempuan memposisikan perempuan dalam kedudukan yang berbeda. Kajian yang dilakukan oleh Ratna Mustikasari menunjukkan bagaimana pemaknaan perempuan alternatif yang disodorkan oleh kelompok perempuan Gerwani menjadi sosok "the other" sebagai lawan dari "ibu keluarga pembangunan tersebut".3
Proses melembagakan konstruksi tertentu tentang perempuan menjadi suatu "normalitas" pun juga terus menerus melibatkan proses inklusi dan ekslusi ini.Â
Semakin banyak anggota masyarakat yang menjadi agensi dari struktur sosial yang bersangkutan dan menjadikannya norma serta aturan sebagai bagian dari praktek normal keseharian mereka, maka semakin sulit bagi yang tereksklusi untuk masuk sekedar menjadi salah satu elemen, apalagi mengubah konstruksi sosial yang ada.
Hal ini menjelaskan bahwa bagaimana ide tentang emansipasi atau kesetaraan bagi perempuan di Indonesia menjadi sebuah wacana. Perempuan di Indonesia dikonstruksikan dengan cara tertentu dan ditempatkan dalam posisi tertentu dalam konstruksi sosial tersebut. Ide-ide emansipasi bagi perempuan di Indonesia, dengan berbagai cara mengartikulasikan konstruksi dan posisi sosial perempuan yang termarjinalkan. Sebagai konsekuensinya, ide-ide tersebut menawarkan perubahan tatanan atau rekonstruksi dan reposisi sosial perempuan agar mereka tidak lagi termarjinalkan.
Terlepas dari dinamika serta perubahan artikulasi perempuan dan kesetaraan dalam masing-masing periode, istilah peran atau emansipasi perempuan selalu menjadi salah satu ideal yang dinyatakan oleh wacana hegemonik di masing-masing periode. Hal yang sama juga terjadi dalam periode reformasi yang dimulai di tahun 1998.6Â
Dalam periode reformasi yang masih berjalan hingga saat ini, perempuan mulai mendapatkan pengakuan akan kekhasannya sebagai sebuah entitas, terutama secara legal formal. Ini tercermin dari dikeluarkannya berbagai aturan yang menempatkan perempuan dalam posisi sebagai entitas yang khas seperti aturan tentang 30% kuota politisi perempuan, UU Kekerasan dalam Rumah Tangga, dan pendirian Komisi Nasional Perempuan.
Menjadi perempuan: Menentukan pilihan di tengah ambivalensi
Wacana kesetaraan gender di Indonesia masuk sebagai sebuah wacana baru dalam sebuah masyarakat yang telah memiliki tatanannya sendiri, di mana perempuan dikonsepsikan dan diposisikan secara spesifik. Berbagai rezim yang berkuasa di Indonesia pasca kemerdekaan, selalu mengartikulasikan wacana kesetaraan gender atau emansipasi perempuan sebagai bagian dari tatanan yang hendak diproyeksikan bagi Indonesia sebagai sebuah bangsa dan negara Ketika rezim-rezim tersebut mencapai posisinya yang paling dominan dan hegemonik, berbagai elemen yang saling berkontradiksi satu sama lain, termasuk wacana kesetaraan gender, seakan-akan telah bisa didamaikan dan suatu titik keseimbangan telah tercapai.Â
Namun demikian ketika rezim tersebut mengalami krisis tatanan yang dikontstruksikannya, termasuk titik ekuilibrium yang dihasilkan, juga terancam untuk runtuh. Situasi seperti ini juga terjadi ketika rezim Orde Baru, yang menempatkan kesetaraan gender sebagai bagian dari wacana besar state-led economic development-nya.
Menjelang dan tepat sesudah keruntuhan Orde Baru, kesetaraan gender seakan-akan mengemuka sebagai sebuah wacana yang kuat, bahkan masuk menjadi bagian dari agenda reformasi. Dalam tatanan yang dikonstrusikan rezim sebelumnya, perempuan secara kuat dikonstruksikan sebagai ibu dari sebuah keluarga yang diproyeksikan menjadi elemen pendukung proyek pembangunan ekonomi. Peran ini diharapkan tetap dijalankan sebagai peran utama, disamping peran-peran baru yang dipegang oleh perempuan seiring dengan modernisasi dan industrialisasi yang terjadi di Indonesia.
Dalam konteks diskursif pasca-Orde Baru, konstruksi semacam itu dikritik sebagai upaya mereproduksi domestifikasi perempuan dan membatasi perannya di wilayah publik. Dalam konteks itu pula isu kesetaraan gender dan pembukaan kesempatan yang lebih luas bagi perempuan untuk berperan di wilayah publik, serta pengakuan kesetaraan hak-hak perempuan menjadi sebuah wacana yang sangat kuat. Namun sekali lagi, ekuilibrium antara wacana yang menempatkan perempuan sebagai bagian dari sebuah unit sosial yang bernama keluarga dalam posisi sebagai ibu, dan wacana yang menempatkan perempuan sebagai agen sosial yang setara dengan counterpart laki-lakinya harus dibangun kembali dalam konteks diskursif yang baru ini.
Isu esensialisme, dalam hal ini posisi perempuan sebagai ibu, versus konstruktivisme, perempuan sebagai agen sosial yang setara dalam proses konstruksi sosial, menjadi isu krusial dalam pergerakan perempuan, termasuk dalam konteks Indonesia.Â
Masyarakat Indonesia sebagai sebuah lembaga dikarakterisasikan salah satunya oleh signifikansi yang kuat tentang perempuan sebagai agensi yang memegang peran utama di wilayah domestik.Â
Upaya mengkonstruksikan perempuan dalam posisi yang lebih setara dengan laki-laki seringkali terhadang opini publik Indonesia yang melihat bahwa pemikiran emansipatoris berpotensi mendorong perempuan keluar dari "hukum alam". Ini terjadi karena aktualisasi dari nilai kesetaraan gender seringkali menempatkan perempuan dalam posisi menjalankan peran publik.Â
Secara simultan, perempuan yang sama juga dilihat secara alamiah memiliki tanggungjawab menjalankan peran domestiknya dalam keluarga. Dalam banyak kasus, peran domestik yang "diesensialisasikan" sebagai bagian perempuan ini menjadi lebih mengemuka. Melalui proses inilah domestifikasi perempuan di Indonesia tereproduksi secara sistemik.
Sementara wacana kesetaraan gender berangkat dari asumsi yang berbeda, yaitu melihat bahwa posisi baik laki-laki maupun perempuan di wilayah publik maupun privat adalah dikonstruksikan secara sosial. Berangkat dari asumsi tersebut wacana kesetaraan gender pada dasarnya melihat bahwa posisi dan peran masing-masing tidak diesensialisasikan dan keduanya diletakkan dalam hubungan yang setara.Â
Upaya kesetaraan gender, setidaknya menurut wacana feminisme liberal yang relatif dominan dalam wacana feminisme saat ini, perlu didasarkan pada asumsi kesetaraan individu laki-laki dan perempuan sebagai agen sosial.Â
Ini didukung oleh argumentasi tentang kesetaraan hak asasi manusia dan demokrasi. Namun demikian, seperti dikemukakan di atas, begitu juga disampaikan oleh Anna Marie Wati, ide feminisme semacam ini dan juga ide kesetaraan gender secara umum tidak terbentuk dan berangkat dari konteks Indonesia di mana kesadaran tentang struktur sosial dan keagenan lebih didasarkan pada nalar kolektivitas.
Kedua wacana tersebut adalah dua wacana tentang posisi dan peran perempuan di Indonesia yang tengah bernegosiasi untuk mencapai suatu titik keseimbangan tertentu.Â
Titik keseimbangan di sini adalah sesuatu yang berada dalam wilayah konseptual. Pada prakteknya, yang disebut titik keseimbangan ini selalu berubah, sehingga proses mencapai titik ini bisa dikatakan tidak pernah berakhir. Dalam proses itu sendiri, seringkali muncul situasi dilematis dan ambigu.Â
Namun demikian situasi dilematis dan ambigu ini mau tidak mau harus dihadapi oleh setiap kita yang hidup dalam realitas sosial. Pilihan posisi harus diambil dan diaktualisasikan dalam kehidupan sosial.Â
Namun, ada kesadaran sekaligus kritisisme bahwa apapun pilihan yang diambil selalu tidak akan pernah mampu secara total menyelesaikan kontradiksi, dilema, dan ambiguitas yang melingkupinya. Hal ini membuat proses menjadi "perempuan" itu sendiri menjadi sebuah upaya yang terus menerus sebagai interaksi antara subyek yang bersangkutan dengan lingkungannya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H