Masyarakat yang konservatif atau memiliki nilai-nilai agama yang kuat mungkin merasa terhubung dengan pasangan capres yang menggunakan kata AMIN dalam akronimnya, terutama jika kampanye tersebut mempromosikan nilai-nilai yang sejalan dengan keyakinan agama mereka. Sebaliknya, ada kemungkinan bahwa sebagian masyarakat menilai penggunaan kata AMIN sebagai sesuatu yang mengarah pada penyalahgunaan nilai-nilai agama. Jika terdapat persepsi bahwa capres menggunakan unsur keagamaan untuk kepentingan politik semata, hal ini dapat memicu reaksi negatif dari sebagian masyarakat.
Selain itu penggunaan akronim AMIN juga akan senantiasa terkait dengan konteks politik dan sosial. Misalnya isu-isu yang tengah berkembang pada saat kampanye, juga dapat mempengaruhi persepsi masyarakat terhadap kata AMIN. Keberhasilan pasangan capres dalam menanggapi isu-isu tersebut dapat memperkuat atau melemahkan dukungan masyarakat.
Dengan demikian sikap masyarakat terhadap akronim AMIN sesungguhnya bersifat kompleks dan dapat dipengaruhi oleh berbagai faktor. Faktor komunikasi, kebijakan yang diusung, dan rekam jejak pasangan calon dapat menjadi penentu dalam membentuk pandangan masyarakat terhadap kata AMIN sebagai akronim. Oleh karena itu, bagi Timses seteru tidak perlu hingga kebakaran jenggot menyikapinya. Apalagi menjadikannya sebagai bahan candaan. Ingat pepatah bijak yang berbentuk pantun ini: “Siapa menyebar angin, dia akan menuai badai. Siapa yang menjadikan candaan akronim Amin, dia akan terkena akibatnya”. ***
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H