Kata atau istilah dalam bahasa memiliki medan semantik, yang mencakup rentang makna, hubungan, dan asosiasi yang dimiliki kata tersebut dalam berbagai konteks penggunaannya. Medan semantik merujuk pada potensi makna yang bisa dikandung oleh sebuah kata, yang bergantung pada bagaimana kata itu digunakan dalam masyarakat.
Sebagai contoh, kata "libur" dalam bahasa Indonesia memiliki makna yang cukup umum, yaitu waktu istirahat dari aktivitas sehari-hari seperti pekerjaan atau pendidikan. Namun, makna kata ini dapat bervariasi pemaknaanya, bergantung pada konteks penggunaannya.
Dalam dunia pendidikan, kata "libur" biasanya dipahami sebagai periode waktu di mana aktivitas belajar di sekolah dihentikan sementara. Bagi siswa, libur sering kali dimaknai sebagai waktu bebas dari tugas akademik, meskipun ada sebagian siswa yang mungkin memilih untuk memanfaatkan waktu tersebut untuk mengerjakan pekerjaan rumah atau mengikuti kegiatan pendidikan nonformal.
Di dunia kerja, makna kata "libur" lebih mengarah pada waktu luang yang diperoleh dari pekerjaan profesional. Bagi pekerja kantoran, libur dapat berarti waktu untuk beristirahat dari rutinitas pekerjaan mereka, seperti saat akhir pekan atau ketika mendapatkan cuti tahunan. Sedangkan bagi sebagian orang dewasa yang bekerja secara mandiri atau memiliki tanggung jawab keluarga, libur mungkin justru diartikan sebagai waktu untuk menyelesaikan pekerjaan rumah tangga atau kegiatan produktif lainnya.Â
Persepsi terhadap kata "libur" juga dipengaruhi oleh usia dan jenis tanggung jawab yang dimiliki. Anak-anak cenderung mengasosiasikan libur dengan waktu untuk bermain dan bersenang-senang, sementara orang dewasa lebih memandangnya sebagai kesempatan untuk menyelesaikan urusan lain yang tidak berhubungan dengan pekerjaan utama mereka.
Contoh lain yang menggambarkan kompleksitas medan semantik sebuah kata adalah wacana mengenai libur sekolah selama bulan Ramadan yang digagas oleh Kementerian Agama, bahkan konon digagas oleh Presiden Prabowo Subianto. Wacana ini sebenarnya bertujuan baik, yaitu untuk memberikan kesempatan kepada siswa agar bisa lebih fokus pada kegiatan ibadah selama bulan suci. Namun, gagasan ini memunculkan pro dan kontra di kalangan masyarakat. Perbedaan pandangan terhadap wacana "libur sekolah bulan Ramadan" ini erat kaitannya dengan perbedaan pemaknaan terhadap kata "libur" dalam konteks tersebut.
Sebagian orang memandang libur sekolah selama Ramadan sebagai penghentian total kegiatan belajar-mengajar, yang memberi siswa kesempatan untuk fokus pada ibadah. Mereka percaya bahwa libur yang penuh akan memberikan manfaat emosional dan spiritual, terutama dalam membangun kebiasaan baik di kalangan siswa selama bulan Ramadan.
Dengan adanya waktu yang lebih longgar, siswa dapat lebih fokus pada peribadahan, memperkuat disiplin diri, serta menumbuhkan rasa empati terhadap sesama, sehingga bulan Ramadan bisa dijalani dengan lebih bermakna. Oleh karena itu, mereka mendukung penuh gagasan Menteri Agama mengenai libur sekolah selama Ramadan.
Namun, di sisi lain, terdapat mereka yang menentang gagasan libur total selama Ramadan. Mereka berpendapat bahwa "libur" seharusnya tidak berarti penghentian seluruhnya, tetapi lebih kepada waktu yang tetap diisi dengan kegiatan yang mendukung pendidikan formal.
Pembelajaran di sekolah harus tetap dilanjutkan agar siswa tidak mengalami learning loss atau tertinggal dari materi pelajaran, terutama bagi siswa di kelas-kelas akhir seperti kelas 6 SD, 9 SMP, dan 12 SMA/MA/SMK. Sebagai solusi, mereka mengusulkan agar pembelajaran tetap berjalan meskipun dengan penyesuaian tertentu, misalnya dengan mempersingkat jam pelajaran atau mengganti aktivitas akademik dengan program-program yang relevan dengan nilai-nilai agama.