Energi baru terbarukan (EBT) atau sering disebut Renewable Energy merupakan suatu energi yang berasal dari Sumber Daya Alam (SDA) di Bumi yang sifatnya dapat diperbarui dan mungkin saja jumlahnya tidak akan habis.
Menurut Pusat Studi UGM, sumber daya alam yang termasuk Renewable Energy antara lain geothermal, wave energy, angin, hydropower, biogas, biofuel, dan energi surya. Dengan ketersediaan SDA yang melimpah ruah di negara kita, pemanfaatan EBT untuk kepentingan pembangkitan listrik masih sangat minim.
Dari total potensi EBT di Indonesia sebesar 443 GW, pembangkit listrik yang menggunakan EBT hanya sekitar 12%. Â Sementara, penggunaan energi fosil sebagai bahan bakar pembangkit listrik masih mendominasi. Â
Data dari EBT PLN Kantor Pusat, saat ini dari total sekitar 52 GW, jumlah pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) yang menggunakan bahan bakar batu bara  di Indonesia mencapai 48 persen dengan daya sebesar 24.483 MW.Â
Pemerintah memang tengah gencar membangun pembangkit listrik yang ramah lingkungan untuk mengurangi emisi gas rumah kaca (GRK). Tahun ini saja, ada penambahan sekitar 454 MW pembangkit energi baru terbarukan. Kebanyakan pembangkit tersebut merupakan Pembangkit Listrik Tenaga Air (PLTA) dan Pembangkit Listrik Tenaga Panas Bumi (PLTP). Sementara untuk pembangkit listrik energi baru terbarukan lain masih sangat kecil presentasenya.
Tidak bisa dipungkiri bahwa batu bara yang masih banyak digunakan untuk bahan bakar PLTU menimbulkan efek yang kurang bersahabat bagi lingkungan. Baik efek langsung yang ditimbulkan dari asap dan sisa pembakaran maupun efek tidak langsung yang baru akan dirasakan kemudian hari. Efek tersebut bukan hanya merugikan lingkungan tetapi juga organisme yang ada termasuk manusia di dalamnya.
Batu bara merupakan sumber energi yang menghasilkan paling banyak polusi dikarenakan tingginya kandungan karbon. Selain efek yang ditimbulkan ketika proses pembakaran, proses penambangan juga membawa dampak negatif pada lingkungan. Walaupun ketersediaan batu bara akan bertahan hingga 112 tahun kedepan, tetapi batu bara bukanlah solusi energi masa depan kita.
Penggunaan EBT seakan menjadi solusi atas permasalahan lingkungan yang ditimbulkan dari penggunaan energi fosil. Ketersediaan EBT juga cukup melimpah ruah dan akan bertahan hingga waktu yang sangat lama. Hanya saja, penggunaan EBT untuk keperluan pembangkitan listrik masih mengalami banyak kendala.Â
Biaya Investasi (Capex / capital expenditure) pembangkit listrik energi baru terbarukan (EBT) masih lebih mahal dari pembangkit energi fosil PLTP (geothermal) bisa menelan investasi sekitar 4 juta dolar AS juta/MW, jauh lebih mahal dibanding PLTU Batubara yang sekitar 1,5 juta dolar AS hingga 2 juta dolar AS per MW. Apalagi ketika berbicara Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS) biaya investasi akan jauh lebih mahal. Efisiensi daya yang dihasilkan juga masih menjadi salah satu kendala besar.
Biaya investasi yang mahal membuat harga listrik yang dihasilkan oleh pembangkit listrik EBT jauh lebih mahal daripada listrik yang dibangkitkan oleh energi fosil. Apalagi, dengan teknologi saat ini, pembangkit listrik EBT belum sepenuhnya bisa diandalkan untuk untuk suplai kebutuhan listrik di Indonesia. Seperti halnya Pembangkit Listrik Tenaga Bayu (PLTB) dan Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS) yang bisa menghasilkan daya maksimal hanya pada saat-saat tertentu. Â Â