Mohon tunggu...
Kholid Harras
Kholid Harras Mohon Tunggu... Dosen - Dosen Universitas Pendidikan Indonesia

Pemerhati pendidikan, politik, dan bahasa

Selanjutnya

Tutup

Bahasa

Fenomena "Jam Koma"

29 Desember 2024   21:30 Diperbarui: 30 Desember 2024   05:34 21
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
https://www.rri.co.id/fak-fak/kesehatan/1070277/arti-istilah-jam-koma-yang-viral-di-kalangan-gen-z

Istilah "jam koma" telah menjadi fenomena populer di kalangan Gen Z Indonesia, terutama di media sosial seperti TikTok dan X (sebelumnya Twitter). Istilah ini merujuk pada kondisi ketika seseorang tampak tidak fokus atau "melamun," sering kali terjadi pada waktu tertentu dalam sehari. Fenomena ini menarik perhatian dari perspektif psikolinguistik karena melibatkan hubungan antara kelelahan kognitif, perhatian, dan penggunaan bahasa dalam kehidupan modern.

Jam koma dapat dijelaskan sebagai momen kelelahan ekstrem, baik fisik maupun mental, yang menyebabkan seseorang kehilangan kesadaran penuh atas tindakannya. Contonya, seseorang melupakan barang belanjaan setelah membayar atau meninggalkan uang yang telah diambil dari ATM. Kondisi ini umumnya terjadi pada sore hari (antara pukul 14.00 hingga 16.00) atau larut malam, saat kemampuan otak untuk memproses informasi menurun drastis. Dalam psikolinguistik, fenomena ini berkaitan erat dengan proses kognitif otak, termasuk pemeliharaan perhatian, pengolahan informasi, dan hubungan antara kelelahan mental dengan kemampuan linguistik.

Kelelahan Kognitif dan Perhatian

Dalam psikolinguistik, perhatian merupakan elemen penting dalam komunikasi dan pengolahan bahasa. Eysenck (2004) menjelaskan bahwa kelelahan kognitif dapat mengurangi efisiensi perhatian, sehingga seseorang kesulitan memproses informasi dengan baik. Pada kondisi "jam koma," otak sering kali memasuki fase brain freeze, yaitu penurunan kemampuan untuk menjalankan tugas-tugas sederhana. Akibatnya, individu dapat melakukan kesalahan seperti melupakan tugas kecil atau berbicara dengan struktur kalimat yang tidak logis.

Kesalahan ini sering dikaitkan dengan kesalahan pragmatik, di mana seseorang gagal mempertahankan konteks atau relevansi dalam percakapan. Dalam kondisi ini, otak tidak hanya kesulitan memproses informasi yang datang, tetapi juga kehilangan kemampuan untuk menyaring mana yang relevan, sehingga menghasilkan komunikasi yang kurang efektif.

Hubungan Kelelahan dengan Bahasa

Bahasa adalah salah satu fungsi otak yang paling kompleks, dan sangat rentan terganggu oleh kelelahan kognitif. Chomsky (1965) menyatakan bahwa pengolahan bahasa membutuhkan koordinasi antara memori kerja (working memory) dan pemrosesan sintaksis. Ketika otak lelah, koordinasi ini terganggu, menyebabkan ujaran yang tidak koheren atau sulit dimengerti. Kondisi ini sering ditemukan pada individu yang mengalami jam koma, di mana mereka salah berbicara atau mengetik, bahkan dalam tugas-tugas otomatis.

Selain itu, kelelahan juga berdampak pada fluency atau kelancaran berbicara, salah satu elemen penting dalam psikolinguistik. Ketika otak kehilangan fokus, kemampuan berbicara menjadi terfragmentasi, yang mengurangi efektivitas komunikasi. Hal ini mencerminkan gangguan fungsi eksekutif otak yang menjadi penyebab utama penurunan kualitas linguistik.

Tekanan Sosial dan Gaya Hidup Kiwari

Fenomena jam koma tidak lepas dari tekanan sosial dan gaya hidup Gen Z. Generasi ini sering menghadapi tuntutan tinggi dalam hal akademik, karier, serta ekspektasi sosial untuk selalu produktif dan terhubung. Kebiasaan seperti menggulir media sosial tanpa henti, begadang untuk menonton konten, atau menghadapi notifikasi yang terus-menerus memperburuk kemampuan otak untuk beristirahat secara optimal.

Tekanan ini memengaruhi keseimbangan kognitif otak, termasuk sustained attention atau kemampuan mempertahankan perhatian jangka panjang. Ketika otak terus-menerus menerima rangsangan tanpa jeda, kelelahan menjadi tak terhindarkan. Kondisi ini tidak hanya memengaruhi kesehatan mental, tetapi juga kemampuan seseorang untuk berkomunikasi secara efektif, seperti penggunaan bahasa yang lebih singkat atau bahkan penuh kesalahan.

Tren Sosial dan Pengaruhnya terhadap Bahasa

Kepopuleran istilah jam koma mencerminkan dinamika baru dalam bahasa dan komunikasi di era digital. Sapir-Whorf Hypothesis menyatakan bahwa bahasa tidak hanya mencerminkan cara berpikir, tetapi juga membentuk pikiran seseorang. Dalam konteks ini, istilah "jam koma" memberikan cara bagi Gen Z untuk mendeskripsikan kondisi spesifik yang sebelumnya sulit diungkapkan. Frasa ini membantu menciptakan solidaritas sosial, memungkinkan orang berbagi pengalaman yang serupa dalam menghadapi tekanan modern.

Selain itu, media sosial menjadi arena di mana bahasa berkembang. Istilah seperti "jam koma" membantu menciptakan komunitas di mana pengalaman kolektif dapat dibagikan, memberikan rasa keterhubungan di tengah isolasi yang sering dirasakan dalam dunia digital.

Upaya Pencegahan dan Pemulihan

Mengelola jam koma memerlukan pendekatan sadar untuk mengurangi kelelahan kognitif dan memulihkan keseimbangan mental. Istirahat yang cukup menjadi langkah pertama yang sangat penting, karena tidur berkualitas membantu memulihkan kapasitas memori kerja dan fungsi linguistik otak. Tidur tidak hanya memperbaiki koneksi saraf tetapi juga meningkatkan kemampuan otak untuk memproses informasi secara efisien.

Selain itu, pengelolaan waktu juga merupakan strategi penting. Dengan mengatur jadwal kerja dan istirahat secara seimbang, individu dapat menciptakan ritme harian yang lebih terstruktur, mencegah kelelahan yang berlebihan. Mengalokasikan waktu untuk aktivitas relaksasi seperti mendengarkan musik, membaca, atau berjalan santai juga dapat membantu mengalihkan fokus dari rutinitas yang melelahkan ke aktivitas yang lebih menyenangkan.

Konsumsi makanan sehat menjadi aspek penting lainnya. Makanan yang kaya glukosa, seperti buah-buahan atau biji-bijian, memberikan dorongan energi sementara yang dibutuhkan otak untuk tetap berfungsi optimal, terutama pada waktu-waktu kritis seperti sore hari. Pola makan yang baik tidak hanya mendukung fungsi otak tetapi juga membantu menjaga keseimbangan metabolisme tubuh.

Fenomena jam koma mencerminkan tantangan yang dihadapi oleh generasi muda dalam dunia yang penuh tekanan. Dalam perspektif psikolinguistik, istilah ini menunjukkan hubungan erat antara kelelahan kognitif, tekanan sosial, dan kemampuan linguistik. Dengan menerapkan langkah-langkah seperti istirahat yang cukup, pengelolaan waktu yang efektif, aktivitas relaksasi, dan pola makan sehat, individu dapat mengatasi kondisi ini dan menjaga kesehatan mental mereka. Jam koma adalah cerminan dari dinamika kehidupan modern, sekaligus pengingat akan pentingnya menjaga keseimbangan dalam menghadapi tekanan dunia digital.**

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Bahasa Selengkapnya
Lihat Bahasa Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun