umat Islam di Indonesia dalam penetapan awal Ramadan 1445 H. Terjadinya perbedaan tersebut akibat perbedaan metode dalam penentuan hilal (bulan sabit): satu  menggunakan hisab (perhitungan matematis berdasarkan posisi matahari dan bulan) dan satu lain menggunakan metode rukyat (pengamatan langsung).
Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) menginformasikan  potensi terjadinya perbedaanMajelis Tarjih dan Tajdid Muhammadiyah misalnya, telah menetapkan awal Ramadan 1445 H dimulai pada Senin (11/3/2024) berdasarkan hasil perhitungan hisab hakiki wujudul hilal. Di sisi lain, Lembaga Falakiyah Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) melakukan perhitungan awal Ramadan 1445 H dengan pengamatan posisi hilal, memperkirakan awal Ramadan baru dimulai pada Selasa (12/3/2024).
Depag sendiri baru akan melakukan penetapan awal Ramadhan 1445 H setelah mereka menggelar sidang Isbat oleh "Tim Hisab dan Rukyat" Kemenag pada Minggu (10/3/2024).  Sidang tersebut tersebut akan  diikuti oleh Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (BMKG), dan undangan lainnya, seperti MUI dan Ormas-ormas Islam serta Komisi VIII DPR RI.
Terjadinya perbedaan dalam mengawali Ramadan di kalangan umat Islam Indonesia sesungguhnya merupakan perkara yang lazim. Berdasarkan sejumlah catatan Sejarah, perbedaan tersebut  bahkan telah terjadi  sejak jaman dahulu, selum kemerdekaan Indonesia.
Adalah Dr. Snouck Hurgonje, seorang peneliti dan orentalis  pada masa penjajahan Belanda, pernah menyatakan bahwa perbedaan penetapan awal tahun, lebaran, dan Idul Adha sering terjadi, bahkan di antara kampung-kampung berdekatan. Pemicunya apalagi kalau akibat digunakannya metode yang agaknya memang susah dipertemukan akibat masing-masing memiliki hujjah dan sandaran hukum yang dianggap kuat.
Sesungguhnya, dalam pemahaman fiqih Islam, otoritas untuk menetapkan awal Ramadan disepakati  pada penguasa negara. Penguasa negara memiliki peran sebagai penengah yang berwenang untuk menetapkan jatuhnya awal Ramadan. Meskipun ada berbagai pendapat dari para ulama, keputusan akhir tetap ada pada penguasa. Ihwal ini saat ini para ulama di berbagai negara padaumumnya telah menyepakatinya. Dan oleh karenanya, penting bagi kita untuk menyikapinya dengan sikap yang bijaksana dan penuh toleransi.
Ada sejumlah pertimbangan sebagai alasannya. Pertama, setiap lembaga atau mazhab memiliki metode tersendiri dalam menentukan awal Ramadan. Misalnya, Muhammadiyah dan Nahdlatul Ulama (NU) memiliki pendekatan yang berbeda, namun keduanya memiliki dasar keilmuan dan keyakinan. Oleh karena itu harus dipahami  bahwa perbedaan tersebut merupakan bagian dari kekayaan pemikiran Islam dan sesuatu yang dimungkinkan.
Kedua, dalam melihat perbedaan sekiranya ingin ada titik temu dan atau kesepahaman, lakukan dialog n perbedaan dengan bijaksana. Jangan hanya maunya berbicara saja, tetapi juga dengarkan pandangan orang lain. Edukasi tentang alasan di balik perbedaan dapat membantu memahami sudut pandang masing-masing. Kemudian yang juga harus dikedepankan, meskipun ada perbedaan, kita tetap bersatu dalam kebaikan.
Ketiga, semua orang  harus memiliki anggapan yang sama, yakni toleransi dalam hal perbedaan yang bersifat khilafiyah merupakan  kunci untuk menjaga kerukunan dan kedamaian dalam umat. Ramadan adalah waktu yang tepat untuk memperkuat tali persaudaraan dan meningkatkan ibadah kepada Allah SWT. Meskipun kita memulai atau mengakhirinya pada tanggal yang berbeda, yang terpenting adalah semangat dan tujuan bersama untuk mendekatkan diri kepada Allah SWT dan meningkatkan kualitas ibadah.
Substansi utama dari ibadah Ramadan adalah memenuhi perintah Allah SWT dan menguatkan kualitas spiritual serta moral kita. Dalam Al-Quran, Allah SWT berfirman: "Wahai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertakwa." (QS. Al-Baqarah: 183). Ayat ini  menggarisbawahi bahwa tujuan utama dari ibadah puasa Ramadan adalah untuk mencapai ketakwaan kepada Allah SWT.
Ketakwaan sendiri merujuk pada kesadaran dan kepatuhan kita terhadap segala perintah-Nya, serta menjauhi segala larangan-Nya. Puasa bukan hanya sekadar menahan diri dari makan dan minum, tetapi juga menjaga lisan dari perkataan yang buruk, menjaga mata dari hal-hal yang tidak layak dilihat, serta menjauhi perbuatan-perbuatan yang tidak diridhai Allah SWT.