Sebagaimana diwartakan berbagai media, usai Prabowo menyerahkan lima unit pesawat terbang NC-212i kepada TNI Angkatan Udara (AU) di Lanud Halim Perdanakusuma, Senin pagi (12/12/2023), ia mempersilakan awak media untuk bertanya. Namun Capres no urut 02 dalam Pilpres 2024 ini buru-buru meminta agar tidak ada pertanyaan soal debat pertamanya yang akan dikuti malam hari itu. "Pertanyaannya soal ini ya (penyerahan pesawat-pen), dan soal dirgantara. Jangan nanya-nanya debat ya. Debat, kumaha engke!," kata Prabowo sambil tertawa.
Pernyataan “kumaha engke” yang merupakan kosakata bahasa Sunda yang diucapkan Prabowo tersebut bermakna “bagaimana nanti” sebenarnya cukup menarik dibahas dalam konteks komunikasi politik. Namun berbagai pernyataan kontroversial Prabowo dalam forum debat dan ujaran “ndasmu etik” pasca debat dianggap lebih menarik ketimbang “kumaha engke”. Oleh karenanya pernyataan “ndasmu etik” atau pernyataan yang dinilai nyinyir Prabowo di forum debat, yang akhirnya lebih menjadi perhatian publik.
Pernyataan “kumaha engke” yang diujarkan Prabowo kepada para wartawan sesungguhnya bisa memunculkan berbagai penafsiran. Pertama, pernyataan tersebut bisa dimaknai cerminan sikap overconfidence atau terlalu percaya diri dari seorang Prabowo Subianto. Pemaknaan semacam itu didasari atas sejumlah fakta. Misalnya, mungkin Prabowo sudah merasa terlalu familiar atau ahli dalam menghadapi perdebatan Capres dengan segala pernik masalahnya.
Debat Pilpres 2024 baginya merupakan kali ketiga. Pada Pilpres 2014 dan 2019 ia pernah mengikutinya. Oleh karena itu, karena sudah berkali-kali mengalaminya, mungkin saja Prabowo Subianto merasa tidak harus ‘riweuh’ atau repot-repot melakukan persiapan dan atau serius sekali menghadapi momen tersebut.
Kedua pernyataan “kumaha engke” Prabowo Subianto itu bisa juga dimaknai sebagai strategi mental dirinya untuk “mengatasi kecemasan” atau tekanan terkait dengan tugas yang akan dia jalani dalam Debat Pilpres tersebut. Beberapa faktor yang melandasi tafsiran di atas antara lain, pertama forum debat Pilpres formatnya boleh sama tetapi zaman sudah mengubah isu, substansi dan para kompetitor atau para seterunya. Isu debat pada Debat Pilpres 2024 lebih luas dan lebih kompleks.
Misalnya, selain tema-tema yang berkaitan dengan pemerintahan, juga ada isu lingkungan, ekonomi kerakyatan, ekonomi digital, investasi pajak, dan pembangunan berkelanjutan, serta ihwal isu kontroversial seputar proyek prestisius IKN-nya Jokowi. Begitu pula para seteru debat Pilpres yang akan dihadapi Prabowo Subianto. Ada dua sosok yang tidak bisa dipandang sebelah mata baik wawasan, pengalaman maupun kompetensinya, yakni Anies Baswedan serta Ganjar Pranowo.
Begitu juga kontroversi keputusan MK yang mengantarkan Gibran Rakabuming akhirnya menjadi Cawapresnya, isu seputar politik dinasti menyertainya, serta faktor usia Prabowo yang sudah tidak lagi muda, juga akan sedikit banyak membuat Prabowo Subianto wajar jika mengalami kecewaman dalam menghadapi arena Debat Pilpres. Dengan demikian, pernyataan “kumaha engke” bisa dimaknai cara untuk menjaga suasana hati atau membangun rasa percaya diri seorang Prabowo Subianto sebelum menghadapi tantangan Debat Pilpres pada malam harinya.
Manakah dari kedua penafsiran tersebut yang paling tepat, tentu Capres pasangan nomor 02 sendiri yang paling mengetahuinya. Meskipun demikian, karena bahasa merupakan "arbitrer" atau hubungan antara kata atau simbol dalam bahasa dengan objek atau konsep yang mereka wakili bersifat sewenang-wenang, dan juga juga bersifat konvensional atau kesepakatan, maka khalayak dapat membuat tafsiran terhadap ujaran Prabowo yang ambigu tersebut yang dianggapnya tepat. Karena memang bahasa itu sendiri memiliki sifat fleksibel dan terbuka terhadap hadirnya interpretasi.
Aapapun alasannya, ujaran yang ambigu dari seorang tokoh politik lebih cenderung akan merugikan dirinya. Misalnya, dapat menciptakan ketidakpastian dalam politik serta membuat calon pemilih dan pemangku kepentingan mungkin kesulitan memahami pandangan atau rencana konkret yang diusulkan. Selain itu, ujaran yang ambigu kadang-kadang dapat menimbulkan ketidakpercayaan dari pihak yang mendengarkan, terutama jika publik merasa bahwa tokoh politik tersebut tidak transparan atau menghindari tanggung jawab.
Sebagai mantan petinggi TNI yang sebagian besar masa hidupnya di wilayah Jawa Barat dan akrab dengan budaya Sunda, akan lebih arif dan bijaksana jika Prabowo Subianto sebelum mengucapkan “kumaha engke” juga memikirkan dampaknya yakni “engke kumaha”. Frasa tersebut yang dalam bahasa Sunda bermakna “nanti bagaimana” yang merupakan pertanyaan retoris yang menunjukkan sikap khawatir sekaligus antisipatif, serta mencerminkan kehati-hatian dan perhatian terhadap kemungkinan-kemungkinan, termasuk kemungkinan hal-hal yang tidak diinginkan. Dalam hal ini, bagaimana menghadapi dan mengantisipasi segala tiba dari debat Pilpres yang akan dilakukannya untuk kesekian kalinya tersebut.
Yang ideal menurut para sesepuh Sunda, dalam hidup ini jangan hanya selalu mengedepankan “kumaha engke” atau “bagaimana nanti”. Gunakan juga “engke kumaha” atau “nanti bagaimana” sebagai penyeimbangnya. Dan itu merupakan warisan kearifan lokal orang Sunda. Tidak semua persoalan bangsa dan negara yang kondisinya saat ini centang-perenang dan sedang menghadapi krisis multidimensi ini, disikapi dengan selalu mengatakan “kumaha engke”. Gunakan juga petanyaan “engke kumaha”. Ini penting dicamkan. Karena bukankah dalam perjalanan hidup Anda kerap menuai kegagalan, Jenderal? **
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H