Mohon tunggu...
Kholid Harras
Kholid Harras Mohon Tunggu... Dosen - Dosen Universitas Pendidikan Indonesia

Pemerhati pendidikan, politik, dan bahasa

Selanjutnya

Tutup

Cerita Pemilih

"Laku-Lajak" Gaya Debat Gibran dan Petuah B.J Habibie

23 Januari 2024   15:35 Diperbarui: 23 Januari 2024   15:39 497
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Debat kedua calon wakil presiden Pemilu 2024 yang berlangsung pada Ahad malam, 21 Januari 2024, di JCC Senayan, Jakarta, menciptakan gelombang perhatian di kalangan publik. Meskipun tema utama debat adalah pembangunan berkelanjutan, Sumber Daya Alam (SDA), lingkungan hidup, energi, pangan, agraria, masyarakat adat, dan desa, sorotan publik justru lebih terfokus pada perilaku 'laku-lajak' atau 'kontroversial' dari Gibran Rakabuming Raka, calon wakil presiden dari pasangan Prabowo Subianto.

Sejumlah pengamat politik menyatakan penampilan Gibran dalam debat tersebut dapat merugikan pasangan calon nomor 2 dan bahkan memicu pemilih untuk meninggalkan dukungannya. Kritik terutama ditujukan pada sikap kurang sopan yang ditunjukkan oleh Gibran terhadap lawan debatnya. Gimmick mencari sesuatu dan pertanyaan-pertanyaan dengan istilah yang dianggap tidak umum menjadi fokus utama pembicaraan di kalangan warganet.

Gibran dinilai tetap menggunakan pertanyaan-pertanyaan yang bersifat menjebak dengan istilah yang tidak umum, yang seharusnya tidak menjadi fokus dalam debat kebijakan. Penggunaan istilah asing seperti "greenflation" tanpa penjelasan memadai juga menciptakan kontroversi. Moderator yang meminta penjelasan atas istilah tersebut menunjukkan bahwa dalam debat capres-cawapres, penggunaan akronim dan istilah asing harus dijelaskan artinya. Namun, Gibran terkesan merendahkan dengan menyebutnya "sesimpel itu."  Lewat penggunaan kata "sesimpel" itu  banyak warganet yang menilai  arogansi Gibran terhadap Mahmud MD yang merupakan guru besar ilmu hukum dan Menkopolhukam dan juga sahabat ayahandanya sudah melewati batas. Oleh karena itu banyak yang menjuluki Gibran  "songong", "sombong" serta "tengil". 

Kritikan terhadap Gibran tidak hanya berkisar pada gaya bertanya yang dianggap "tricky" dan menunjukkan kesombongan, tetapi juga pada kurangnya fokus pada substansi kebijakan. Gibran terlihat lebih memilih menghadirkan strategi membingungkan lawan debat daripada membahas isu-isu kunci yang diangkat dalam debat tersebut.

Dalam konteks ini, Bahasa tubuh menjadi penting dalam menyampaikan pesan dan memahami respons audiens. Bahasa tubuh, sebagai bagian tak terucapkan dari komunikasi, memiliki keajaiban tersendiri dalam menyampaikan perasaan yang sebenarnya dan memberikan dampak lebih besar pada pesan yang ingin disampaikan. Meskipun komunikasi melibatkan kata-kata, isyarat nonverbal seperti nada suara, gerak tubuh, dan postur memainkan peran penting.

Pentingnya memahami Bahasa tubuh menjadi lebih jelas dengan adanya penilaian terhadap penampilan Gibran Rakabuming Raka dalam debat. Penggunaan gestur yang kurang sopan, gimmick mencari sesuatu, dan pertanyaan dengan istilah yang dianggap tidak umum menunjukkan kurangnya pemahaman akan Bahasa tubuh yang seharusnya digunakan untuk membangun citra positif.

Perilaku kontroversial dalam debat menciptakan dampak jauh lebih besar daripada sekadar pembicaraan di media sosial. Masyarakat cenderung menilai karakter dan etika calon wakil presiden dari tindakan dan perkataan mereka dalam debat. Oleh karena itu, penting bagi setiap calon untuk menghormati norma-norma etika debat, fokus pada substansi kebijakan, dan menjauhi taktik menjebak yang dapat merugikan pihak lain. Kesalahan dalam Bahasa tubuh dan perilaku yang kurang mendukung dapat berpotensi menurunkan simpati pemilih, khususnya mereka yang masih belum menentukan sikap (swing voters).

Dalam konteks dinamika politik, terutama melalui platform debat publik, pentingnya mengedepankan etika dan kecerdasan menjadi aspek krusial yang mempengaruhi persepsi publik. Kesempatan untuk berdebat adalah momen di mana calon pemimpin dapat menunjukkan kepintaran, integritas, dan kemampuan untuk memahami isu-isu kompleks.

 Allahyarham Presiden BJ Habibie pernah menyampaikan sebuah nasihat berharga, "Berdebatlah dengan orang-orang yang cerdas. Karena mereka akan mudah menerima pendapat kita manakala kita menunjukan sebuah argumentasi yang disertai fakta dan data."

Sebaliknya, berdebat dengan mereka yang mungkin kurang pandai  (alias bodoh) bisa menjadi tantangan tersendiri. Kata mantan Presiden RI ke-3 ini saat berdebat dengan orang yang kurang cerdas,  betapapun kita menjelaskan dengan ribuan fakta dan data, mereka cenderung membatahnya dengan seribu alasan, bahkan yang sama sekali tidak ada hubungannya. Oleh karena itu, kecerdasan dalam berdebat juga melibatkan kemampuan untuk berkomunikasi secara efektif dengan berbagai lapisan masyarakat, menjelaskan konsep-konsep kompleks dengan cara yang dapat dipahami oleh semua orang.

Pelajaran berharga di atas semestinya oleh para capres-cawapres  diaplikasikan pada konteks debat politik saat ini, khususnya dalam kasus-kasus di mana gimmick dan taktik mencari perhatian mungkin menjadi fokus. Mengedepankan etika dan kecerdasan dalam berdebat akan menciptakan citra pemimpin yang tulus, berkomitmen pada substansi, dan mampu berinteraksi dengan beragam pemilih.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerita Pemilih Selengkapnya
Lihat Cerita Pemilih Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun