Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), politisasi adalah "hal yang membuat keadaan (perbuatan, gagasan, dan sebagainya) bersifat politis". Dalam konteks politik, politisasi berarti menjadikan segala sesuatu menjadi politik atau menjadikan suatu hal bersangkutan dengan politik . Politisasi dapat terjadi ketika suatu kegiatan atau perbuatan dijadikan isu politik. Namun, politisasi juga dapat memiliki konotasi negatif ketika digunakan untuk menggambarkan cara-cara berpolitik yang tidak etis dan atau  pragmatis.
Komisioner KASN (Komisi Aparatur Sipil Negara), Arie Budiman, menyatakan kekhawatiran terjadinya politisasi oleh kalangan guru dan dosen dalam jumlah yang signifikan pada Pemilu dan Pilkada 2024. Kekhawatiran Arie Budiman, muncul berdasarkan pengalaman Pemilu dan Pilkada tahun 2019. Â Saat itu, katanya, pelanggaran netralitas ASN, terutama ASN dengan jabatan fungsional, mencatatkan angka tertinggi, yakni 26,5 persen dari total pelanggar. Dalam jabatan fungsional, guru dan dosen menjadi kelompok yang paling sering melanggar. Jumlahnya mencapai 70 persen.
Kekhawatiran ihwal politisasi dan pelanggaran netralitas oleh guru dan dosen pada Pemilu 2024 memiliki sejumlah hujah. Antara lain, guru dan dosen dinilai memiliki daya tarik baik dari segi kuantitas maupun kualitas di mata Parpol atau para kandidat yang berlaga pada kontestasi Pilpres atau Pilkada. Dari sisi kuantitas, jumlah guru dan dosen sangat besar. Pada tahun ajaran 2022/2023 jumlah mereka  mencapai 4.559.390 orang di seluruh Indonesia. Sedangkan dari sisi kualitas, mereka memiliki kemampuan dan akses yang dapat dimanfaatkan sebagai pengepul suara.
Selain itu, salah satu keunggulan yang dimiliki guru dan dosen adalah interaksi mereka dengan para siswa atau mahasiswa yang memiliki hak pilih. Data KPU menunjukkan sebanyak 46.800.161 pemilih Pemilu 2024 adalah generasi Z, sebagian besar berada dalam fase pendidikan menengah dan perguruan tinggi.  Guru dan dosen juga dikenal memiliki citra terpuji di mata publik dan sering terlibat dalam kegiatan kemasyarakatan. Dengan demikian preferensi politik guru dan dosen sangat potensial untuk juga  menjadi referensi publik.
Ada sejumlah hujah mengapa guru dan dosen Aparatur Sipil Negara (ASN) Â harus menjaga netralitasnya dalam Pemilu dan atau Pilkada. Pertama, guru dan dosen, sebagai pilar pendidikan, memiliki peran sentral dalam membentuk wawasan politik siswa atau mahasiswa. Netralitas mereka membuka pintu bagi diskusi terbuka dan kritis mengenai berbagai pandangan politik. Dalam suasana yang netral, siswa dapat mengembangkan pemahaman yang seimbang, memupuk sikap kritis, dan menjadi pemilih yang cerdas.
Kedua, netralitas guru dan dosen dalam konteks Pemilu sejatinya merupakan  pondasi integritas institusi pendidikan. Dengan tidak terlibatnya dalam aktivitas politik yang dapat mempengaruhi pandangan siswa atau mahasiswa, mereka sedang menjaga kepercayaan masyarakat terhadap lembaga pendidikan. Integritas ini esensial untuk memastikan bahwa nilai-nilai moral dan akademis yang diajarkan tetap tidak tercemar oleh kepentingan politik yang sempit.
Ketiga, ketika guru dan dosen tetap netral, keseimbangan dan keragaman pemikiran dapat terjaga dengan baik. Masyarakat dapat yakin bahwa proses pendidikan tidak menjadi sarana indoktrinasi politik, melainkan tempat di mana ide-ide berbeda dihargai dan disajikan dengan obyektivitas. Keempat, Â aktivitas politik guru dan dosen yang tidak netral dapat membuka pintu bagi penyalahgunaan sumber daya pendidikan. Fasilitas sekolah, waktu mengajar, dan sarana pendidikan lainnya seharusnya tidak dipergunakan untuk kepentingan politik pribadi. Netralitas mereka melindungi integritas dan tujuan utama lembaga pendidikan.
Meskipun demikian, para guru dan dosen juga memiliki tanggung jawab moral yang besar untuk memberikan pendidikan politik kepada para siswa atau mahasiswa, khususnya kepada  mereka yang baru memiliki hak pilih dalam pemilu atau pilkada. Pendidikan politik yang baik dan efektif tentulah akan membantu generasi muda  memahami proses demokrasi, pentingnya partisipasi aktif, dan bagaimana membuat keputusan yang informasional dan rasional.
Berikut beberapa langkah yang dapat diambil oleh guru dan dosen untuk menjalankan kewajiban moralnya dalam melakukan pendidikan politik tanpa melanggar koridor netralitas. Pertama, pastikan materi yang disajikan bersifat netral dan obyektif. Hindari menyampaikan pandangan politik pribadi atau mendukung kandidat tertentu. Fokus pada fakta, data, dan informasi yang mendukung pemahaman yang seimbang.
Kedua, ajak siswa atau mahasiswa untuk berpartisipasi dalam diskusi terbuka tanpa memberikan pengaruh pribadi yang signifikan. Fasilitasi suasana yang mendukung pertukaran ide yang positif dan beragam. Kemudian berikan pemahaman yang menyeluruh dengan memaparkan berbagai perspektif politik dan sudut pandang yang berbeda. Hal ini akan membantu siswa atau mahasiswa melihat gambaran penuh dan membuat keputusan yang lebih terinformasi.
Ketiga,  fokus pada pengembangan keterampilan analisis kritis. Latih siswa atau mahasiswa untuk menganalisis informasi politik, membedakan antara fakta dan opini, serta memahami implikasi dari kebijakan atau platform politik. Dalam konteks  ini pastikan guru dan dosen menggunakan materi berdasarkan sumber yang terpercaya dan dapat dipertanggungjawabkan. Rujuk pada sumber-sumber yang telah diverifikasi dan diakui sebagai otoritas dalam bidang politik. Termasuk menunjukan bukti-bukti jejak-rekam para kandidat serta Parpol yang berkontestasi.