Mohon tunggu...
Kholid Harras
Kholid Harras Mohon Tunggu... Dosen - Dosen Universitas Pendidikan Indonesia

Pemerhati pendidikan, politik, dan bahasa

Selanjutnya

Tutup

Hukum Pilihan

Drama Kasus Pegi Setiawan: Psikologi Forensik, IQ, dan Keadilan

11 Juli 2024   10:17 Diperbarui: 11 Juli 2024   13:51 41
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
 Tribunjakarta.com (tribunnews.com) 

Imbicile: IQ 30-40. Kemampuan kecerdasan setara dengan anak-anak berusia 3-7 tahun. Ia  dapat melakukan hal secara mandiri, tetapi tetap bergantung pada orang lain. Moron (mentally retarded): IQ 50-69. 

Orang ini memiliki kemampuan membaca, menulis, dan perhitungan sederhana. Namun biasanya disekolahkan di sekolah luar biasa (SLB). Dull (borderline): IQ 70-79. Ia berada di bawah kelompok orang normal. Orang ini bisa menempuh hingga level pendidikan tingkat SMP, tetapi dengan kesulitan menyelesaikan pelajaran. 

Selain itu, dengan capaian IQ tersebut menurut teori psikolinguistik juga menyoroti kemungkinan hambatan Pegi Setiawan dalam kemampuan berbahasa. Bahasa bukan hanya alat komunikasi, tetapi juga alat berpikir yang memungkinkan manusia untuk memproses informasi kompleks dan menyampaikan ide-ide secara efektif. 

Kemampuan bahasa yang baik cenderung berdampak positif pada kemampuan berpikir, sementara hambatan dalam bahasa dapat menghambat proses pemikiran kompleks dan abstrak.

Faktanya, usai Pegi Setiawan dibebaskan dari rumah tahanan Polda Jawa Barat, dirinya mampu menyampaikan rasa terima kasihnya kepada keluarga, tim pengacaranya, Presiden Joko Widodo, dan Presiden terpilih Pemilu 2024, Prabowo Subianto, tanpa kendala berarti. Bahasa sangat lancer dan komunikatif. 

Meskipun sorot matanya kadang-kadang terlihat kurang fokus di depan kamera wartawan, hal ini dapat dimaklumi mengingat Pegi Setiawan bukan seorang figur publik yang terbiasa berada di hadapan kerumunan massa.

Reza Indragiri Amriel, seorang ahli psikologi forensik, juga memberikan perspektif tambahan terkait kompleksitas kasus Pegi Setiawan. Ia menyoroti perbedaan dalam laporan visum kematian korban dan mempertanyakan kecocokan temuan-temuan forensik yang menunjukkan fungsi intelektual ambang atau IQ Pegi Setiawan yang dianggap "rendah". 

Selain itu, perilaku Pegi Setiawan selama pemeriksaan, seperti menggaruk-garuk kepala dan tangan, serta kesulitan dalam menjaga kontak mata dan merespons pertanyaan, menjadi bahan evaluasi yang penting dalam proses hukum.

Hasil praperadilan yang membebaskan Pegi Setiawan menandai sebuah putaran baru dalam kasus ini, dengan menegaskan bahwa penilaian terhadap seseorang harus dilakukan dengan obyektif dan komprehensif. Meskipun angka IQ-nya menjadi perdebatan, bukti-bukti yang berbasis sains tetap menjadi landasan yang penting dalam menentukan status hukum seseorang.

Sebagai kesimpulan, kasus Pegi Setiawan tidak hanya mencerminkan kompleksitas dalam sistem hukum Indonesia, tetapi juga menyoroti pentingnya mempertimbangkan berbagai aspek psikologis, kejiwaan, dan bahasa dalam proses penyelidikan dan pengadilan. 

Hasil dari kasus ini tidak hanya mempengaruhi kehidupan Pegi Setiawan sendiri, tetapi juga memberikan pelajaran berharga bagi masyarakat dan sistem peradilan untuk menilai dengan adil dan hati-hati setiap kasus yang serius.***

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun