Mohon tunggu...
Khoirul Nur Widyastuti
Khoirul Nur Widyastuti Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa

Halo, aku Widy. Seorang mahasiswi dari lulusan program studi Sastra Indonesia. aku menyukai dan tertarik pada topik mengenai woman empowerment dan gender equality. Beberapa tulisanku dalam blog website kompasiana merupakan arsip dari beberapa kejuaraan esai dengan tema terkait yang pernah aku ikuti.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Peningkatan Gender Equality Awareness sebagai Upaya Gen Z Mencegah Pernikahan Anak

18 September 2024   10:15 Diperbarui: 18 September 2024   10:22 13
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Pernikahan anak merupakan salah satu isu yang masih menjadi pr penting untuk ditangani. Melihat banyaknya dampak yang dapat ditimbulkan dari pernikahan anak di bawah umur, membuat isu ini harus sesegera mungkin mendapat perhatian agar dapat ditemukan solusi untuk mencegah dan mengurangi jumlahnya. Di Indonesia sendiri, pernikahan anak masih marak dilakukan bahkan menjadi tradisi di beberapa daerah. Mengutip pernyataan Dr. Yulina Eva Riany, ME.d., Dosen IPB University dari Departemen Ilmu Keluarga dan Konsumen, Fakultas Ekologi Manusia (Fema), dalam web resmi IPB university, menyebutkan bahwa saat ini Indonesia menempati posisi ketujuh di dunia dengan kasus pernikahan anak. Data lain juga menyebutkan bahwa di tingkat ASEAN, Indonesia menjadi negara kedua setelah Kamboja dengan kasus pernikahan anak terbanyak. Dengan melihat kedudukan Indonesia dalam kasus pernikahan anak tersebut, dapat disimpulkan bahwa pencegahan terjadinya pernikahan anak cukup tinggi urgensinya.

Kasus pernikahan anak bukanlah fenomena biasa yang akar masalahnya dapat dengan mudah dijumpai di permukaan. Dalam praktiknya, terdapat peran keluarga, masyarakat, bahkan adat dan tradisi yang melanggengkan terjadinya praktik pernikahan anak di bawah umur. Selain itu, adanya konstruksi sosial yang memandang sebelah mata eksistensi perempuan dalam perannya di lingkungan masyarakat, juga memperkeruh situasi dan memicu kasus pernikahan anak menjadi semakin marak. Masyarakat kita seringkali menempatkan kedudukan perempuan secara asimetris sehingga memicu terjadinya berbagai diskriminasi dan pelanggaran hak. Oleh karena itu, kebanyakan korban pernikahan anak adalah perempuan.

Di beberapa daerah yang masih berpegang teguh pada tradisi yang cenderung mengatur moral perempuan dan menyubordinatkan hak-haknya, perempuan dianggap dapat menjadi 'aib' bagi keluarga ketika ia belum juga menikah di usia dewasa. Selain itu, ada pula anggapan yang menjurus pada peran gender dimana perempuan 'dikodratkan' untuk menjadi ibu rumah tangga dan hanya memegang peranan untuk bekerja di rumah sehingga pendidikan formal tidak menjadi suatu kebutuhan yang tidak penting, dan lebih baik untuk menikahkannya sedini mungkin.

Ketidaksetaraan gender sebagai akar maraknya praktik pernikahan anak

Pernikahan anak memang tidak selalu berkaitan dengan adanya ketimpangan konstruksi sosial antara laki-laki dan perempuan sebagai faktor utamanya. Permasalahan ekonomi, rendahnya tingkat pendidikan, kurangnya akses informasi, hingga dorongan dari orang tua, dapat menjadi faktor yang mengiringi terjadinya pernikahan pada anak. Namun, meskipun terdapat banyak faktor lain yang ikut berpartisipasi dalam praktik pernikahan anak, adanya ketidaksetaraan gender tetap menjadi akar utama dari permasalahan struktural ini. Manifestasi ketimpangan hak yang membuat perempuan tidak dapat berpartisipasi dalam pengambilan keputusan membuat para anak perempuan harus patuh dan mengikuti perintah orang tuanya untuk dinikahkan di usianya yang masih di bawah umur. Selain itu, adapula anggapan bahwa perempuan adalah aib dan rentan terkena dampak pergaulan bebas sehingga membuat para orang tua cenderung memilih untuk menikahkan anak mereka sedini mungkin.

