Mohon tunggu...
Khoiru Roja Insani
Khoiru Roja Insani Mohon Tunggu... Mahasiswa - Berusaha produktif dalam keterbatasan

Pemuda asal Yogyakarta yang gemar ke sana-ke mari. Ajak saja pergi, pasti langsung tancap gas! Senang berdiskusi mengenai berbagai hal, senang bepergian, dan senang mengabadikan momen melalui kamera untuk diunggah di akun instagram. Ajak saja nongkrong atau bermain, pasti bisa mengenal lebih dekat lagi!

Selanjutnya

Tutup

Hobby

33 Senja di Halmahera, Berusaha Mengikhlaskan Meski Menyakitkan

9 Agustus 2021   09:18 Diperbarui: 9 Agustus 2021   12:49 672
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gramedia Pustaka Utam via goodreads.com

Identitas buku

Judul          : 33 Senja di Halmahera

Penulis     : Andaru Intan

Penerbit  : Gramedia Pustaka Utama

Cetakan   : I, 2017

Tebal        : 192 halaman

Novel yang menceritakan kisah Nathan, tentara yang dipindahtugaskan dari Sofifi ke Halmahera selama 33 hari. Perpindahan Nathan dari Sofifi ke Halmahera tidak seperti yang ia harapkan, Nathan membawa seluruh kenangan dan penyesalannya dari Sofifi ke Halmahera. Di Halmahera, Nathan bertemu dengan gadis manis, bermata indah, berperilaku anggun, Puan namanya. Puan adalah anak kepala sekolah dan berprofesi sebagai guru. Ada satu hal lagi yang unik dari Puan, meskipun tinggal di daerah pesisir, Puan tak suka dengan laut.

Nathan tertarik pada Puan pada pandangan pertama. Nathan terpesona dengan kesederhanaan yang ditawarkan Puan. Tampil apa adanya, tanpa dandan, dan akrab dengan anak-anak -- murid-muridnya. Puan pun demikian, sedikit tertarik juga dengan Nathan. Nathan yang gagah, tinggi, dan kekar -- khas pemuda Maluku Utara -- dan diimbangi dengan rambut cepak ala tentaranya.

Puan sadar akan ketertarikan Nathan pada dirinya. Dengan sedikit malu-malu, Puan membuka dirinya sedikit demi-sedikit pada Nathan. Mulai dari obrolan ringan dari kejauhan, saling beradu pandang yang disengaja -- tapi tanpa sadar -- bahkan hingga melancong ke Kepulauan Widi, sisi selatan Halmahera.

Kedekatan Nathan dan Puan makin menjadi-jadi. Mereka makin intensif dalam mengobrol di kala senja, berjalan mengitari pinggiran pantai, dan kegiatan-kegiatan berdua lainnya. Kedekatan ini terdengar hingga orang tua Puan.

Sejak awal, Puan sudah mengetahui bahwa kedekatannya dengan Nathan akan terhalang tembok besar layaknya kisah fiksi pada umumnya, yaitu perbedaan keyakinan. Nathan dan Puan berbeda kepercayaan, tapi disatukan oleh keadaan.

Konflik besar terjadi di rumah Puan, ayah Puan yang notabene seorang kepala sekolah dan disegani di kampung menolak keras kedekatan Puan dan Nathan. Puan pun sama kerasnya menentang pelarangan yang dititahkan ayahnya pada Puan.

Puan berada pada dilema yang besar. Latar belakang Puan pun akhirnya terkuak mengapa ia takut dengan air laut. Kisah tragis masa lalu lah menjadi penyebabnya. Nathan yang sadar akan adanya penghalang di antara mereka berdua juga mengalami kesedihan dan kegalauan yang tak terkira.

Menjelang hari perpisahan karena masa bakti Nathan di Halmahera sudah selesai, Puan memaksakan diri untuk menemui Nathan untuk terkahir kalinya dan memberikan sepucuk surat. Nathan sangat berharap bahwa surat itu berisi nomor telepon Puan agar mereka berdua masih dapat saling bertukar pesan.

Namun, naas. Puan telah memantapkan keputusannya pada keyakinannya yang sama dengan kedua orang tuanya. Bukan nomor telepon isi dari surat itu, tapi sebuah paragraf panjang yang menyakitkan sekaligus meneduhkan yang diakhiri dengan kalimat "Karena perasaan kita itu, akan terus tumbuh bila tidak dibunuh. Semoga kau dan aku selalu bahagia -- meski tidak bersama-sama."

Novel ini memiliki daya tarik yang luar biasa karena mengambil latar di Halmahera, Maluku Utara. Penulis menggambarkan latar suasana dan tempat dengan sangat apik, sangat menggambarkan keindahan Halmahera. Tidak hanya itu, penulis juga memberikan istilah-istilah khas Halmahera, seperti baronda yang artinya berjalan-jalan, darat dan laut yang digunakan untuk menunjukkan arah -- mereka tidak mengenal utara, barat, selatan, dan timur. Selain itu, penulis juga menyajikan makanan-makanan khas Halmahera dengan sebutan aslinya, seperti gohu, sabeta, dan bia. Penulis sangat piawai dalam menggambarkan segalanya tentang Halmahera. Pembaca seakan-akan ditarik lebih dekat dengan segala hal tentang Halmahera.

Pada akhirnya, layaknya sebuah novel dengan pesan moralnya, dari novel ini dapat dipetik sebuah pesan bahwa tingkat mencintai paling tinggi adalah mengikhlaskan meskipun menyakitkan.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hobby Selengkapnya
Lihat Hobby Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun