Di mata komponis pejuang asli Betawi tersebut, tanpa keselamatan seorang pemimpin, Â tidak akan ada kemakmuran pada rakyatnya. Atas dasar itu Ismail Marzuki mengakhiri lirik lagunya dengan ajakan untuk menjalani pola hidup prihatin dan tidak melakukan tindakan korupsi: "'Lan taun hidup prihatin// Kondangan boleh kurangin korupsi jangan kerjain".
Pesan moral berikutnya yang juga disampaikan  oleh Ismail Marzuki adalah ajakan menjadikan Idul Fitri atau lebaran sebagai momentum untuk saling bermaafan. Bagi masyarakat muslim di Indonesia, Idul Fitri merupakan momentum untuk kembali merajut kembali jalinan tali silaturahim dan bermaaf-maafan, baik dalam konteks keluarga, masyarakat, maupun sesama elemen anak bangsa. Di hari spesial tersebut, berbagai kesalahan,  kekhilafan, kemarahan, dendam-kesumat yang pernah terjadi antar mereka harus di-lebar-kan atau  diselesaikan dan dituntaskan.Â
Sebagai informasi, kata 'lebaran' berasal dari bahasa Jawa yaitu dari kata 'bar', yang merupakan bentuk pendek dari kata 'lebar'  yang artinya  "sudah selesai". Dengan perkataan lain hari lebaran merupakan momentum yang dianggap paling tepat untuk melakukan rekonsiliasi dan meneguhkan  hubungan-hubungan antar sesama makhluk tuhan yang ditandai secara simbolik oleh kegiatan berjabatan tangan: Berjabatan tangan sambil bermaaf-maafan // Hilang dendam habis marah di hari lebaran.
Begitu kuatnya hubungan antara perayaan Idul Fitri dan silaturahmi dan saling bermaafan ini, hingga sebagian besar umat muslim Indonesia berusaha mengerahkan segala daya yang dimilikinya untuk mewujudkannya. Seperti banyak disinggung oleh sosiolog, syahdan karena alasan keinginan kuat untuk bersilaturahmi itulah  yang sejatinya memicu terjadinya migrasi besar-besaran masyarakat perkotaan menuju perdesaan, atau yang kita kenal dengan istilah mudik.
Itulah sedikitnya dua pesan moral dari lagu  "Selamat Hari Lebaran" ciptaan Imsail Marzuki. Yakni ajakan kepada para pemimpin negeri untuk seantiasa meneguhkan komitmennya dalam mewujudkan keadilan serta ajakan kepada seluruh anak bangsa untuk saling meminta dan memberikan permaafaan. Kita percaya, andaikan dua pesan moral Ismail Marzuki tersebut diapresiasi dengan baik oleh para pemimpin negeri ini dan seluruh elemen bangsa, insya Allah kemakmuran tidak hanya akan menjadi sekedar wacana dari masa ke masa. Begitu pula berbagai perbedaan dan perselisihan yang pernah terjadi tidak harus diselesaikan oleh fitnah, sumpah serapah, apalagi amuk massa.
Sayang, agaknya masih terlalu banyak para pemimpin kita dan juga elit politik bangsa ini yang masih belum bisa menangkap dan mengaktualisasikan pesan mulia dari Ismail Marzuki tersebut. Mudah-mudahan ketidakmampuan mereka tersebut bukan karena mereka tuli, tapi lebih karena masih rendahnya level apresiasi dan literasi mereka dalam menangkap tanda-tanda budaya;  hal yang jika mereka mau tentunya  masih bisa diperbaiki.***Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H