PISA (Programme for International Student Assessment) merupakan kegiatan survei tiga tahunan terhadap siswa berusia 15 tahun di sejumlah negara, termasuk Indonesia. Survey  menilai capaian skor para siswa  lmemperoleh pengetahuan dan keterampilan kunci yang penting untuk berpartisipasi penuh dalam masyarakat. Penilaian berfokus pada kemampuan membaca, matematika, sains, dan domain inovatif (pada tahun 2018, domain inovatif adalah kompetensi global), serta kesejahteraan siswa.
Seperti bisa diduga, rilis penilaian PISA siswa Indonesia tahun ini belum banyak  berubah.  Padahal saat rilis PISA tahun 2020 kita yang hasilnya jeblok, Nadiem Makarim mengatakan akan menerapkan lima strategi untuk mengereknya. Kelima strategi tersebut:
- Transformasi kepemimpinan sekolah: Kemendikbud-Ristek  akan memilih generasi baru kepala sekolah dari guru-guru terbaik dan mengembangkan marketplace bantuan operasional sekolah (BOS) online untuk meningkatkan kualitas pembelajaran.
- Transformasi pendidikan dan pelatihan guru: Kemendikbud-Ristek  akan melaksanakan transformasi Pendidikan Profesi Guru (PPG) untuk menghasilkan generasi pengajar baru dan mendorong munculnya 10 ribu sekolah penggerak yang akan menjadi pusat pelatihan guru.
- Penyederhanaan kurikulum: Kemendikbud-Ristek  akan menyederhanakan kurikulum sehingga lebih fleksibel dan berorientasi pada kompetensi, serta melakukan personalisasi dan segmentasi pembelajaran berdasarkan asesmen berkala.
- Menerapkan standar penilaian global: Kemendikbud-Ristek  akan menggunakan Asesmen Kompetensi Minimum (AKM) untuk mengukur kinerja sekolah berdasarkan literasi dan numerasi siswa.
- Peningkatan kualitas pendidikan karakter: Kemendikbud-Ristek  akan meningkatkan kualitas pendidikan karakter siswa dengan mengintegrasikan pendidikan karakter ke dalam kurikulum.
Hasilnya? Ternyata Capaian PISA para siswa kita tahun 2022 yang baru saja dirilis kemarin dinilai lebih rendah dari hasil PISA 2020. Apa gak berbahaya tah?
Sebenarnya hasil PISA tahun ini yang jeblok sdh bisa diduga. Pandemi dengan  lost learning-nya, penerapan "kurikulum merdeka" yg TIDAK  membuat dunia pendidikan  merdeka, serta berbagai kebijakan mas Mentri kita yg tdk jelas arahnya, merupakan salah tiga musababnya.
Mungkin kita perlu mendiskusikan ulang ihwal PISA ini: konsep dasar, metodologi, relevansi serta keterkaitannya dengan pendidikan Indonesia. Juga bagaimana kita menawarkan tandingan pengukuran literasi ala Indonesia. Dengan begitu, kita tidak terus menerus menjadi bulan-bulanan dan terus kebakaran jenggot  saat membaca rilis penilaian lembaga tsb.
Sejak PISA melakukan surveynya, capaian para siswa Indonesia selalu pada level rendah. Tapi progres studi mereka pada umumnya "baik-baik  saja". Bahkan banyak yg berhasil meraih prestasi pada level internasional. Sebagian besar mereka juga bisa meraih gelar sarjana. Oleh karenanya, kita sikapi rilis hasil PISA tahun ini sewajarnya saja. Tidak harus panik juga. Ini perlu untuk menghibur diri.
Kita semua sepakat bahwa kepemilikan kemampuan literasi sangat penting bagi masa depan sebuah bangsa. Dengan kompetensi tersebut akan dapat membantu memberantas kemiskinan, mengurangi angka kematian anak, pertumbuhan penduduk, dan menjamin pembangunan berkelanjutan, dan terwujudnya perdamaian. Tingkat literasi yang tinggi akan menciptakan generasi muda yang cerdas, memiliki daya pikir kritis, lebih kreatif dan inovatif. Dengan itu semua mereka akan lebih  terarah kepada budaya intelektual dari pada budaya hiburan yang dangkal.
Saya hanya berharap  rezim  berganti, kemudian  diisi oleh mereka yg benar-benar memiliki konsep peta jalan arah pendidikan yg jelas dan terukur  memiliki kesungguhan  merealisasikan perkara peningkatan literasi bangsa ini. Berhentilah terus berwacana tanpa upaya-upaya nyata atau terus-terusan membangun  citra.**
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H