Mohon tunggu...
Khoirul Faizin
Khoirul Faizin Mohon Tunggu... Pelajar Sekolah - Mahasiswa

Hobi ngopi. Ngolah pikir

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

separatisme pemicu terbentuknya organisasi papua merdeka

7 Juli 2024   10:30 Diperbarui: 7 Juli 2024   10:41 51
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

Separatisme adalah gerakan politik atau ideologi yang menuntut pemisahan atau pemisahan diri dari suatu negara atau wilayah tertentu. Gerakan ini biasanya dilakukan oleh kelompok atau individu yang merasa tidak puas dengan pemerintahan pusat atau merasa diabaikan dalam kebijakan nasional yang ada. Tujuan utama dari gerakan separatisme adalah mendirikan negara atau wilayah baru yang merdeka atau memiliki otonomi yang lebih besar.

Ada beberapa ciri-ciri yang dapat mengidentifikasi gerakan separatisme. Pertama, gerakan ini biasanya muncul di daerah atau wilayah yang memiliki identitas budaya, etnis, atau agama yang berbeda dengan mayoritas penduduk negara. Kedua, kelompok separatis seringkali menganggap bahwa mereka telah diperlakukan secara tidak adil atau diabaikan oleh pemerintah pusat, sehingga mereka ingin memisahkan diri untuk mendapatkan kebebasan dan hak-hak yang lebih besar. Ketiga, gerakan separatisme sering kali menggunakan kekerasan atau konflik bersenjata sebagai sarana untuk mencapai tujuan mereka.

Gerakan separatisme telah ada di berbagai belahan dunia dan dalam berbagai bentuk. Salah satu contoh yang terkenal adalah gerakan separatisme di Provinsi Papua, Indonesia. Kelompok separatis Organisasi Papua Merdeka (OPM) telah lama berjuang untuk memisahkan diri dari Indonesia dan mendirikan negara Papua Merdeka. Gerakan ini didasarkan pada keyakinan bahwa Papua memiliki identitas budaya dan sejarah yang unik dan berhak mendapatkan kemerdekaan.

Organisasi Papua Merdeka (OPM) adalah istilah umum bagi gerakan prokemerdekaan Papua yang mulanya adalah reaksi orang Papua atas sikap pemerintah Indonesia sejak 1963.Perlawanan secara bersenjata pertama kali diluncurkan di Manokwari pada 26 Juli 1965.

Faksi ini terdiri dari tiga elemen: kelompok bersenjata, masing-masing memiliki kontrol teritori yang berbeda: Timika, dataran tinggi dan pantai utara; kelompok yang melakukan demonstrasi dan protes; dan sekelompok kecil pemimpin yang berbasis di luar negeri -seperti di Pasifik, Eropa dan AS- yang mencoba untuk meningkatkan kesadaran tentang isu Papua dan membangkitkan dukungan internasional untuk kemerdekaan. Sebagian besar OPM bersenjata bermarkas di Papua, tetapi beberapa orang berlindung di pedalaman dan di perbatasan Papua Nugini. Namun, tidak ada komando tunggal dalam organisasi bersenjata ini.

Organisasi ini sempat mendapatkan dana dari pemerintah Libya pimpinan Muammar Gaddafi dan pelatihan dari grup gerilya New People's Army beraliran Maois yang ditetapkan sebagai organisasi teroris asing oleh Departemen Keamanan Nasional Amerika Serikat.

Organisasi ini dianggap tidak sah di Indonesia. Perjuangan meraih kemerdekaan di tingkat provinsi dapat dituduh sebagai tindakan pengkhianatan terhadap negara. Sejak berdiri, OPM berusaha mengadakan dialog diplomatik, mengibarkan bendera Bintang Kejora, dan melancarkan aksi militan sebagai bagian dari konflik Papua. Para pendukungnya sering membawa-bawa bendera Bintang Kejora dan simbol persatuan Papua lainnya, seperti lagu kebangsaan "Hai Tanahku Papua" dan lambang nasional. Lambang nasional tersebut diadopsi sejak tahun 1961 sampai pemerintahan Indonesia diaktifkan bulan Mei 1963 sesuai Perjanjian New York.

Kebijakan Indonesia Tidak Berhasil Meredam konflik Papua

Sejak Papua bergabung dengan Republik Indonesia, 1 Mei 1963, pemerintah telah mengeluarkan sejumlah kebijakan untuk menyelesaikan konflik Papua Pada masa Orde Baru, pemerintah berupaya menyelesaikan konflik Papua melalui pendekatan keamanan dengan mengedepankan militer dan senjata.Memasuki Orde Reformasi, pemerintah mengutamakan pendekatan kesejahteraan. Selanjutnya, pemerintah mengeluarkan kebijakan otonomi khusus (otsus) sebagai tanggapan atas tuntutan Papua merdeka. Kebijakan ini ditetapkan tanggal 21 November 2001 melalui UU Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus untuk Provinsi Papua. Diandaikan bahwa konflik Papua akan diselesaikan tanpa pertumpahan darah melalui implementasi UU Otsus secara efektif dan konsisten. Setahun kemudian, pemerintah meluncurkan kebijakan pemekaran kabupaten. Pada 11 Desember 2002, pemerintah membentuk 14 kabupaten baru di Papua melalui UU Nomor 26 Tahun 2002.

Pada 21 Januari 2003, pemerintah memekarkan Provinsi Irian Jaya Tengah dan Irian Jaya Barat dari Provinsi Papua melalui Inpres Nomor 1 Tahun 2003. Kebijakan ini memicu perang suku di Timika yang membatalkan pembentukan Provinsi Irian Jaya Tengah. Setelah melakukan pemekaran provinsi dan kabupaten, pemerintah melihat pentingnya percepatan pembangunan. Pada 16 Mei 2007, pemerintah mengeluarkan Inpres Nomor 5 Tahun 2007 tentang Percepatan Pembangunan Provinsi Papua dan Papua Barat. Empat tahun kemudian, tepatnya 20 September 2011, pemerintah mengeluarkan Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 65 Tahun 2011 tentang Percepatan Pembangunan Provinsi Papua dan Papua Barat (P4B). Untuk melaksanakan Perpres ini, pemerintah membentuk satu unit khusus melalui Perpres Nomor 66 Tahun 2011 tentang Unit Percepatan Pembangunan Provinsi Papua dan Provinsi Papua Barat (UP4B). Masa kerja unit ini akan berakhir tahun 2014.

Pada 17 Oktober 2012, pemerintah mengeluarkan Perpres Nomor 84 tahun 2012 tentang Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah dalam Rangka Percepatan Pembangunan Provinsi Papua dan Papua Barat. Dalam Perpres ini, orang asli Papua diberikan kesempatan dan peranan yang lebih besar dalam pengadaan barang dan jasa pemerintah di kedua provinsi ini. Seraya mengakui dampak positif yang dialami orang Papua, kebijakan-kebijakan ini tidak berhasil meredam konflik Papua. Terbukti konflik Papua masih saja membara dan terus merenggut nyawa, baik warga sipil maupun personel TNI dan Polri. Korban mungkin akan terus berjatuhan dan bertambah.

Pertanyaan yang patut diajukan adalah sekali pun pemerintah telah mengedepankan pendekatan kesejahteraan, memberikan status otsus, mengucurkan dana triliunan rupiah, membagi Papua menjadi dua provinsi, melipatgandakan jumlah kabupaten, dan mempercepat pembangunan, mengapa semua kebijakan ini belum berhasil menyelesaikan konflik Papua.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun