Debat yang dilakukan oleh para politisi, misalnya yang dilakukan oleh para Capres-Cawapres, seringkali menjadi sorotan publik karena dianggap sering melanggar adab dan kesantunan, bahkan mencapai tingkat saling serang dan unjuk kehebatan. Fenomena ini menunjukkan beberapa kecenderungan yang perlu diperhatikan dalam konteks politik modern, dimana etika dan sopan santun terkadang terpinggirkan.
Dalam upaya untuk meraih dukungan publik, banyak politisi yang terlibat dalam serangan personal terhadap lawan-lawan politik mereka. Saling serang ini sering kali dimaksudkan untuk mengekspos kelemahan lawan atau bahkan merendahkan mereka. Â Debat politik sering dipenuhi dengan penggunaan bahasa yang kasar dan merendahkan.
Sikap ini menciptakan atmosfer debat yang tidak sehat dan menggoyahkan etika berdiskusi. Selain penggunaan bahasa yang kasar dapat menurunkan kualitas percakapan dan memicu polarisasi di antara pendukung.
Saat berdebat para politisi tersebut terkadang lebih mengedepankan retorika dan menciptakan efek emosional di kalangan pemilih daripada memberikan argumen dan solusi substansial. Fokus pada retorika dan emosi dapat menciptakan ketegangan tanpa memberikan kontribusi signifikan pada substansi diskusi.
Kemudian yang juga membuat kita miris, mereka juga kerap menggunakan taktik pemalsuan fakta atau informasi semata-mata hanya  untuk memenangkan argumen. Juga terlalu fokus pada isu-isu personal atau skandal daripada membahas isu-isu substansial dan kebijakan publik. Padahal taktik-taktik  seperti ini dapat merusak kepercayaan masyarakat terhadap informasi politik.
Belajar dari Tradisi Pesantren
Sesungguhnya  prilaku perdebatan yang buruk seperti digambarkan di atas tidak harus terjadi andaikan para politisi tersebut, khususnya yang pernah belajar di pesantren atau lembaga pendidikan Islam, menggunakan pengalamannya. Mengingat tradisi "Soal-Jawab" atau "munarah" dalam sejarah pemikiran Islam di Indonesia mencerminkan keberlanjutan semangat dialog, perdebatan, dan penelitian yang telah menjadi bagian integral dari keilmuan Islam.
Tradisi ini memainkan peran kunci dalam membentuk pemikiran Islam di Indonesia dan memperkaya intelektualitas umat Muslim. Di sini, mereka berkumpul untuk membahas isu-isu keagamaan dan keilmuan secara lebih luas, mulai dari aspek sosial hingga teologi. Majelis ini menciptakan platform terstruktur untuk pertukaran ide dan peningkatan pemahaman.
Dalam konteks tersebut, pesantren sebagai institusi pendidikan Islam tradisional, memegang peran sentral dalam mewujudkan tradisi "Soal-Jawab." Di lingkungan pesantren, para santri diajak untuk terlibat dalam diskusi, tanya jawab, dan perdebatan dengan para kyai atau pemimpin pesantren serta guru-guru mereka. Dalam tradisi "Soal-Jawab" melibatkan studi dan penafsiran kitab-kitab klasik Islam, yang sering dikenal sebagai "kitab kuning" seperti tafsir, hadis, fiqh, dan ushul fiqh.
Tradisi ber-"Soal-Jawab" membuka ruang bagi proses ijtihad atau usaha pemikiran independen, serta qiyas atau analogi hukum, di antara para ulama. Melalui perdebatan dan diskusi intensif, mereka mencari pemahaman yang lebih mendalam tentang hukum Islam dan bagaimana mengaplikasikannya dalam konteks lokal. Tradisi ini memfasilitasi pengembangan pemikiran hukum yang adaptif dan kontekstual.
Selain itu, Â dalam tradisi ini menciptakan tantangan dan kesempatan bagi para ulama untuk menyelaraskan ajaran Islam dengan konteks budaya lokal. Para ulama diajak untuk merenungkan dan menyesuaikan pemahaman Islam agar dapat hidup harmonis dalam masyarakat Indonesia yang beragam budaya. Ini memperkaya pemikiran Islam dengan perspektif yang kontekstual dan relevan secara sosial.
Dalam perkembangannya, tradisi ber-"Soal-Jawab" tidak hanya bertahan tetapi juga berkembang dalam konteks pendidikan Islam di Indonesia. Melalui penyesuaian dengan teknologi modern, tradisi ini ditemukan dalam bentuk seminar, konferensi, dan platform daring. Meskipun berubah dengan waktu, esensi tradisi ini tetap memberikan kontribusi signifikan terhadap perkembangan pemikiran Islam di Indonesia.
Adab Berdebat
Sebagai warisan intelektual yang berkesinambungan, tradisi "Soal-Jawab" terus memainkan peran penting dalam membentuk pemikiran dan keilmuan Islam di Indonesia. Tradisi "soal-jawab" atau munarah dalam pemikiran Islam di Indonesia mencerminkan semangat dialog, perdebatan, dan penelitian yang menjadi ciri khas dalam perkembangan keilmuan. Dalam menjalankan tradisi ini, terdapat adab-adab yang harus dijunjung, mencerminkan nilai-nilai etika dan sopan santun dalam keilmuan Islam.
Pertama, dalam adab bertanya, seorang peserta disarankan untuk bertanya dengan sopan dan tulus. Sikap yang menunjukkan ketidaksetujuan atau tantangan secara kasar sebaiknya dihindari. Selain itu, pertanyaan sebaiknya tidak merendahkan atau mengejek. Sebuah pertanyaan seharusnya diajukan dengan penuh perhatian, menunjukkan keinginan yang sungguh-sungguh untuk memahami.
Kedua, adab menjawab menekankan pentingnya memberikan jawaban dengan jelas dan tulus. Jika seseorang tidak mengetahui jawaban atas suatu pertanyaan, lebih baik mengakui ketidaktahuan daripada memberikan jawaban yang tidak benar. Sikap defensif atau merendahkan sebaiknya dihindari, dan terbuka terhadap pemikiran dan pertanyaan orang lain.
Pada tahap ketiga, adab pendengar menekankan pentingnya mendengarkan pertanyaan atau jawaban dengan penuh perhatian. Interupsi sebaiknya dihindari, dan orang sebaiknya menunggu hingga pembicara selesai berbicara sebelum memberikan tanggapan. Hindari juga menghakimi atau merendahkan orang lain berdasarkan pertanyaan atau jawaban mereka.
Adab keempat berkaitan dengan diskusi, di mana kesopanan harus dijaga dan pendapat orang lain dihormati, meskipun ada perbedaan pandangan. Perdebatan sebaiknya tidak bersifat pribadi atau emosional, fokus pada substansi argumen, bukan pada karakter individu.
Adab kelima berkaitan dengan kritik, di mana kritik sebaiknya disampaikan dengan bahasa yang sopan dan santun. Hindari penggunaan kata-kata kasar atau merendahkan, dan gunakan bahasa yang bersifat konstruktif.
Keenam, adab kesantunan berbahasa menekankan penggunaan bahasa yang sopan dan hormat. Hindari kata-kata kasar atau merendahkan, serta pembicaraan yang bersifat merendahkan kelompok atau individu tertentu.
Adab ketujuh menyoroti pentingnya menghormati ilmuwan dan ulama. Pengetahuan dan keilmuan orang lain harus dihormati, dan sebaiknya tidak merendahkan atau meremehkan ilmuwan atau ulama, meskipun terdapat perbedaan pendapat.
Akhirnya, adab kedelapan menekankan pentingnya menerima kritik dengan lapang dada dan menggunakannya sebagai kesempatan untuk belajar dan berkembang. Hindari sikap defensif atau merasa terancam oleh kritik konstruktif. Â
Dengan mematuhi adab-adab ini, diharapkan tradisi "soal-jawab" dapat terjaga sebagai lingkungan diskusi ilmiah yang sehat, produktif, dan penuh dengan etika. Jika santri-santri di pesantren bisa, mestinya para politisi juga bisa melakukannya pula.**
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H