Mohon tunggu...
Khoirul Anam
Khoirul Anam Mohon Tunggu... lainnya -

Tidak mampu mendeskripsikan diri sendiri

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

MUI, Makhluk Apa Itu?

22 November 2016   16:55 Diperbarui: 22 November 2016   17:00 266
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Gonjang-ganjing kasus Ahok terus bergulir. Banyak pihak beranggapan bahwa fatwa yang dikeluarkan MUI-lah yang membuat kasus ini menjadi demikian besar. Apalagi, demo besar 4 November kemarin juga mengatasnamakan Gerakan Nasional Pembela Fatwa MUI.

Bukan kali ini saja MUI mengeluarkan fatwa yang mengundang kontroversi. Sebenarnya, beberapa fatwa yang dikeluarkan mereka cenderung ‘kurang penting’ karena hal yang dipersoalkan merupakan masalah yang sudah jelas hukumnya. Salah satu contohnya fatwa haram infotainment. Tidak usah menggunakan dasar Al-Qur’an dan Hadist, siapa pun pasti setuju jika mengumbar kehidupan pribadi orang lain, apalagi gosip, adalah perbuatan yang tidak baik.

Beberapa fatwa MUI yang lain terlihat bermuatan politis. Seperti fatwa haram memilih pemimpin non-muslim dan pemimpin perempuan. Mungkin fatwa ini tidak dicurigai bermuatan politis jika tidak dikeluarkan menjelang pemilu. Tapi fatwa memang dikeluarkan Ulama untuk menjawab persoalan umat, jadi justru tidak nyambung jika dikeluarkan menjelang Natal atau Idul Fitri.

Satu fatwa lain yang cukup saya ingat adalah hukum haram rokok. Sudah sejak lama sekali hukum merokok menjadi perdebatan di kalangan Ulama (terutama para Kyai NU). Pada akhirnya, tidak pernah ada titik temu satu keputusan bersama. Beberapa Ulama masih menganggap merokok itu diperbolehkan meski dengan catatan akan lebih baik jika tidak dilakukan (merokok). Saya bersyukur karena saat MUI mengeluarkan fatwa ini tidak sampai ada gerakan nasional “Tangkap Perokok!”

Urgensi MUI

Judul di atas mengutip perkatan Gus Mus di sebuah kanal berita. Beliau mengkritisi keberadaan MUI yang ‘tidak jelas’. Bukan ormas, bukan instansi pemerintah, tapi dapat APBN. Mereka juga melakukan sertifikasi halal untuk makanan dan minuman (belakangan pakaian dan komoditi lain juga). Sertifikasi halal ini menjadi sumber pendanaan lain selain APBN yang entah sampai sekarang masih mereka dapatkan atau sudah tidak. Ajaibnya, keuangan mereka ‘kebal’ terhadap audit.

Jauh sebelum adanya MUI, Umat Islam memilih rujukan Ulama dari ormas seperti NU atau Muhammadiyah. Keduanya memiliki banyak perbedaan pandangan dalam berbagai hal. Perbedaan tersebut justru memberikan rasa tenang Umat Islam yang bebas untuk memilih mengikuti Ulama yang mana. Bahkan di kalangan para Kyai NU, satu hal dapat memiliki banyak pandangan hukum. Seperti rokok tadi, Kyai A haram, Kyai B makruh, Kyai C mubah. Namun semuanya tidak asal memberikan pandangan, setiap Kyai memiliki dasar hukum yang kuat, meyakinkan, dan mereka meyakininya.

Melihat jajaran Ulama yang menduduki MUI, saya cukup heran karena mereka mampu satu suara dalam mengeluarkan fatwa terhadap suatu perkara. Bagaimana bisa pengurus yang memiliki latar belakang dan berasal dari ormas Islam berbeda dapat sekompak itu? Jika fatwa-fatwa yang dikeluarkan hanya berdasarkan suara mayoritas, dimana suara minoritasnya? Apakah diredam sebelum terdengar? Atau jangan-jangan....

Jika melihat luasnya keilmuan hukum Islam, perbedaan pendapat tidak akan terhindarkan. Perbedaan adalah rahmat agar umat Islam saling menghargai satu sama lain. Tapi jika perbedaan yang ada digerus oleh pendapat yang dipaksakan, maka dapat saya katakan keilmuan Islam telah mengalami kemunduran. Terutama jika fatwa-fatwa yang dikeluarkan tidak lagi mempertimbangkan pendapat Ulama terdahulu dari kitab-kitabnya. 

Sebagai info, beberapa golongan umat Islam yang merasa paling benar sangat menentang penggunaan kitab Ulama terdahulu sebagai referensi. Mereka hanya mau mengutip dan menafsirkan Al-Qur’an dan Hadist secara langsung. Pemikiran seperti ini akan membawa keilmuan Islam mundur jauh pada masa dimana Nabi Muhammad masih hidup. Bedanya, saat ini sudah tidak ada lagi beliau untuk membimbing umatnya. Jadi, salah tafsir dan pemahaman akan sangat rentan terjadi.

Kembali pada urgensi MUI. Ketika MUI mau repot-repot mengeluarkan fatwa mengenai infotainment, mengapa mereka tidak mau mengeluarkan fatwa terkait ISIS? Jika melihat kasus yang menimpa Ahok, mungkin saja fatwa yang dikeluarkan MUI perihal ISIS bisa memberikan dampak yang besar seperti saat ini. Hal ini bisa memberikan persepsi yang salah. Publik bisa saja berpikir, MUI ada di pihak siapa? Adakah salah satu diantara mereka yang dalam hatinya berbaiat pada kekhalifahan Abu Bakar Al-Baghdadi?

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun