Prabowo, yang merasakan dirinya dinilai rendah, merespon dengan kekecewaan. Dalam pidatonya, ia menyampaikan bahwa nilai 11 dari 100 adalah nilai sejahat-jahatnya sepanjang karir sekolahnya. Dia bahkan menyinggung pengalaman bersekolah di berbagai negara, menyatakan bahwa guru seburuk itu belum pernah ia temui.
Habiburokhman, Wakil Ketua Tim Kampanye Nasional (TKN) Prabowo-Gibran, memberikan pembelaan keras. Menurutnya, penilaian yang diberikan oleh Anies dan Ganjar dianggap sebagai olok-olok dan kekanak-kanakan. Habiburokhman menegaskan bahwa publik seharusnya melihat kinerja Prabowo sebagai Menteri Pertahanan secara obyektif, dan tidak hanya merespons penilaian anak-anak.
Dalam sorotan debat politik yang semakin panas, penilaian terhadap kinerja menjadi pusat perhatian semestinya disikapi dengan kejembaran. Apalagi manakala  para pengkrik mampu menunjukkan dasar-dasar argumentasi yang sahih berdasarkan fakta-fakta dan data yang dapat dipertanggungjawabkan. Manakala tejadi ketidaksepahaman 'ditangkis' saja dengan argumentasi dan data/fakta yang lebih sahih lagi. Jadi persoalannya menjadi "sesimpel itu" pinjam istilah Gibran yang notabene Cawapresnya Prabowo saat debat dengan seterunya Mahfud MD.
Kasus Prabowo, Anies, dan Ganjar menjadi gambaran bagaimana ketika kritik bertransformasi menjadi sebuah dilema. Bagaimana para pemimpin politik merespon dan meresapi kritik, serta bagaimana publik menanggapinya, menjadi aspek krusial dalam memahami dinamika politik di tanah air.
Bagaimana Publik Menyikapi Kritik?
Bagaimana publik menilai kritik dalam perdebatan politik? Kualitas argumen, etika komunikasi, dan kesesuaian dengan preferensi politik memegang peranan utama. Dalam panggung yang terpapar media dan konteks publik, resonansi dengan keinginan masyarakat juga menjadi penentu. Kehadiran Kritik dalam debat politik sejatinya  mengajak kita merenung tentang peran kritis dalam ruang publik. Sebuah panggung di mana kritik menjadi alat untuk pertumbuhan dan perubahan, atau pun senjata yang merusak harapan kesepakatan.
Penting bagi masyarakat untuk mengenali peran kritik sebagai pengembang pemahaman, pencetus solusi, dan pendorong dialog politik yang bermutu. Jadi baik pengkritik maupun pihak-pihak yang dikritik tak perlu memasukannya ke dalam hati, apalagi hingga merasa sakit hati serta curhat kepada publik dalam berbagai kesempatan. Percalalah publik akan menilainya bukan sebagai contoh seorang negarawan. ***
ÂBaca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H