Masih cukup hangat diberitakan perihal aksi 4 November kemarin. Aksi yang dinamakan Bela Islam II atau yang oleh beberapa pihak lain disebut “Demo Ahok” tersebut berakhir dengan kerusuhan. Hal ini cukup disayangkan karena kerusuhan yang terjadi tidak semata dilakukan peserta aksi namun juga pihak luar yang memanfaatkan kesempatan.
Saya tidak ingin berspekulasi menganai siapa atau pihak mana yang memulai provokasi, entah tindakan represif anggota kepolisian ataukah peserta aksi yang sengaja belum membubarkan diri hingga melewati pukul 18.00 WIB. Kedua pihak memiliki pandangan berbeda menganai hal ini dan saya tidak bermaksud untuk membahas hal tersebut.
Tidak dapat dipungkiri, aksi massa memang menjadi suatu cara menekan pihak lain, terutama penguasa, untuk mendengarkan aspirasi kita. Tidak cukup hanya mendengarkan, tapi juga memenuhi apa yang menjadi tunutan kita. Sudah tidak terhitung berapa banyak aksi massa ini menjadi tonggak sebuah perubahan suatu bangsa, termasuk bangsa Indonesia. Di dalam negeri, sejarah mencatat keterlibatan aksi massa dalam memasuki sebuah era. Yang paling mencolok tentu saja peristiwa dimulai dan berakhirnya Orde Baru yang dipimpin Soeharto.
Dalam dua dekade terakhir, aksi massa tak pernah berhenti mengusik penguasa. Besaran skala massanya dan isu yang diangkat pun bervariasi. Mulai dari isu yang berakar pada politik praktis, ekonomi rakyat (terutama kenaikan harga BBM), hingga yang akhir-akhir ini sedang ‘naik daun’ adalah isu bernuansa SARA. Tidak secara gamblang didengungkan memang, tapi akar kebencian terhadap suatu golongan menjadi ‘selang tabung gas bocor’ yang setiap saat bisa tersulut oleh percikan api kecil. Saya secara pribadi beranggapan bahwa Pilpres 2014 kemarin menjadi pintu masuk yang kembali dibuka perihal isu SARA. Masa kampanye Pilpres yang lalu dipenuhi simpang-siur isu kampanye hitam oleh dan terhadap dua pasangan capres-cawapres. Namun pada akhirnya, pihak yang lebih banyak diserang oleh isu SARA berakhir sebagai pemenang. Hal ini saya anggap cukup membuktian kedewasaan masyarakat Indonesia dalam menerima perbedaan.
Setelah berakhirnya Pilpres, isu SARA tidak langsung surut. Masih ada pihak yang berupaya menjaga isu ini agar tidak begitu saja di telan waktu. Dengan cara ini, hanya tinggal menunggu momen yang tepat isu terpelihara ini mampu menggerakkan banyak orang. Aksi 4 November kemarin menjadi salah satu peristiwa yang terlahir karena momen tersebut.
Basuki yang besar mulut melakukan blunder di depan kotak penalti saat laga tengah berlangsung panas. Sudut tembakan cukup sempit memang, tapi dengan eksekutor tendangan bebas sekelas Juninho pasti akan menjadi peluang yang bagus dalam menjabol gawang. Namun Juninho tidak ada dalam tim tersebut, Cristiano Ronaldo yang maju menajadi eksekutor dan bola membentur pagar betis pemain.
Bola yang terpantul masih bergulir liar dalam kotak penalti menciptakan kemelut di depan gawang hingga saat ini. Layak ditunggu apakah Basuki akan berhasil disingkirkan (dinyatakan bersalah karena penistaan agama) yang artinya mengubah papan skor, atau bola liar berhasil disapu oleh pemain bertahan.
Pasca aksi massa 4 November kemarin, banyak yang bergunjing mengenai keberadaan pak Joko yang saat demo berlangsung ‘menghilang’ dan ‘tiba-tiba muncul’ memberikan konferensi pers. Dalam konferensi tersebut, beliau sempat menyebut adanya aktor politik yang ikut terlibat menggerakkan massa.
Publik pun kalut dalam rasa penasaran dan kecurigaan mengenai siapa yang dimaksud pak Joko ini. Beberapa tokoh nasional yang ikut serta dalam aksi serta para pendukung aksi secara otomatis menjadi tersangka opini publik. Beberapa nama yang saya ingat antara lain Fahri, Fadli, dan Amin. Ada juga pak Bambang yang sempat kebakaran jenggot karena dituduh sebelum aksi dimulai. Kalau Prasetyo yang ikut bersama sang istri seksinya dan berorasi sambil mencaci-maki? Ah, abaikan saja.
Opini publik banyak berputar sekitar tokoh nasional. Nama orang-orang besar memang terlalu menyilaukan jika disandingkan dengan orang awam. Jangan lupa bahwa ada juga pihak lain yang berkepentingan memanfaatkan aksi kemarin, diantaranya golongan mahasiswa (yang banyak disorot adalah HMI) dan para pendukung Khilafah (HTI, simpatisan ISIS, dll).
Mereka juga bisa disebut sebagai aktor politik atau aktor intelektual. Tapi bukan berarti saya menuduh merekalah yang menggerakkan massa atau yang disebut pak Joko dalam pidatonya. Saya hanya mengatakan mereka juga punya kepentingan yang sama dengan peserta aksi lain termasuk FPI sebagai panitia hajatan (salut atas sikap FPI selama aksi yang turut menjaga keamanan & mencegah kerusuhan).
Mahasiswa sebagai golongan muda yang idealis memiliki kepentingan untuk memperjuangkan idealisme mereka. Golongan idealis seperti mereka bagaikan nurani sebuah bangsa ketika pemerintahnya sudah mulai berpikiran menyimpang. Golongan pendukung Khilafah? Entahlah, mungkin kita bicarakan lain kali.
Sejak awal, aksi massa 4 November kemarin memang sebuah tindakan reaksioner terhadap penistaan agama Islam yang, seperti dituduhkan, dilakukan Basuki. Ratusan ribu umat muslim dari golongan yang berbeda bersatu dalam satu tuntutan yang sama, adili Basuki! Namun tidak semua golongan bergerak atas dasar ‘semata’ tuntutan tersebut. Ada juga kelompok-kelompok tertentu yang memiliki misi terselubung dan berniat memanfaatkan jumlah massa yang besar untuk tujuan mereka.
Inilah yang menimbulkan kekhawatiran akan adanya ‘penyusup’ saat aksi berlangsung. Pada akhirnya, informasi yang berseliweran sangat berlebihan. Ada teroris lah, percobaan kudeta lah, Arab Spring lah, pendirian Khilafah lah, dll dll. Mungkin akan lebih baik jika sebelum aksi dilakukan perwakilan seluruh elemen massa yang akan terlibat diundang bertemu dan menyatukan visi.
Dengan begitu, pihak FPI dkk sebagai panitia tidak akan kerepotan ketika peserta aksi mulai ‘bersemangat’. Tapi secara umum, saya setuju jika dikatakan aksi kemarin berjalan damai dan terkendali. Terkait kerusuhan? Biasa lah, aksi massa sebesar itu pasti akan ada insiden. Kalau tidak ada, itu namanya peringatan hari besar nasional. Hahaha
Hal terakhir yang ingin saya sampaikan setelah membuat tulisan kacau di atas (maklum, mulai menulis lagi setelah lama vakum jadinya tak terarah) adalah, Bangsa ini sedang dalam masa pubertas remaja. Tak kenal lelah mencari jati diri kita. Apakah kita bangsa yang demokratis? Apakah kita bangsa yang sesuai dengan semboyan Bhinneka Tunggal Ika? Ataukah kita bangsa pemarah dan pembenci sesama? Kita semua pasti menginginkan untuk bersama-sama menuju kedewasaan berbangsa dan bernegara.
Oleh karena itu, mari bersama-sama belajar saling memaafkan kesalahan orang lain, saling menghormati perbedaan, dan bersikap dewasa dalam demokrasi. Semoga peristiwa ini menjadi pembelajaran bagi kita semua untuk saling menjaga ucapan, saling mengerti perbedaan, saling memaafkan kesalahan, dan yang terpenting saling bekerja sama membangun bangsa dan negara.
Sebagai penutup, saya sampaikan bahwa tulisan ini saya buat dengan pikiran positif. Saya tidak ingin masuk dalam ‘debat kusir’ Basuki salah atau tidak, pak Joko bertugas atau melarikan diri, ada kaitan dengan Pilgub atau tidak, ataupun hal-hal lain yang menyinggung dua kelompok yang sedang berbeda pendapat ini. Demikian jika ada kata yang kurang sopan dan menyinggung saya mohon maaf.
Salam Persaudaraan
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H