Pada dasarnya, semua yang dapat dilihat, didengar, atau dirasakan oleh manusia merupakan tanda (sign). Dalam studi semiotika, tanda terdiri dari dua komponen dasar: penanda (signifier) dan petanda (signified). Penanda adalah bentuk fisik dari tanda, seperti kata, gambar, atau simbol, sedangkan petanda adalah konsep atau makna yang diwakili oleh penanda tersebut. Contoh sederhana kata "pohon" (penanda), yang merujuk pada objek fisik pohon (petanda).
Dalam dunia politik, semiotika memiliki peran penting dalam memahami bagaimana simbol, bahasa, dan gambar digunakan untuk membentuk makna dan membangun narasi politik. Tanda-tanda politik, seperti slogan, logo partai, dan visual calon pemimpin, berfungsi untuk menciptakan persepsi publik, menyampaikan ideologi, dan membentuk identitas politik.
Misalnya, logo PDIP yang berupa kepala banteng (penanda) yang oleh pengurus Parpol tersebut diyakini merepresentasikan keberanian, kekuatan, dan perjuangan rakyat (petanda), serta berhubungan dengan ideologi nasionalisme partai tersebut. Contoh lain gambar calon presiden yang tersenyum dengan latar belakang rakyat (penanda), yang menciptakan kesan kedekatan dengan rakyat (petanda) dan membangun citra positif calon tersebut.
Di Indonesia, penggunaan simbol politik menjadi lebih kompleks ketika unsur-unsur yang terlibat memiliki makna ganda atau bahkan ambigu. Kasus terbaru yang menarik perhatian adalah ketika Kaesang Pangarep, anak bungsu Presiden Joko Widodo, mengenakan rompi bertuliskan "Putra Mulyono" saat melakukan blusukan ke wilayah Tangerang sebagai Ketua Umum Partai Solidaritas Indonesia (PSI).
Semua mafhum, "Mulyono" merupakan nama kecil Presiden Jokowi. Konon sesuai kepercayaan masyarakat Jawa, karena saat kecil Mulyono ini kerap sakit-sakitan, orangtuanya lantas menggantinya menjadi Joko Widodo. Entah mengapa dalam beberapa bulan ini nama tersebut viral di media sosial. Namun sayangnya penisbatan "Mulyono" oleh warganet terhadap Presiden Jokowi lebih beraroma kritik.
Misalnya Mulyono dinilai masih berperan besar dalam politik meski masa jabatannya akan segera berakhir. Mulyono juga dianggap masih cawe-cawe terhadap proses suksesi politik, termasuk dalam hubungan dengan calon presiden Prabowo Subianto. Disisi lain Mulyono terkesan ingin melepaskan tanggungjawab gelagat akan mangkraknya proyek ambisiusnya IKN.
Ketika Kaesang mengenakan rompi bertuliskan "Putra Mulyono", secara semiotik hal tersebut berfungsi sebagai penanda yang sarat akan makna. Di satu sisi, nama "Putra Mulyono" menunjukkan kedekatan dan keterkaitan langsung Kaesang Pangarep dengan Jokowi sebagai bapak kandungnya. Jadi Kaesang, disadari atau tidak  ingin menegaskan identitasnya kepada publik dirinya merupakan bagian dari dinasti politik Jokowi.
Penggunaan nama "Putra Mulyono" memang dapat memberikan keuntungan bagi PSI dan posisi politik Kaesang. Sebagai anak presiden, Kaesang membawa legitimasi kekuasaan dan simbol kedekatan dengan pusat kekuasaan nasional. Nama "Mulyono" menegaskan bahwa Kaesang adalah pewaris langsung dari Jokowi, yang dianggap masih populer di kalangan rakyat. Dengan demikian, rompi tersebut menciptakan asosiasi positif bahwa Kaesang memiliki akses politik dan jaringan yang kuat, yang dapat menguntungkan PSI sebagai partai politik yang masih berupaya meraih suara dalam Pemilu lima tahun yang akan datang.
Bagi bangsa, penggunaan tanda ini mungkin saja dimaknai cerminan dari kesinambungan politik dan representasi dari nilai-nilai nasionalisme yang diperjuangkan oleh Jokowi. Dalam hal ini, penanda "Putra Mulyono" bisa dianggap sebagai penegasan bahwa perjuangan yang dilakukan Jokowi akan dilanjutkan oleh generasi berikutnya, yakni Kaesang Pangarep dan kakaknya Gibran Rakabuming serta menantunya Boby Nasution.
Namun, penanda "Putra Mulyono" juga dapat memiliki petanda negatif. Penggunaan nama tersebut dalam konteks politik bisa dianggap sebagai bentuk nepotisme, di mana dinasti politik Jokowi semakin jelas terlihat melalui keterlibatan aktif Kaesang.Â