Minggu sore di akhir bulan juni...
Langit memercikan air masuk kejendela kecil kamarku, kuseka kelopak mataku yg berlinang..
"Sore ini hujan" gumamku pada hati.
Ku langkahkan kaki menuju jendela, diluar kulihat kabut mulai tebal, lembayung mulai memudar, gemuruh angin mulai kencang. Tidak ada orang diluar.
Lengkap sudah..
Bagaikan pesta diruang dansa, seakan alam berselebrasi merayakan patah hati dengan sempurna.
Sesak, aku berdiri gemetar menatap rinai.Â
"Suasana hujan ini begitu indah saat itu". Namun, tidak untuk saat ini, entahlah.. kamu bagaikan hujan.. 'esensimu tetap sama, namun suatu waktu, rasanya dapat berbeda.. ku tela'ah lebih dalam, namun, tak kutemukan kepastian.Â
sayang, harummu masih bersilam, bersama bayangmu yang masih bersemayam.
untukmu nirwanaku, kau putri jelita yang kusebut rumah, bak arunika. Suaramu selembut sutra. senyummu adalah pelengkap dunia kan baik-baik saja.
Sesaat kenangan menyeretku pergi lebih jauh, sungguh, kejadian itu adalah dangkal terdalam dari segala luka yang pernah kupendam.
Aku tidak pernah menyangka sebelumnya, seseorang yang ku anggap obat dari segala luka, adalah yang menumbuhkan palung duka. Jauh dari itu, aku hanyalah sosok polos sekaligus korban dari segala drama.Â
sesungguh itu rasa ku padamu, sedalam itu luka untukku.
Langit mulai pekat, kututup rapat jendela, sesekali kilat cahaya menyilau mata disertai guntur yang menyala..Â
Isakku terhenti, mendengar suara hangat ibu memanggil pertanda makan malam, suara langkah kaki kemudian, adalah perpisahan ku dengan hujan.
"Nak bagaimana kuliahmu..." Tanya ibu bersamaan usap lembut tanganya diatas jemariku.
"Baik-baik saja bu." Ucapku bersama awan kelabu didalam dada.
Ku coba nikmati sepiring makan malamku. Wangi masakan ibu yang begitu khas, menyangkal fikiranku yang penuh kecemasan.. sesuap nasi pada malam itu, adalah saksi, bahwa aku akan mencoba berdamai dengan diri sendiri.Â
Teringat senja yang lalu, erat tanganmu masih melingkar mendekapku, diatas motor berdua, aku, kamu, dan semesta, adalah karya tuhan sedang gembira.
Terimakasih tuhan. Aku tau semua ini adalah titipan. Aku tau semua ini fana, namun semesta tau, senyumku pada senja adalah murni bahwa aku pernah bahagia.
Aku harap kau bahagia tanpaku. walau dulu aku pernah sepenuhnya namun kau seperlunya, tapi tenang saja, kau tetap pemenangnya.
Selepas makan malam, aku pergi kekamarku, sesaat setelah dialog kecil bersama ibu.
Kurebahkan seluruh tubuh dan mulai menarik selimut tebalku, diatas kasur kecil nyamanku, kutatap langit-langit kamar, tatapanku kosong. Teringat segala yang terjadi saat hari kemarin telah sirna. Sebelum tidur, ku tutup mataku perlahan, sembari memeluk guling panjangku yang tebal. harapku pada semesta, semoga esok kan baik-baik saja. semoga dimanapun kau berada, disana hal-hal baik berada.
Dari aku, dengan selebrasi patahku yang yang tanpa kau tau.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H