Kurangnya edukasi dan terbatasnya akses informasi, juga menjadi penyebab banyak orang yang hingga sekarang masih menormalisasi pernikahan anak di bawah umur. Padahal, banyak dampak buruk yang dapat ditimbulkan dari pernikahan sebelum usia yang seharusnya. Pernikahan anak yang terjadi pada perempuan berpotensi menyebabkan kematian pada ibu saat melahirkan karena sistem reproduksi yang belum siap. Dilansir dari laman halodoc.com, berdasarkan pada hasil Survei Demografi dan Kesehatan Indonesia (SDKI), menyebutkan bahwa persalinan pada ibu yang berusia di bawah 20 tahun menyumbang kontribusi paling besar dalam tingginya angka kematian dalam persalinan. Disebutkan juga bahwa risiko kematian dalam persalinan pada ibu yang berusia di bawah 20 tahun jauh lebih tinggi daripada ibu di rentang usia 20-39 tahun.  Selain itu, pernikahan anak juga meningkatkan angka perceraian dan KDRT. Dalam data publikasi BPS yang bertajuk Kemajuan yang Tertunda: Analisis Data Perkawinan Usia Anak di Indonesia ditemukan hasil penelitian bahwa di Indonesia angka perceraian 2 kali lebih tinggi menimpa anak perempuan yang menikah pada rentang usia 10-14 tahun daripada anak perempuan yang menikah pada rentang usia di atasnya.

Peran Gen Z dalam mewujudkan kesetaraan gender dan upaya pencegahan pernikahan anak

Pernikahan anak adalah masalah pelik yang berakar dari adanya ketidaksetaraan gender yang masih sangat lekat di masyarakat patriarkal. Untuk mencegah dan meminimalisir pernikahan dini pada anak, diperlukan kesadaran bahwa baik laki-laki maupun perempuan memiliki hak yang setara dalam kehidupan sosialnya di masyarakat. Perwujudan kesadaran terhadap kesetaraan gender dapat mulai ditanamkan pada anak-anak maupun kaum muda dan dewasa. Dalam menyuarakan kesetaraan gender dan pencegahan pernikahan dini, Indonesia sendiri sangat membutuhkan peran kaum muda terutama generasi z yang menyumbang populasi terbesar di negeri ini. Generasi Z atau yang lebih populer dengan sebutan gen z adalah mereka yang lahir pada tahun 1997 hingga 2012. Dilansir dari katadata.com jumlah populasi gen z ini merupakan yang terbanyak di Indonesia yaitu dengan presentase 27,94% dan berada di atas populasi milenial yang memiliki persentase sebanyak 25,87 persen. Sebagai generasi yang melek akan perkembangan teknologi, tentu akan semakin mudah mengakses informasi dengan jangkauan yang lebih luas. Oleh karena itu, gen z harus memiliki concern yang cukup kuat terhadap fenomena ketidaksetaraan gender yang terjadi di lingkungan mereka.

Kesetaraan gender merupakan tujuan kelima dalam rencana pembangunan berkelanjutan atau Sustainable Development Goals (SDGs). Pada rencana pembangunan ini, Indonesia diharapkan dapat berpartisipasi untuk memerangi isu-isu yang berkaitan dengan diskriminasi gender dan menciptakan lingkungan gender yang setara pada 2030 nanti. Melalui tujuan kelima SDGs ini, gen z dapat ikut serta berperan menyuarakan dan menerapkan anti diskriminasi gender serta kesadaraan kesetaraan gender kepada masyarakat. Terciptanya gender yang setara dapat menjadi langkah awal dalam memerangi masalah lain yang lebih kompleks seperti pernikahan anak di bawah umur. Generasi Z diharapkan dapat memanfaatkan kemudahan akses informasi dengan bijak untuk menumbuhkan kesadaran bagi dirinya dan masyarakat sekitar tentang dampak dari pernikahan anak. Namun, tak terbatas hanya pada peran kaum muda, pencegahan pernikahan pada anak juga dapat diminimalisasi dengan penguatan hukum yang berlaku. Pemerintah beserta lembaga terkait harus mampu memberikan ketegasan pada pemberlakuan hukum, terutama mengenai pelaksanakan hukum undang-undang yang membahas batasan minimal umur menikah. Dengan sinergi bersama antara pemerintah dan kaum muda terutama gen z, diharapkan kesetaraan gender dapat terwujud dan pernikahan pada anak dapat dicegah dan dikurangi.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun