Bahasa Jawa, sebagai salah satu warisan budaya yang kaya di Indonesia, seringkali menyimpan medan semantik  mendalam di balik setiap ungkapannya. Ujaran-ujaran dalam bahasa ini tidak hanya memiliki makna literal, tetapi juga makna kontekstual yang sarat dengan nilai budaya dan norma sosial.
Salah satu ungkapan yang menarik untuk dikaji adalah "Kopimu kurang kenthel. Ngajimu kurang adoh." Ungkapan ini mengundang banyak tafsir karena sifatnya yang ambigu dan potensi untuk digunakan dalam berbagai situasi sosial.
Dalam budaya Jawa, "kopi" kerap menjadi simbol kekuatan atau karakter seseorang, sementara "ngaji" mencerminkan kedalaman spiritual atau pengetahuan agama. Secara literal, "kopimu kurang kenthel" dapat diartikan sebagai kopi yang tidak pekat, dan "ngajimu kurang adoh" berarti mengaji yang tidak dilakukan dengan jarak atau upaya yang jauh.
Namun, makna idiomatik ungkapan tersebut jauh lebih luas. "Kopimu kurang kenthel" kerap dimaknai sebagai ketidakmatangan atau kurangnya keteguhan dalam pendirian seseorang. Sementara itu, "ngajimu kurang adoh" dapat mengacu pada minimnya usaha seseorang dalam memperdalam spiritualitas atau ilmu agama.
Ungkapan tersebut  sering digunakan untuk menyampaikan kritik secara halus. Dalam budaya Jawa, komunikasi umumnya menghindari konfrontasi langsung dan lebih memilih simbolisme atau metafora untuk menyampaikan pesan. Oleh karena itu, ungkapan tersebut juga  menjadi alat yang efektif untuk memberikan nasihat atau bahkan sindiran tanpa harus menimbulkan rasa tersinggung secara langsung.
Dimensi Semantik dan Pragmatik
Secara semantik, ungkapan "Kopimu kurang kenthel. Ngajimu kurang adoh." kaya  simbolisme yang mencerminkan nilai-nilai sosial masyarakat Jawa. Simbol "kopi" dan "ngaji" dalam ungkapan tersebut menggambarkan dua aspek penting kehidupan manusia: duniawi dan spiritual. Keduanya merupakan elemen yang dianggap perlu seimbang untuk mencapai harmoni hidup. Ungkapan itu  menyampaikan bahwa seseorang perlu memiliki kepribadian yang kokoh dan berupaya maksimal dalam aspek spiritual.
Pragmatik ungkapan itu, bagaimanapun, sangat bergantung pada konteks penggunaannya. Dalam percakapan informal, ujaran ini bisa menjadi candaan ringan atau kritik tersirat. Namun, dalam situasi formal seperti forum pengajian, maknanya dapat bergeser menjadi alat retorika untuk menyoroti kekurangan pihak tertentu. Inilah yang menjadi isu ketika ujaran ini digunakan oleh Miftah Habiburahman, seorang penceramah agama, dalam forum terbuka.
Kontroversial  Pendakwah Miftah
Dalam forum pengajian terbuka, pendakwah Miftah Habiburahman mengucapkan "Kopimu kurang kenthel. Ngajimu kurang adoh" sebagai komentar yang ditujukan kepada pemuka agama yang memiliki pandangan berbeda dengan dirinya. Ungkapan ini disampaikan dengan nada yang tampak bercanda, namun tidak dapat disangkal mengandung elemen pelecehan. Dalam konteks ini, Miftah seolah mempertanyakan keseriusan dan integritas pihak lain dalam memahami serta menyampaikan ajaran agama.