Debat Pilpres 2024 yang telah mulai pada Selasa (12/12/2023) Â menyajikan momen menarik. Tidak hanya terbatas pada durasi 120 menit di atas panggung televisi, tetapi juga meluas ke arena berbagai platform Media Sosial, seperti Twitter, Facebook, TikTok, dan platform lainnya. Beberapa topik yang menjadi trending di Twitter antara lain #DebatCapres, Gemoy, MKMK, No 2, No 3, Wowo, dan Orda.
Debat capres dan atau cawapres  menjadi sangat krusial mengingat kondisi objektif saat ini karena konon  masih banyak pemilih masih merasa ragu, serta adanya persaingan ketat antar-pasangan Capres, serta ketika kesetiaan kepada partai mulai meluntur. Merujuk hasil survei, sebanyak 28,7% pemilih konon masih bimbang, dan mayoritas dari mereka ternyata berasal dari kalangan pemilih muda yang jumlahnya  mencapai 56,45% dari total pemilih.
Pergeseran ini telah  menciptakan kebisingan politik yang turun merambat tapi pasti, dari panggung debat yang digelar dan disiarkan oleh televisi ke berbagai platform media sosial. Oleh karena itu tidak heran jika banyak  kubu capres dengan cerdik mengunggah potongan debat yang mendukung naratif mereka sendiri, dengan tujuan utama mempromosikan 'kehebatan' calon presiden masing-masing saat debat. Padahal baik generasi milenial maupun generasi Z menurut McKinsey tidak mudah terpengaruh oleh informasi yang berseliweran di media sosial. Alih-alih mereka merupakan generasi yang lebih suka memegang kendali atas keputusan mereka dan tidak mudah percaya pada informasi yang tidak terverifikasi.
Fenomena terjadinya "migrasi" dari panggung perdebatan dari layar kaca siaran televisi ke berbagai platform media sosial pasca debat berlangsung tentunya merupakan salah satu tantangan Tim Sukses Capres-Cawapres yang berlaga pada perhelatan Pilpres 2024. Yakni  bagaimana meminimalisir ekses-ekses negatif  yang mennertainya.
Pertama, perpindahan panggung ke media sosial membuka ruang bagi penyebaran informasi yang tidak terverifikasi atau bahkan disinformasi. Tim Sukses harus mampu mengendalikan naratif yang berkembang di platform tersebut dan memastikan informasi yang disajikan adalah akurat dan tidak merugikan citra calon. Media sosial beroperasi dalam lingkungan yang dinamis dengan perubahan cepat. Konten yang viral dapat mempengaruhi persepsi publik dengan sangat cepat. Tim Sukses perlu memiliki strategi yang responsif dan adaptif untuk menjaga keberlanjutan kampanye positif di tengah dinamika ini.
Kedua, media sosial cenderung menciptakan ruang yang lebih pada terjadinya polarisasi,  karena  pendukung dan kritik dapat bersinggungan secara langsung. Tim Sukses harus bekerja keras untuk meminimalisir konflik dan mempromosikan dialog konstruktif agar tidak terjadi pemberian label atau stigmatisasi terhadap kelompok tertentu. Selain itu, dalam lingkungan media sosial, pesan dan naratif dapat dengan mudah terdistorsi atau bahkan disalahartikan. Tim Sukses perlu memastikan bahwa pesan-pesan calon tidak kehilangan esensinya dan tidak diubah oleh pihak-pihak yang tidak bertanggung jawab.
Ketiga, generasi muda cenderung lebih aktif di media sosial, dan pengaruh mereka dapat signifikan dalam menentukan arah kampanye. Survei Alvara Research Center mencatat bahwa 34% generasi muda ketagihan internet, dengan 20,4% di antaranya menghabiskan lebih dari 7 jam sehari bersama internet. Fakta ini sesuai dengan survei CSIS 2023 yang menunjukkan bahwa media sosial kini menjadi sumber utama informasi bagi generasi muda, mengalahkan televisi. Fakta ini harus menjadi catatan Tim Sukses harus memahami dinamika dan preferensi generasi muda untuk merancang kampanye yang relevan dan efektif di berbagai platform Medsos yang mereka.
Dalam menghadapi berbagai tantangan tersebut, Tim Sukses Capres-Cawapres harus mengembangkan strategi yang mencakup monitoring media sosial secara aktif, berpartisipasi dalam dialog online, dan membangun kehadiran digital yang kuat. Kesadaran akan potensi risiko dan kemampuan untuk beradaptasi dengan perubahan dinamis di media sosial akan menjadi kunci keberhasilan dalam menghadapi Pilpres 2024.
Selain itu, Â Timses Pasangan Capres-Cawapres juga harus berhati-hati dalam menggunakan lembaga survei (apalagi hasil pesanannya sendiri) sebagai alat untuk menyampaikan pesan kemenangan, menciptakan citra positif, dan kenyamanan bagi pemilih. Hal tersebut karena para pemilih muda mulai muak dengan lembaga survei yang terkesan menjadi konsultan pemenangan capres, dan mereka lebih memilih mencari informasi di media sosial.
Akhirnya, harus diakui debat Pilpres 2024 telah  menciptakan paradigma baru dalam politik Indonesia: berbagai platform media sosial menjadi panggung kedua namun utama bagi perdebatan dan promosi politik antar pasangan Capres-Cawapres. Dalam konteks ini generasi muda tentu akan menjadi pemain kunci utamanya, karena mereka merupakan kelompok yang cerdas dan kritis, menuntut integritas dan kredibilitas dari calon pemimpin mereka. Dengan demikian cara dan modus-modus pencitraan gaya lama dan atau penggorengan seteru yang menistakan akal dan logika, tentu akan dirasakan basi oleh generasi milenial dan generasi Z saat ini.***
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI