Mohon tunggu...
Kholifatur Rohmah
Kholifatur Rohmah Mohon Tunggu... Mahasiswa - Universitas Negeri Semarang

Mahasiswi Universitas Negeri Semarang

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Sejarah Perkembangan Ilmu Nahwu

8 Februari 2024   09:41 Diperbarui: 8 Februari 2024   09:46 212
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

 

Ketika sobat mencoba memerhatikan gambar diatas, apakah sobat bisa membaca tulisan tersebut?

Tentunya sobat sangat kesulitan ketika tidak mempunyai ilmu untuk membacanya. Disinilah fungsi ilmu nahwu mulai terlihat. Lalu bagaimana sih sejarah perkembangannya? yuk simak cerita berikut ini.

Sejak awal perkembangannya hingga sekarang ilmu nahwu selalu menjadi bahan kajian yang dinamis di kalangan para pakar linguistik bahasa Arab. Sebagai salah satu cabang linguistik atau ilmu lughoh, Ilmu Nahwu dipelajari sebagai sarana untuk mendalami bidang ilmu lain yang referensi utamanya ditulis dengan bahasa Arab seperti Ilmu tafsir, ilmu hadits, dan ilmu fiqih.  Bentuk pembelajaran ilmu Nahwu itu telah menjadi tradisi yang berkembang secara berkesinambungan di kalangan masyarakat Arab atau masyarakat Islam dahulu sampai sekarang.

Dalam sebuah riwayat dikatakan bahwa ada seorang yang berkata salah dari segi bahasa di hadapan nabi maka Beliau berkata kepada para sahabat

أَرْشِدُوا أَخَاكُمْ فَإِنَّهُ قَدْ ضَلَّ

“Bimbinglah saudara kalian, sesungguhnya ia telah tersesat”.

Perkataan ضَلَّ yang artinya tersesat pada hadits tersebut merupakan peringatan yang cukup keras dari nabi kata itu lebih keras artinya dari أَخْطَأَ berbuat salah atau ذَلَّ keseleo lidah.  

Dalam riwayat lain Umar Bin Khattab melewati satu Kaum yang telah menyakiti seorang Romawi lalu nabi menegur mereka, kemudian mereka menjawab إِنَّ قَوْمٌ متَعَلِّمُوْن yang artinya “Kami ini orang berpendidikan”. Dalam perkataan tersebut terdapat kesalahan grammar pada lafadz متَعَلِّمُوْن yang seharusnya adalah متَعَلِّمِيْنَ. Kemudian Sayyidina Umar Bin Khattab R.A. marah kepada mereka. Seraya berkata, Demi Allah! kesalahan pada lidahmu itu lebih fatal daripada kesalahan yang kamu lakukan terhadap orang Romawi”.

Semakin lama lahn semakin terjadi, terutama ketika bahasa Arab mulai menyebar ke negara-negara atau bangsa-bangsa lain non-Arab. Pada saat itulah mulai terjadi akulturasi dan proses saling mempengaruhi antara bahasa Arab dan bahasa-bahasa lain. Para penutur bahasa Arab dari non-Arab seringkali berbuat lahn dalam berbahasa Arab, sehingga hal itu dikhawatirkan akan terjadi juga pada waktu mereka membaca Alquran.

Dari segi soaial budaya, bangsa Arab dikenal mempunyai kebanggaan dan fanatisme yang tinggi terhadap bahasa yang mereka miliki. Hal ini mendorong mereka berusaha keras untuk memurnikan dari pengaruh asing. Kesadaran itu semakin lama semakin mengkristal, sehingga tahap demi tahap merka mulai memikirkan langkah-langkah pembakuan bahasa dalam bentuk kaidah-kaidah.

Dengan prakarsa khalifah Ali bin Abi Thalib serta dukungan para tokoh yang memiliki komitmen tinggi terhadap bahasa Arab dan Al Qur’an, sedikit demi sedikit mulailah disusun kerangka teoritis yang kelak kemudian menjadi cikal bakal pertumbuhan ilmu Nahwu. Sebagaimana terjadi pada ilmu-ilmu lain, ilmu Nahwu tidak begitu saja muncul dan langsung sempurna dalam waktu singkat melainkan berkembang tahap demi tahap dalam kurun waktu yang cukup panjang.

Pada zaman Jahiliyah kebiasaan orang-orang Arab ketika mereka berucap atau berkomunikasi dengan orang lain. Mereka melakukannya dengan tabiat masing-masing dan lafadz yang muncul terbentuk dengan peraturan yang telah ditetapkan mereka dimana para junior belajar kepada senior, para anak belajar bahasa dari orang tuanya dan seterusnya. Namun ketika Islam datang dan menyebar ke negeri Persia dan Romawi dan terjadinya pernikahan antara orang Arab dengan orang non-Arab, serta terjadi perdagangan dan pendidikan menjadikan bahasa Arab bercampur dengan bahasa non-Arab. Orang yang fasih bahasanya menjadi jelek dan banyak terjadi salah ucap, sehingga keindahan bahasaArab menjadi hilang.

Dari kondisi tersebut, mendorong adanya pembuatan kaidah-kaidah yang disimpulkan dari ucapan orang Arab yang fasih yang bisa dijadikan rujukan dalam mengharakati bahasa Arab, sehingga muncullah ilmu pertama yang dibuat untuk menyelamatkan bahasa Arab dari kerusakan yang disebut dengan ilmu Nahwu. Adapun orang yang pertama kali menyusun kaidah bahasa Arab adalah Abul Aswad ad-Duali dari bani kinanah atas dasar perintah khalifah Sayyidina Ali Bin Abi Thalib.  

