Di era digital yang terus berkembang, istilah brainrot semakin popular. Istilah ini digunakan untuk menggambarkan kondisi mental akibat paparan informasi yang berlebihan. Fenomena ini sering dialami oleh individu yang merasa kewalahan oleh aliran konten yang tidak ada habisnya, terutama dari media sosial dan internet.
Secara harfiah, brainrot berarti "pembusukan otak". Namun, dalam penggunaan modern, istilah ini merujuk pada kondisi ketika seseorang terus-menerus memikirkan sesuatu yang menarik atau mendominasi perhatian mereka. Fenomena ini sering dialami oleh individu yang terlibat dalam fandom, media sosial, atau hiburan, di mana pikiran mereka dikuasai oleh konten tertentu hingga sulit memikirkan hal lain. Contohnya, seorang penggemar musik yang tidak bisa berhenti mendengarkan lagu favoritnya, atau seseorang yang terus memikirkan adegan tertentu dari sebuah film.
Secara informal Brainrot merujuk pada kondisi di mana pikiran seseorang didominasi oleh informasi atau obsesi tertentu. Fenomena ini sering terjadi ketika seseorang menghabiskan waktu berlebihan di media sosial, terpapar konten yang menarik secara emosional, atau merasa tertekan untuk selalu mengikuti perkembangan terkini.
Keadaan tersebut  dapat memengaruhi kemampuan seseorang untuk fokus, merenung, dan memproses informasi dengan baik. Dalam psikolinguistik, brainrot menggambarkan tekanan pada otak untuk menyaring informasi secara efektif. Baddeley (2000) melalui teori Working Memory menjelaskan bahwa otak memiliki kapasitas terbatas dalam menangani informasi pada satu waktu. Ketika informasi yang masuk terlalu banyak, kapasitas ini menjadi kewalahan, yang pada akhirnya mengganggu proses otak dalam mengolah bahasa, perhatian, dan emosi.
Brainrot erat kaitannya dengan kelelahan kognitif yang disebabkan oleh paparan informasi tanpa henti. Dalam dunia digital yang serba cepat, otak manusia sering kali harus menangani aliran informasi dari berbagai sumber, yang mengganggu keseimbangan kognitif. Hal tersebut  memengaruhi  tiga aspek utama dalam pemrosesan informasi: perhatian, ingatan, dan bahasa. Brainrot mengganggu kemampuan perhatian selektif, yaitu kemampuan untuk memfokuskan diri pada informasi yang relevan sambil mengabaikan gangguan.
Ketika otak terus dibanjiri informasi tanpa jeda, prioritas dalam memproses informasi menjadi kabur. Akibatnya, individu sering kali mengalami disorientasi informasi, kondisi di mana otak kesulitan memutuskan mana informasi yang penting atau perlu diabaikan. Hal tersebut pada akhirnya akan membuat seseorang merasa kewalahan dan kehilangan kendali atas fokus mereka.
Selain itu, brainrot juga memengaruhi ingatan dan pemrosesan bahasa. Chomsky (1965) menegaskan bahwa kemampuan bahasa membutuhkan koordinasi antara memori kerja dan struktur sintaksis untuk mengelola konteks percakapan dengan efisien. Dalam kondisi brainrot, kapasitas ini melemah, sehingga individu mengalami kesalahan linguistik atau kesulitan merangkai kalimat yang koheren.
Sering kali, individu yang mengalami brainrot juga cenderung mengulang-ulang informasi tertentu, seperti lagu, kutipan, atau dialog, yang mencerminkan pola hiperfokus. Pola ini mungkin memberikan hiburan sesaat, tetapi secara kognitif, proses pengulangan ini dapat mengurangi kemampuan otak untuk memproses informasi baru. Otak terjebak dalam lingkaran memori tertentu tanpa menghadirkan wawasan baru atau refleksi yang lebih dalam.
Fenomena brainrot juga berdampak pada kehidupan sosial dan pendidikan. Dalam konteks sosial, otak yang dipenuhi oleh informasi berlebihan sering kehilangan kemampuan untuk memberikan perhatian penuh pada interaksi langsung. Misalnya, seseorang yang terus-menerus sibuk dengan ponselnya di tengah percakapan dapat menciptakan jarak emosional. Situasi ini menyebabkan penurunan kualitas hubungan interpersonal, di mana percakapan langsung tergantikan oleh konsumsi konten digital. Akibatnya, hubungan sosial menjadi kurang bermakna karena perhatian yang terpecah mengurangi keintiman dalam interaksi.
Dampak brainrot semakin terlihat dalam dunia pendidikan. Siswa sering kali mengalami kesulitan menyaring informasi relevan di tengah banyaknya sumber online. Kroll dan Bialystok (2013) menyebutkan bahwa literasi informasi merupakan keterampilan penting untuk membantu siswa memahami dan mengelola aliran informasi yang kompleks. Tanpa keterampilan ini, siswa mudah merasa kewalahan, bingung, dan frustrasi ketika mencoba memproses informasi yang tidak terstruktur. Hal ini tidak hanya menghambat proses belajar, tetapi juga mengurangi efektivitas pembelajaran secara keseluruhan.