Mohon tunggu...
Kholid Harras
Kholid Harras Mohon Tunggu... Dosen - Dosen Universitas Pendidikan Indonesia

Pemerhati pendidikan, politik, dan bahasa

Selanjutnya

Tutup

Bahasa Pilihan

Keratabasa sebagai Kreativitas Linguistik

24 Desember 2024   09:09 Diperbarui: 24 Desember 2024   09:09 58
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Fenomena keratabasa juga tercermin dalam adaptasi istilah modern untuk mempermudah komunikasi. Kata 'kepo', misalnya, berasal dari bahasa Hokkien kay poh, yang berarti "suka ikut campur urusan orang lain," tetapi dalam penggunaan modern maknanya menyempit menjadi "rasa ingin tahu yang berlebihan." Contoh lainnya adalah 'salting', yang merupakan singkatan dari "salah tingkah," digunakan untuk menggambarkan kegugupan dalam situasi tertentu. Kata 'baper', yang berarti "bawa perasaan," menggambarkan kondisi seseorang yang terlalu sensitif, sementara 'japri' (jalur pribadi) merujuk pada komunikasi personal dalam aplikasi pesan.

Dalam konteks bahasa gaul, muncul istilah seperti  'anjay' dan  'anjir'. Keduanya merupakan modifikasi dari kata kasar "anjing". Kata "anjay" sering digunakan untuk mengekspresikan kekaguman atau keheranan, sementara "anjir" kerap digunakan untuk menggambarkan keterkejutan atau emosi intens lainnya. Modifikasi semacam ini menunjukkan bagaimana bahasa terus berkembang sesuai dengan kreativitas dan kebutuhan komunikasi masyarakat, terutama di kalangan anak muda.

Keratabasa dalam Bahasa Daerah

Fenomena keratabasa tidak hanya ditemukan dalam bahasa Indonesia, tetapi juga di berbagai bahasa daerah. Dalam bahasa Jawa, keratabasa sering digunakan untuk menyampaikan nilai-nilai moral atau filosofi hidup. Contohnya adalah sekuter, yang diartikan sebagai "sambi sendheku mlayu banter," sepur sebagai "asepe metu ndhuwur," dan garwa sebagai "sigaraning nyawa." Contoh ini menunjukkan bagaimana bahasa Jawa kaya akan permainan kata yang bermakna mendalam.

Dalam bahasa Sunda, fenomena ini dikenal dengan istilah kirata (kira-kira sugan nyata). Contohnya adalah korsi (cokor di sisi), guru (digugu jeung ditiru), dan smah (ngahskeun nu boga imah). Melalui keratabasa, orang Sunda tidak hanya menunjukkan kreativitas berbahasa, tetapi juga menanamkan nilai-nilai budaya dengan cara yang menarik dan mudah dipahami.

Bahasa Sebagai Cerminan Budaya

Bahasa adalah bagian tak terpisahkan dari budaya, mencerminkan cara hidup, nilai-nilai, dan kebiasaan penggunanya. Fenomena seperti keratabasa menunjukkan bagaimana bahasa dapat menjadi sarana ekspresi budaya yang dinamis. Kreativitas linguistik ini tidak hanya memperkaya bahasa, tetapi juga memberikan wawasan tentang cara masyarakat memahami dan memaknai realitas di sekitar mereka.

Pentingnya Literasi Etimologi

Untuk menyikapi fenomena ini, penting bagi masyarakat untuk meningkatkan literasi etimologi. Pemahaman yang lebih baik tentang asal-usul suatu kata dapat membantu mencegah kesalahpahaman dan memperkaya pengetahuan tentang bahasa itu sendiri. Dengan memahami keratabasa, kita dapat melihat bagaimana bahasa berevolusi, mencerminkan pola pikir, budaya, dan kreativitas masyarakat dalam kehidupan sehari-hari. ***

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Bahasa Selengkapnya
Lihat Bahasa Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun