Mohon tunggu...
Kholid Harras
Kholid Harras Mohon Tunggu... Dosen - Dosen Universitas Pendidikan Indonesia

Pemerhati pendidikan, politik, dan bahasa

Selanjutnya

Tutup

Bahasa

Salah Kaprah Menggelari Nabi "Junjungan Alam" atau "Baginda Alam"

17 September 2024   20:52 Diperbarui: 18 September 2024   04:34 263
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Penghormatan dan kecintaan yang mendalam kepada Nabi Muhammad SAW merupakan salah satu bentuk ibadah yang dianjurkan dalam Islam. Namun, kecintaan tersebut haruslah  diiringi dengan pemahaman yang benar mengenai posisi beliau sebagai Nabi dan Rasul.  Dalam konteks ini, muncul fenomena pada sebagian umat Islam di Indonesia kerap  memberikan gelar-gelar kepada Nabi Muhammad yang tidak sepenuhnya tepat. Gelar seperti "Junjungan Alam" dan "Baginda Alam," meskipun dimaksudkan sebagai penghormatan, sesungguhnya tidak sesuai dengan ajaran Islam dan berpotensi  menimbulkan salah paham.

Gelar "Junjungan Alam"

Gelar "Junjungan Alam" misalnya, sering digunakan oleh sebagian umat, termasuk para ustadz dan ulama, untuk menegaskan kedudukan Nabi Muhammad SAW yang tinggi.  Kata "junjungan" dalam bahasa Jawa bermakna sosok yang diangkat tinggi dan dihormati, sedangkan "alam" merujuk pada semesta, mencakup semua makhluk Allah, termasuk manusia, flora, fauna, dan seluruh ciptaan lainnya.  Sedangkan 'junjunan' dalam bahasa Sunda  bermakna 'kekasih' atau yang dicintai. Jadi makna junjunan alam' artinya 'kekasih semesta'.

Dalam pandangan Islam, hanya Allah SWT sajalah yang berhak disematkan sebagai jungjungan alam maupun junjunan alam alias  Rabbul 'Alamin. Meskipun Nabi Muhammad SAW adalah utusan Allah, tetapi beliau tidak dalam posisi penguasa alam semesta atau penguasa yang mengendalikan alam.  Beliau manusia biasa pilihan Allah yang diberi tugas membawa risalah.

Penyebutan "Junjungan Alam" atau "Junjunan Alam" untuk Nabi Muhammad SAW, meskipun dilandasi niat baik, sebenarnya berpotensi menyamakan posisi beliau dengan Allah SWT. Selain juga akan menimbulkan kerancuan dalam pemahaman umat tentang tauhid, yang menegaskan bahwa hanya Allah yang berkuasa atas alam semesta.  Oleh karena itu, gelar ini kurang tepat jika digunakan untuk Nabi Muhammad SAW.

Gelar "Baginda Alam"

Selain "Junjungan Alam," gelar "Baginda Alam" juga sering ditemukan dalam literatur budaya dan keagamaan di kalangan masyarakat Indonesia. "Baginda" dalam bahasa Indonesia biasanya bermakna raja atau penguasa, sedangkan "alam" merujuk pada semesta.  Menggelari Nabi Muhammad SAW dengan "Baginda Alam" berarti menganggap beliau sebagai penguasa alam semesta, yang tentu tidak sesuai dengan ajaran Islam.

Dalam Islam, satu-satunya penguasa alam semesta hanyalah Allah SWT. Allah-lah sebagai "malikil alam" atau "malikul mulki" atau 'Raja-Diraja" di seluruh jagat raya ini. Sedangkan Nabi Muhammad SAW hanyalah manusia biasa yang diutus untuk menyebarkan wahyu Allah SWT kepada umat manusia.

Gelar "Nabi dan Rasul"

Dalam ajaran Islam, gelar yang diberikan kepada Nabi Muhammad SAW sangatlah jelas, yaitu "Nabi" dan "Rasul.".  Gelar tersebut  diberikan langsung oleh Allah SWT kepada hamba-Nya yang terpilih tersebut. Gelar "Nabi" dan "Rasul" tersebut sudah sangat mulia dan memiliki makna yang mendalam, sekaligus menunjukkan tugas beliau untuk menyebarkan kebenaran, mengesakan Allah, dan membawa umat manusia ke jalan yang lurus.

Dengan memahami bahwa hanya Allah SWT telah memberikan gelar agung tersebut, oleh karenanya kita sebagai umatnya tidak seharusnya menambah-nambahi gelar-gelar yang sebenarnya tidak diperlukan. Nabi Muhammad SAW sudah dimuliakan oleh Allah dengan tugas yang sangat agung sebagai pembawa risalah terakhir. Dengan demikian gelar-gelar tambahan dari manusia justru bisa mengaburkan pemahaman tentang peran beliau yang sebenarnya, sekaligus berpotensi mencederai pemahaman ketauhidan kita kepada Allah SWT.

Memang dalam Al-Qur'an, Surat Al-Anbiya' (21): 107 disebutkan Allah SWT berfirman: "Wamaa arsalnaaka illa rahmatan lil-a'lamiin". Artinya: "Dan tiadalah Kami mengutus engkau (Muhammad), melainkan untuk (menjadi) rahmat bagi semesta alam."
Frasa "rahmatan lil 'alamin" pada ayat tersebut bermakna bahwa Nabi Muhammad SAW diutus oleh Allah sebagai bentuk kasih sayang dan rahmat yang meliputi seluruh alam, bukan hanya bagi manusia, tetapi juga untuk seluruh makhluk ciptaan Allah SWT, termasuk flora, fauna, serta dunia jin dan malaikat.

Menurut para ulama, rahmat yang dibawa oleh Nabi Muhammad mencakup ajaran-ajaran Islam yang penuh kasih, keadilan, dan perdamaian, serta petunjuk hidup yang membawa kebaikan dan keselamatan, baik di dunia maupun di akhirat. Dengan demikian tidak ada kaitan antara konsep rahmatan lil 'alamin ini dengan gelar "Junjungan Alam" atau "Baginda Alam," yang secara teologis hanya layak disematkan kepada Allah SWT.

Penyebab Salah Kaprah

Salah kaprah dalam memberikan gelar kepada Nabi Muhammad SAW ini juga dipengaruhi oleh budaya lokal, terutama budaya Jawa. Dalam tradisi Jawa, penggunaan gelar-gelar yang terkait dengan alam sudah menjadi bagian dari penghormatan kepada raja dan bangsawan.   Namun, penting untuk diingat bahwa tradisi budaya ini tidak bisa begitu saja diterapkan dalam konteks Islam.

Dalam budaya Jawa, gelar-gelar seperti "Pakualam" atau "Mangkualam" mengisyaratkan hubungan penguasa dengan alam. Akan tetapi, dalam Islam, hubungan ini hanya dimiliki oleh Allah SWT. Mengaplikasikan gelar-gelar ini kepada Nabi Muhammad SAW bukanlah cara yang tepat untuk menunjukkan penghormatan kepada beliau. Oleh karena itu, kita perlu memahami bahwa konteks budaya dan ajaran agama harus dibedakan dengan jelas.

Menghormati Nabi Muhammad SAW adalah kewajiban kita sebagai umat Islam, tetapi penghormatan itu harus dilakukan dengan cara yang benar, berdasarkan ajaran Al-Qur'an dan sunnah, bukan melalui pengaruh budaya yang tidak sesuai dengan ajaran Islam.

Khotimah

Penghormatan dan kecintaan kepada Nabi Muhammad SAW memang sangat penting dalam kehidupan seorang Muslim, tetapi hal ini harus dibarengi dengan pemahaman yang tepat mengenai posisi beliau sebagai Nabi dan Rasul.  Gelar-gelar seperti "Junjungan Alam" atau "Baginda Alam" sebaiknya tidak digunakan karena tidak sesuai dengan ajaran Islam dan dapat menimbulkan salah tafsir mengenai posisi Nabi Muhammad SAW dalam Islam.  

Posisi Nabi Muhammad sebagai utusan Allah sudah sangat mulia, dan kita seharusnya menjaga kemurnian ajaran Islam dengan menghormati beliau sesuai dengan ketentuan yang telah Allah tetapkan.

Allahu a'lam***

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Bahasa Selengkapnya
Lihat Bahasa Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun