Mohon tunggu...
Khoiru Roja Insani
Khoiru Roja Insani Mohon Tunggu... Mahasiswa - Berusaha produktif dalam keterbatasan

Pemuda asal Yogyakarta yang gemar ke sana-ke mari. Ajak saja pergi, pasti langsung tancap gas! Senang berdiskusi mengenai berbagai hal, senang bepergian, dan senang mengabadikan momen melalui kamera untuk diunggah di akun instagram. Ajak saja nongkrong atau bermain, pasti bisa mengenal lebih dekat lagi!

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Dalam Kenangan Kawan, Artidjo Alkostar si Pemberani

2 Maret 2021   15:21 Diperbarui: 2 Maret 2021   15:50 294
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Jujur, saya tidak terlalu mengetahui sosok Artidjo Alkostar semasa hidup. Saya mulai membaca memoar tentang dirinya setelah beliau meninggal. Sungguh disayangkan, Indonesia kehilangan salah satu pengadil terbaiknya.

Tulisan tentang Artidjo Alkostar setelah beliau meninggal (28/2) menyeruak kembali, yang sedikit mencuri perhatian saya adalah tulisan dari Eko Prasetyo, aktivis HAM asal Yogyakarta dan pendiri Social Movement Institute, organisasi sosial-non politik di bidang pergerakan. Eko Prasetyo sendiri adalah mahasiswa FH UII angkatan 90 dan pernah menjadi mahasiswa Artidjo Alkostar.

Eko Prasetyo menuliskan, bang Artidjo kecewa dengan dosen-dosen hukum yang tidak bersikap saat menyaksikan ketidakadilan. Menurut bang Artidjo, tugas seorang pengajar tidak hanya mengisi kuliah, tetapi mengasah kepekaan mahasiswa dan kekhawatirannya.

Pada 1996 dalam tulisan Eko Praseryo, suhu politik sedang memanas. Aktivis-aktivis Jogja mengadakan pertemuan dan membentuk organisasi pemantau pemilu indepen. Tak jarang pertemuan-pertemuan itu dibubarkan oleh aparat dengan alasan klasik khas orde baru: ancaman stabilitas, illegal, dan musuh negara. Namun, bang Artidjo hadir dan mengambil sikap yang berani. Ia mendukung bahkan menganggap gerakan politik itu adalah partisispasi yang demokratis. Bang Artidjo berdiri tidak hanya di depan kalangan mahasiswa saja, tetapi di depan rezim yang mulai kehilangan etika bernegara. Kantor LBH Jogja yang saat itu dipimpin bang Artidjo menjadi pelindung dan suaka perlawanan menghadapi orde baru.

Eko Prasetyo menuturkan, bang Artidjo tak hanya sekadar mendidik, tetapi memberi tauladan. Bang Ar tak hanya menjabat, tetapi berjuang. Setelah pensiun menjadi hakim agung pun bang Artidjo terus bertanya bahkan resah mengenai kondisi kehidupan kampus. Meskipun tak lagi mengambil peran kritis, tak lagi ambil posisi, bahkan tak mengabdi kepentingan rakyat, ia tetap bersikukuh bahwa kampus harus memberi sumbangan bermakna, baik bagi perbaikan tata kelola negara maupun mendidik calon pemimpin bangsa.

Tulisan Faisal Basri dan Haris Munandar dalam buku Kisah-Kisah Teladan Kesederhanaan Tokoh Bangsa juga membahas tentang Artidjo Alkostar. Dalam buku itu dituliskan, Artidjo Alkostar adalah sosok yang sederhana, semenjak dilantik menjadi hakim agung MA pada tahun 2000, ia tidak meminta fasilitas negara, seperti mobil dan rumah dinas. Di awal-awal ia menjabat sebagai hakim agung, ia mengontrak rumah kecil di Kramat Kwitang, bahkan ia rela pergi ke kantor dari rumah kontrakannya menggunakan bajaj.

Dalam buku Kisah-Kisah Teladan Kesederhanaan Tokoh Bangsa pun dituliskan, Artidjo adalah sosok yang jujur, tulus, dan tegas menolak ketidakadilan. Artidjo pernah menempel sebuah tulisan yang berbunyi "Tidak menerima tamu yang ingin membicarakan perkara", ia terpaksa memasang tulisan seperti itu karena tidak sedikit tamu yang menawarkan tawaran-tawaran menggoda demi kepentingan tertentu.

Masih dalam buku yang sama, dituliskan bahwa sejak menjadi hakim agung pada 2000-2018 Artidjo telah memutus 19.708 berkas perkara dan banyak perkara yang diputusnya adalah perkara korupsi. Ditambah lagi, perkara korupsi yang ia putuskan, ia jatuhkan hukuman maksimal tanpa keraguan. Atas dasar itulah, ia menyandang predikat "malaikat maut."

Keberaniannya pun memang sudah dimulai sejak tahun 90-an. Saat masih bergabung dengan LBH, ia membela kasus pembantaian di Santa Cruz, Dili, Timor Leste pada 1992. Di dalam buku yang sama, dikisahkan ia hampir kehilangan nyawa, dari ke mana-mana diikuti intel, bahkan sampai diancam oleh supir taksi. Meski begitu, Artidjo tetap bertahan dan membela kasus itu hingga ia bertahan di Dili sampai enam bulan.

Hal yang paling mengharukan lagi adalah meski Artidjo sudah menjadi hakim agung, ia tetap menyempatkan waktunya untuk mengajar di almamaternya, FH UII. Ia mengajar setiap Sabtu, dari pagi sampai malam. Ia mengajar hukum acara pidana dan etika profesi, serta mengajar mata kuliah HAM untuk S-2. Artidjo biasa pulang ke Yoygkarta pada Jumat sore dan dijemput keponakannya di Bandara Adi Sucipto, untuk mengajar, dan kemudian terbang ke Jakarta pada hari Senin pukul enam pagi dan langsung ke kantor.

Dalam tulisan lain yang ditulis Hamid Basyaib dalam geotimes.co.id Artidjo tidak pernah menarik tarif kepada kliennya saat ia masih aktif sebagai pengacara di Jogja. Bagi Artidjo, jasa hukum bukanlah hal yang pantas untuk dirundingkan, apalagi dengan tawar-menawar. Jika klien puas dengan jasanya, mereka boleh membayar seiklhlasnya, bila tidak membayar pun juga tak apa-apa.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun