Pada November 2024 mendatang, Indonesia akan menyelenggarakan Pilkada Serentak untuk memilih 38 gubernur, 416 bupati, dan 98 walikota. Dengan asumsi setiap pemilihan diikuti oleh lima pasangan calon, maka total akan ada 2.760 pasangan calon yang berpartisipasi dalam Pilkada serentak tersebut. Banyaknya paslon yang berkontestasi dalam Pilkada serentak dan langsung 2024 nanti sesungguhnya bisa berdampak positif maupun negatif.
Dampak positifnya, antara lain akan memberikan kesempatan bagi calon-calon baru yang memiliki ide dan visi yang segar dan inovatif serta program-program terbaik untuk memimpin daerahnya. Masyarakat memiliki lebih banyak pilihan dalam memilih pemimpin daerah mereka. Sedangkan dampak negatifnya, dapat memicu polarisasi, khususnya pada masyarakat akar rumput, meningkatnya pengeluaran Pilkada, serta memicu dan memacu politik uang (money politics).
Seperti mafhum, saat ini banyak Kepala Daerah yang terlibat dalam kejahatan korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN) serta melanggar nilai-nilai etika dan moralitas. Pada dua periode pemerintahan Presiden Joko Widodo, tercatat enam menteri dan satu wakil menteri terjerat kasus korupsi. Kemudian merujuk data KPK, sejak tahun 2004, ada 22 orang gubernur, 154 bupati/walikota dan wakilnya yang telah divonis akibat kasus korupsi.
Selanjutnya tercatat 79 pejabat kementerian/lembaga pemerintah non-kementerian/badan negara serta 365 pegawai Pemda yang juga terlibat kejahatan korupsi. Akibat prilaku koruptif mereka telah menyebabkan kerugian negara mencapai Rp33,6 triliun. Korupsi tidak hanya terjadi di tingkat pusat, tetapi juga merambah hingga ke Lembaga desa. Hingga saat ini, tercatat 686 Kepala Desa terjerat korupsi Dana Desa, dan menyebabkan kerugian negara mencapai Rp233 miliar.
Tentu banyak faktor penyebab banyaknya menteri dan khususnya Kepala Daerah (gubernur, bupati/walikota) yang terjerat korupsi. Salah satunya akibat tingginya biaya politik. Seperti diketahui, untuk menjadi calon gubernur, bupati, atau walikota dalam Pilkada saja konon diperlukan dana yang sangat besar. Berdasarkan data Kemendagri dan KPK, seorang calon gubernur diperkirakan harus menyiapkan dana antara Rp20 miliar hingga Rp100 miliar, sedangkan untuk calon bupati/walikota dibutuhkan antara Rp20 miliar hingga Rp30 miliar. Tingginya biaya Pilkada itu untuk memenuhi berbagai pengeluaran seperti kampanye, logistik, dan biaya administrasi lainnya, termasuk untuk biaya melakukan ‘serangan fajar” alias membeli suara pemilih.
Masalahnya, akibat tingginya biaya politik dalam Pilkada tersebut berdampak buruk. Misalnya, membuat banyak calon terpaksa mencari sumber dana yang besar, seringkali harusbdari para bohir yang memiliki kepentingan politik dan ekonomi tertentu. Setelah terpilih, sang Kepala Daerah terikat untuk membalas budi, yang bisa berujung pada praktik korupsi dan penyalahgunaan kekuasaan.
Dampak lainya, setelah dinyatakan menang, tetapi karena menanggung ‘utang’ investasi yang tinggi sang Kepala Daerah pun suka tidak suka dituntut untuk mengembalikan modalnya dengan berbagai modus dan cara, termasuk korupsi. Selain itu, tingginya biaya Pilkada juga membuat pencalonan menjadi eksklusif. Hanya dapat diakses oleh mereka yang memiliki modal besar atau dukungan finansial yang kuat. Artinya, biaya Pilkada yang tinggi akan menghalangi calon potensial dengan integritas dan kapasitas tinggi namun tidak memiliki sumber daya finansial yang mencukupi.
Upaya menghasilkan pemimpin yang berintegritas harus dimulai dari pelaksanaan Pilkada yang bebas dari politik uang. Proses pemilihan yang bersih dan jujur akan memastikan bahwa hanya calon-calon dengan integritas tinggi yang dapat memenangkan hati rakyat. Masyarakat harus berperan aktif dalam mengawasi jalannya Pilkada, menolak segala bentuk politik uang, dan mendorong mereka agar memilih berdasarkan rekam jejak dan kapabilitas calon.
Dalam upaya menciptakan demokrasi yang sehat dan pemilihan yang bersih, masyarakat harus mengambil sikap tegas terhadap politik uang. 'Serangan Fajar' atau praktik money politik telah merusak integritas proses pemilihan dan menghasilkan pemimpin yang tidak selalu berkompeten atau berintegritas. Mari kita bersama-sama edukasi masyarakat untuk mengatakan tidak pada money politik dan menghukum para kandidat yang nekat melakukannya dengan cara tidak memilih mereka.
Tidak ada yang gratis dalam politik. Semuanya akan diperhitungkan. Percayalah biaya yang yang telah dikeluarkan oleh seorang Paslon dalam upayanya mencapai kemenangan, pada giliranya nanti melalui berbagai cara, termasuk melalui jurus KKN akan mereka upayakan agar kembali modal, bahkan menghasilkan keuntungan materi yang lebih banyak. Begitu juga para paslon Pilkada yang hobinya menjual citra diri dan bukan menjual kompetensi. Yakinlah andaikan mereka terpilih, mereka nantinya akan lebih mengedepankan pencitraan ketimbang bekerja keras menyejahterakan rakyat di daerahnya.
Sungguh, saat ini Indonesia sangat membutuhkan hadirnya pemimpin mengutamakan kepentingan bangsa dan negara di atas kepentingan pribadi atau golongan. Mereka yang memiliki integritas dan etika, serta menjauhi cara-cara yang tidak terpuji seperti politik dagang sapi dan transaksi politik hanya untuk beroleh keuntungan materi.*
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H