Sesaat kenangan menyeretku pergi lebih jauh, sungguh, kejadian itu adalah dangkal terdalam dari segala luka yang pernah kupendam.
Aku tidak pernah menyangka sebelumnya, seseorang yang ku anggap obat dari segala luka, adalah yang menumbuhkan palung duka. Jauh dari itu, aku hanyalah sosok polos sekaligus korban dari segala drama.Â
sesungguh itu rasa ku padamu, sedalam itu luka untukku.
Langit mulai pekat, kututup rapat jendela, sesekali kilat cahaya menyilau mata disertai guntur yang menyala..Â
Isakku terhenti, mendengar suara hangat ibu memanggil pertanda makan malam, suara langkah kaki kemudian, adalah perpisahan ku dengan hujan.
"Nak bagaimana kuliahmu..." Tanya ibu bersamaan usap lembut tanganya diatas jemariku.
"Baik-baik saja bu." Ucapku bersama awan kelabu didalam dada.
Ku coba nikmati sepiring makan malamku. Wangi masakan ibu yang begitu khas, menyangkal fikiranku yang penuh kecemasan.. sesuap nasi pada malam itu, adalah saksi, bahwa aku akan mencoba berdamai dengan diri sendiri.Â
Teringat senja yang lalu, erat tanganmu masih melingkar mendekapku, diatas motor berdua, aku, kamu, dan semesta, adalah karya tuhan sedang gembira.
Terimakasih tuhan. Aku tau semua ini adalah titipan. Aku tau semua ini fana, namun semesta tau, senyumku pada senja adalah murni bahwa aku pernah bahagia.
Aku harap kau bahagia tanpaku. walau dulu aku pernah sepenuhnya namun kau seperlunya, tapi tenang saja, kau tetap pemenangnya.