Terdapat suatu kisah yang dinukil dari Abul Aswad ad-Duali, bahwasanya ketika ia sedang berjalan-jalan dengan anak perempuannya pada malam hari sang anak melihat langit dan memikirkan tentang indahnya serta bagusnya bintang-bintang.

Kemudian putrinya itu berkata ما أَحْسَنُ السَّمَاءِ , yang artinya “apakah yang paling indah di langit”.

Dengan mengkasroh Hamzah yang menunjukkan bahwa kalimat tersebut bermakna istifham/kata tanya. Kemudian sang ayah mengatakan نُجُمُها?

Namun sang anak menyanggah Dengan mengatakan kekaguman (bukan ungkapan pertanyaan), maka sang ayah mengatakan “kalau begitu ucapkanlah ما أَحْسَنُ السَّمَاءَ dengan memfathah hamzah , yang artinya “betapa indahnya langit.

Dikisahkan pula dari Abul Aswad ad Duali ketika ia melewati seorang yang sedang membaca alquran ia mendengar sang Qori membaca surat at-taubah ayat 3 yang berbunyi "وَأَذَانٌ مِنَ اللّهِ وَرَسُوْلِهِ إِلَى النَّاسِ يَوْمَ الحَجِّ الأَكْبَرِأَنَّ اللّهَ بَرِئٌ منَ اللهِ وَرَسُوْلِهِ"

Dengan mengucapkan huruf lam pada kata rasulihi yang seharusnya didhommahkan sehingga artinya “sesungguhnya Allah berlepas diri dari orang-orang musyrik dan rasulnya”. Hal ini menyebabkan arti dari kalimat tersebut menjadi rusak dan menyesatkan.  Seharusnya kalimat tersebut adalah

" وَأَذَانٌ مِنَ اللّهِ وَرَسُوْلِهِ إِلَى النَّاسِ يَوْمَ الحَجِّ الأَكْبَرِأَنَّ اللّهَ بَرِئٌ منَ اللهِ وَرَسُوْلُهُ" (dengan di dhommahkan kata rosuluhu)

Sesungguhnya Allah dan rasulnya berlepas diri dari orang-orang musyrikin karena mendengar perkataan ini Abul Aswad ad Duali menjadi ketakutan ia takut keindahan bahasa Arab menjadi rusak dan gagahnya bahasa Arab ini menjadi hilang. Padahal hal tersebut terjadi di awal mula Daulah Islam. Kemudian hal ini disadari oleh khalifah Ali bin Abi Thalib, sehingga ia memperbaiki keadaan ini dengan membuat pembagian kata bab Inna dan saudaranya, dan bentuk idhofah (penyandaran kalimat), kalimat ta’ajub (kekaguman), kata tanya dan selainnya.

            Sejak saat itu, Abul Aswad ad Duali datang kepada Sayyidina Ali bin Abi Thalib. Kemudian beliau berkata: “Wahai Amirul mu’minin, bahasa kita telah tercampur dengan yang lain”. Sambil menceritakan kejadian antara dia dan putriya, serta kejadian dimana sang Qori' yang salah dalan membaca Al-Qur'an. Kemudian beliau meminta kepada Sayyidina Ali untuk dibuatkan ilmu mengenai tata bahasa Arab yang baik dan benar.

Kemudian Sayyidina Ali bin Abi Thalib mengatakan:

"الكلامُ كُلُّهُ لَا يَخْرُجُ عَنْ إِسمٍ وَفِعْلٍ و حَرْفٍ الخ . على هذا النحوِ"

“Kalimat itu tidak boleh lepas dari isim (nomina), fi’il (verba) dan charf (partikel) dan teruskanlah untuk sesamanya ini”

            Kemudian Ali Bin Abi Thalib berkata kepada Abu Aswad ad Duali"  "أَنْحُ هذَا النَّحْوَ , yang artinya “Ikutilah jalan ini”. Dan dari kalimat inilah ilmu kaidah bahasa Arab disebut dengan ilmu nahwu. Kemudian Abul Aswad ad Duali melaksanakan tugasnya dan menambahi kaidah tersebut dengan bab-bab lainnya sampai terkumpul bab yang mencukupi. Kemudian dari Abul Aswad ad Duali ini muncullah ulama-ulama bahasa Arab lainnya seperti Abu ʻAmr bin al-ʻAlāʼ al-Basri,  Al-Khalil bin Ahmad al-Farahidi (peletak ilmu Arudh dan penulis mu’jam pertama), imam Sibawayh dan imam al-Kisa’i (pakar ilmu Nahwu yang menjadi rujukan dalam kaidah-kaidah bahasa Arab).

Seiring dengan berjalannya waktu kaidah bahasa Arab berpecah menjadi dua mazhab yakni madzhab bashrah dan kufah. Keduanya bukanlah termasuk daerah Jazirah Arab, akan tetapi kedua mazhab ini tidaklah henti-hentinya tersebar sampai akhir mereka membaguskan pembukuan ilmu Nahwu sampai kepada kita sekarang demikianlah sejarah awal terbentuknya ilmu Nahwu di mana kata. Nahwu ternyata berasal dari ucapan khalifah Ali Bin Abi Thalib yaitu sepupu Rasulullah SAW.

Rahman, A. A. (2010). Sejarah Ilmu Nahwu Dan Perkembangannya. Adabiyah, X(35), 98–109.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun