Mohon tunggu...
Siti Khoirul Inayah
Siti Khoirul Inayah Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa

Writer

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud Pilihan

Peran Kita dalam Memerangi Penyebaran Hoax

19 Desember 2024   10:50 Diperbarui: 19 Desember 2024   10:50 27
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Mengapa di Era Digital Ini Masih Banyak Hoaks Yang Beredar dengan Begitu Dasar?

Tepat di era digital, kita bisa lihat apa yang terjadi, baik dalam lingkaran terkecil seperti desa ataupun lingkaran terbesar, yaitu dunia saat ini masyarakat dapat mengakses informasi dengan sangat mudah. Namun, kemudahan ini juga membawa tantangan besar: penyebaran hoax yang kian masif. Hoax atau pembohongan sebagian informasi ini sering kali kalah dengan keringanan menyebarnya dari opini yang sesungguhnya. Fenomena ini tidak hanya mengancam keharmonisan sosial, tetapi juga memengaruhi pilihan politik, ekonomi, bahkan kesehatan. Mengapa hoax begitu kental pada masanya? Berikut adalah sejumlah isu yang mendasarinya.

  • Algoritma Media Sosial: Mesin Penyebar Hoax. Akan tetapi, persoalan diatas bisa disebabkan juga oleh media sosial khususnya para influencer. Penyebaran hoaks terjadi karena peranan media social yang terlalu berperan dikarenakan, mereka mementikan aturannya yang disesuaikan dengan pergerakan pengguna. tentu hal ini membawa pengalaman baru di mana hoaks selalu terlihat di timeline harian pengguna. Akibat penggunaan Aplikasi yang sangat jauh menjamur jauh dibandingkan kebenaran, dunia sosial di aplikasinya terkadang dipenuhi oleh kebohongan dan kebencian yang berlebih. Misalnya, selama pandemi COVID-19, ada banyak informasi yang salah mengenai pengobatan atau konspirasi sekitar vaksin, yang menjadi viral di media sosial. Meskipun pemerintah dan organisasi kesehatan telah mencoba memberikan informasi yang benar, seringkali sulit untuk membantah mitos yang telah menyebar.
  • Kurangnya Literasi Diaspora. Sebagian besar populasi masih kekurangan literasi digital. Literasi digital tidak hanya mengacu pada kemampuan untuk mengoperasikan perangkat teknologi, tetapi juga kemampuan untuk menyaring informasi, mengenali sumber terbaik, dan memahami cara kerja media. Ketika seseorang kurang memiliki literasi digital yang baik, ia cenderung lebih mempercayai informasi yang mereka terima terutama ketika informasi tersebut mendukung keyakinan dan pendapat mereka. Ketika ini terjadi, seseorang tidak dapat memverifikasi informasi, dan karenanya, mereka rata-rata akan mempercayai hoaks pertama yang mereka temui. Banyak orang memang berusaha untuk menciptakan hoaks semacam itu untuk memanfaatkan bias kognitif manusia. Di antara contoh bias kognitif adalah ketika seseorang mengadopsi bias konfirmasi yang berarti bahwa mereka cenderung untuk mengabaikan fakta jika tidak mendukung persepsi mereka.
  • Motivasi Ekonomi dan Politik. Penyebaran hoaks tidak selalu terjadi secara spontan. Ada kalanya aktor tertentu akan membuat dan menyebarkan hoaks untuk keuntungan ekonomi atau politik. Secara ekonomi, misalnya, klik atau kunjungan ke situs yang menyebarkan hoaks dapat menghasilkan pendapatan dari iklan. Secara politik, di sisi lain, ini sebagian besar digunakan sebagai propaganda oleh orang-orang yang ingin menjatuhkan saingan politik mereka atau untuk membentuk opini tertentu di masyarakat. Kasus konkret penggunaan hoaks untuk tujuan politik adalah penerapan hak demokratis suara warga negara di berbagai belahan dunia, termasuk Indonesia. Misalnya, hoaks tentang calon tertentu sering diorganisir untuk menanamkan pandangan yang bias terhadap calon tersebut di masyarakat. Fenomena ini semakin mengkhawatirkan karena dapat memecah belah orang dan menghancurkan proses demokrasi.
  • Penegakan Peraturan yang Lemah. Meskipun pemerintah telah memberlakukan undang-undang dan peraturan lainnya untuk memerangi hoaks, efektivitasnya masih dipertanyakan. Salah satu peraturan yang sepertinya memunculkan banyak perdebatan adalah undang-undang tentang informasi dan transaksi elektronik (UU ITE). Namun, penerapan undang-undang ini seringkali dianggap selektif dan tidak konsisten, bahkan disalahgunakan untuk menekan perbedaan pendapat. Di sisi lain, platform media sosial sebagai saluran utama penyebaran hoax juga belum sepenuhnya bertanggung jawab. Meskipun beberapa platform, seperti Facebook atau Twitter, telah memperkenalkan fitur untuk menandai informasi palsu, tindakan ini sering kali terlambat atau tidak cukup menyeluruh untuk mengimbangi kecepatan penyebaran hoaks.

Apa yang Dapat Dilakukan?

Mengingat kompleksitas masalah ini, strategi yang lebih kompleks diperlukan untuk menanganinya. Berikut adalah sejumlah proposal yang bisa diimplementasikan:

  • Mendorong Masyarakat untuk Lebih Kritis Terhadap Informasi yang Diterima Dari Sumber Digital Pemerintah, lembaga pendidikan, dan organisasi masyarakat sipil perlu bekerja sama untuk meningkatkan literasi digital masyarakat. Kampanye publik yang mendidik orang tentang cara mengenali hoaks, memeriksa fakta, dan memahami cara kerja algoritma media sosial sangatlah penting.
  • Kebutuhan untuk Memperkuat Akuntabilitas Platform Internet Pihak Ketiga. Platform media sosial harus mengambil lebih banyak tanggung jawab atas penyebaran hoaks. Mereka harus meningkatkan kemampuan teknologi mereka untuk menemukan dan menghapus informasi palsu di situs mereka. Lebih dari itu, regulasi yang lebih ketat terhadap platform ini juga diperlukan.
  • Kesadaran Kolektif harus Sangat Kritis dalam Menerima Informasi Kampanye umum harus diarahkan untuk membatasi penyebaran informasi tanpa verifikasi yang tepat yang dapat mengakibatkan pengguna berpikir kritis terkait informasi yang tersedia bagi mereka meskipun itu disebabkan oleh munculnya ketidakpercayaan yang tidak perlu. Salah satu hasil dari kampanye semacam itu adalah lahirnya masyarakat yang tidak memiliki komposisi kemiripan untuk menyalahgunakan informasi dan dengan demikian merupakan masyarakat yang semakin gila.
  • Hukuman dan Regulasi yang Lebih Ketat untuk Penyebar Hoaks Nasib para penyebar hoaks harus dibawa ke kesimpulan formal dan penderitaan mereka dihindari dengan membangun persatuan kemudahan, ketegasan, dan keadilan dalam penerapan hukum 'proporsional' dunia.

Kesimpulan nya adalah, Tindakan kolaboratif dalam memalsukan informasi di antara orang-orang yang peduli akan agenda melibatkan semua pemangku kepentingan. Era digital ditandai oleh akses mudah ke jumlah informasi web yang besar, sehingga penting bagi populasi umum untuk berhati-hati dan teliti dalam penggunaan teknologi untuk menghindari dampak yang merugikan. Dengan cara itu, masyarakat bersama dengan pemerintah dan platform digital dapat menciptakan ekosistem informasi yang lebih baik dan bebas hoaks, tetapi stabilitas itu hanya akan tercapai jika ada kesadaran kolektif dari masyarakat dan kemauan individu untuk berubah.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun