Menurut Transparency International, capaian Indeks Persepsi Korupsi (IPK)  Indonesia pada tahun 2022 yang dirilis pada awal 2023, tercatat sebesar 34 dari 100. Capaian tersebut telah  menempatkan Indonesia pada  peringkat ke-110 dari 180 negara. Artinya juga,  bahwa kejahatan korupsi di negeri ini telah menjadi penyakit kronis yang merusak fondasi moral dan ekonomi negara. Spektrumnya telah merambah ke segala arah birokrasi dan kerugian yang telah ditimbulkannya sudah sangat luar biasa.
Fenomena semakin maraknya kejahatan korupsi di negeri ini terasa semakin meresahkan dan menyesakan dada, manakala diikuti oleh kecenderungan terjadi banalisasi. Dalam konteks korupsi, banalisasi adalah munculnya anggapan dan atau persepsi bahwa praktik-praktik kejahatan  korupsi dianggap biasa dan diterima sebagai bagian dari rutinitas politik. Oleh karenanya, tidak heran jika seorang eks koruptor di negeri ini tanpa harus merasa malu dan risih ikut mencalonkan diri dalam Pemilu atau Pilkada. Merujuk data KPU, para eks koruptor yang namanya tercatat sebagai caleg pada sejumlah Parpol mencapai puluhan. Dan publik kebanyakan  seolah memaklumninya.
Banalisasi Korupsi
Seperti sudah disinggung, banalisasi terhadap kejahatan korupsi merujuk pada pandangan masyarakat yang menganggap praktik korupsi sebagai hal yang umum dan tidak begitu mencolok. Meskipun IPK Â menunjukkan tingkat korupsi yang tinggi, banyak kalangan masih melihat korupsi sebagai "kebiasaan" yang sulit dihilangkan. Politisi dan partai politik seringkali menjadi pelaku utama banalisasi ini dengan menciptakan lingkungan politik yang mendukung praktik korupsi, merendahkan dampak buruknya, dan menciptakan rasa kebal terhadap hukuman.
Banalisasi terhadap kejahatan korupsi sesungguhnya  memiliki dampak serius terhadap berbagai aspek masyarakat dan tatanan pemerintahan. Berikut beberapa dampak utama dari banalisasi terhadap kejahatan korupsi. Pertama, banalisasi korupsi akan meruntuhkan nilai-nilai etika dan moral dalam masyarakat. Ketika korupsi dianggap sebagai sesuatu yang biasa dan diterima, maka norma-norma moral dan integritas dapat melemah. Masyarakat menjadi kurang peka terhadap konsekuensi negatif dari korupsi.
Kedua, banalisasi korupsi merusak kepercayaan publik terhadap institusi pemerintah dan para pejabatnya. Ketika korupsi dianggap sebagai praktik yang wajar, kepercayaan masyarakat terhadap integritas dan transparansi pemerintah menurun, menghambat proses pembangunan dan pengembangan. Ketiga, banalisasi korupsi merusak tata kelola pemerintahan yang baik. Praktek korupsi yang diterima sebagai norma dapat menciptakan lingkungan di mana keputusan-keputusan penting diambil berdasarkan kepentingan pribadi atau kelompok tertentu, bukan berdasarkan kepentingan publik.
Ketiga, praktik-praktik kejahatan  korupsi yang kemudian menjadi banal akan  menyebabkan pemborosan sumber daya negara. Dana yang seharusnya digunakan untuk pembangunan dan pelayanan publik dapat teralokasikan dengan tidak efisien, karena sebagian besar digunakan untuk kepentingan pribadi para pelaku korupsi. Keempat, kejahatan korupsi yang banal dapat merugikan upaya pembangunan berkelanjutan. Dana yang seharusnya digunakan untuk investasi dalam infrastruktur, pendidikan, dan kesehatan dapat disalahgunakan, menyebabkan terhambatnya pertumbuhan ekonomi dan peningkatan kesejahteraan masyarakat.
Kelima, banalisasi korupsi dapat meningkatkan ketidaksetaraan sosial, karena sumber daya yang seharusnya merata terkonsentrasi pada kelompok-kelompok yang terlibat dalam praktek korupsi. Ini dapat memperburuk kesenjangan ekonomi dan sosial di masyarakat. Kemudian keenam, dengan adanya pandangan bahwa korupsi adalah hal yang biasa, lembaga penegak hukum seperti KPK dapat mengalami tekanan politik dan hambatan dalam menjalankan tugasnya. Ini bisa merugikan upaya pemberantasan korupsi dan memberikan keleluasaan bagi pelaku korupsi untuk terus beroperasi
Strategi Politik Cari Aman
Strategi politik cari aman merupakan praktik di mana politisi dan partai politik berusaha melindungi diri mereka sendiri dari dampak negatif yang diakibatkan oleh penegakan hukum terhadap kasus korupsi. Hal ini sering terjadi ketika politisi atau anggota partai terlibat dalam skandal korupsi, dan langkah-langkah tertentu diambil untuk meminimalkan risiko politik dan hukum. Dalam beberapa kasus, hal ini mencakup perlindungan kolektif oleh anggota partai, menghambat upaya lembaga anti-korupsi, atau bahkan mencoba melemahkan lembaga tersebut secara sistematis.
Strategi politik cari aman, yang melibatkan upaya politisi untuk melindungi diri mereka sendiri atau kelompok mereka dari dampak negatif akibat skandal atau tindakan korupsi, dapat dipicu oleh sejumlah faktor. Antara lain akibat ketidakstabilan politik, ketidakjelasan aturan dan hokum, adanya kepentingan pribadi atau kepentingan kelompok, budaya politik koruptif, serta bias juga akibat suburnya kultur kepemimpinan yang tidak berkualitas. Tentu saja berbagai faktor tersebut dalam praktiknya akan saling berkelindan. Oleh karena itu untuk menangani  strategi politik cari aman ini memerlukan reformasi sistemik, penegakan hukum yang tegas, dan peningkatan kesadaran masyarakat tentang pentingnya etika dan transparansi dalam politik.